Sebuah cerobong = cerita orang sombong
Kuparkir sepeda motor di depan toko buku langgananku. Kulihat ada sesuatu yang kurang beres di toko buku itu. Banyak orang berkerumun di depannya, berebut untuk melihat sesuatu di dalam toko buku. Aku mendekati pintu masuk. Ada pencuri buku yang tertangkap, dipukuli penjaga toko dan aku belum tahu sebabnya.
Astaga! Orang yang babak belur tertangkap basah mencuri buku adalah Budi, teman seperjuangan di lembaga swadaya masyarakat (LSM), meski beda organisasi.
Kubelah kerumunan orang-orang di situ. “Kamu Bud! Kamu betul mencuri buku?” tanyaku. Aku tak percaya orang sebaik dia mau mencuri buku. Kukenal Budi adalah pemuda yang jujur.
“Ya. Aku curi undang-undang dasar ini. Sengaja! Kamu tahu membeli undang-undang dasar ini adalah perbuatan orang-orang sinting dan keterlaluan,” jawab Budi. Dia membuat jawaban yang membuatku harus berpikir tentang kewarasan otaknya. Aku tidak mengerti maksudnya, sebab kata-katanya itu tidak normal. Mungkinkah ia sedang mabuk?
Tak sempat banyak aku berbicara dengannya, Budi segera diamankan dan dibawa Polisi. Aku tidak jadi belanja buku. Aku masih tidak begitu percaya bahwa Budi mencuri buku. Aku ikuti mobil Polisi sampai ke kantor Polisi. Di kantor Polisi, Budi langsung dimasukkan kerangkeng besi alias sel. Sebuah tempat yang banyak ditakuti orang, sebab sejak jaman dahulu sel Polisi terkenal bukan sekedar tempat penahanan, tapi juga tempat penyiksaan di malam hari. Sebagai orang yang juga bekerja sebagai pengacara (advokat) sosial aku sering mendapatkan pengaduan soal itu.
“Bud. Kamu tidak benar-benar mencuri kan? Aku akan ke kantor sebentar, membuat surat kuasa, lalu datang ke sini lagi dan kamu tanda tangani! Aku bela kamu,” tawarku.
“Aku tidak perlu pengacara Bos! Aku bisa membela diriku sendiri. Kamu tidak tahu, mengapa aku mencuri buku undang-undang dasar itu? Kamu tidak tahu niatku! Sudah, kamu pulang saja! Lebih baik kamu urusi jual-beli hukum daripada kasusku ini!”
“He! Kamu tidak tahu, banyak orang mengeluh disiksa di tempat seperti ini. Kalau kamu tidak pakai pengacara, bisa habis kamu!”
“Hahahaha…. Kamu seperti baru kenal aku kemarin. Sudahlah! Mendingan belikan aku sekarang nasi bungkus dan es degan! Aku lapar.”
“Oke.” Aku segera keluar dan membelikan Budi makanan dan minuman.
“Sudah, minggat kau dari hadapanku!” bentak Budi sambil mulai menikmati makanan.
“Ah. Kamu tetap saja bengal! Baiklah, aku pergi. Tapi nanti sore aku akan datang menjengukmu.”
Sorenya aku datang lagi ke tempat Budi ditahan. Setelah aku marah-marah dan memaki-makinya maka barulah ia mau menandatangani surat kuasa. Aku sedikit lega, sebab aku bisa menjadi penasihat hukumnya.
Keesokan harinya di korang-koran muncul berita tentang pencurian itu. “Aktivis LSM mencuri buku Undang-undang Dasar.” “Pencuri buku hukum babak belur.” “Pencuri buku hukum ternyata aktivis.” Setidaknya ada tiga koran dengan judul berita seperti itu. Aku menjadi heran, mengapa pencurian kelas tempe bisa diliput banyak koran.
Aku mulai pekerjaan pembelaanku dengan mendatangani toko buku langgananku. Penjaga toko buku, yang sudah kenal denganku, mengatakan bahwa Budi tertangkap di toko buku itu karena ia berteriak-teriak, “Aku mencuri buku! Hai tangkap aku! Aku mencuri buku! Aku mencuri undang-undang dasar! Aku mencuri hukum!” Lalu, datang orang-orang yang memotret kejadian itu yang ternyata adalah para wartawan. Kemudian Budi mencoba melarikan diri. Ketika mau ditangkap penjaga toko buku itu, Budi melawan sehingga Budi dipukuli sampai babak belur. Begitu menurut keterangan penjaga toko buku dan keterangan itu dibenarkan oleh penjaga toko buku lainnya.
Kalau kejadiannya seperti itu, maka sudah cukup saksi adanya pencurian itu. Kupikir, tak ada lagi alasan untuk membebaskan Budi, sebab toh Budi juga mengakui bahwa ia benar-benar mencuri buku itu. Tetapi, setidak-tidaknya dengan adanya pengacara atau penasihat hukum yang mendampingi Budi, Polisi tidak akan berani menyiksa dan memeras keluarga Budi.
Tetapi bukan berarti kasus itu tidak bisa direkayasa. Kalau ada uang yang cukup, maka vonis di pengadilan pun bisa diatur. Meski aku juga seorang aktivis LSM, siapa bilang aku ini dijamin tidak terlibat dalam kebrengsekan hukum. Di negara ini terlalu banyak orang berkampanye tentang kejujuran, etika dan integritas, tetapi mereka yang berkampanye itu tidak dijamin tidak terlibat dalam kebejatan moral.
“Ibu tidak mempunyai apa-apa Nak, untuk membiayai perkara Budi. Almarhum ayah Budi tidak meninggalkan warisan apa-apa. Bahkan hidup Ibu sekarang ini lebih sering dibantu Budi,” kata ibu Budi.
“Loh, saya tidak bermaksud meminta agar Ibu membiayai perkara Budi, Bu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Budi tidak perlu dikhawatirkan sebab nantinya hukumannya bisa diatur. Soal biaya, biar saya yang mengusahakan,” kataku.
“Kalau memang Budi benar-benar salah, ya biarkan dia menjalani hukuman yang semestinya to Nak! Tidak perlu mengatur perkara seperti itu dengan mengorbankan uang. Toh Nak Sarmin bisa mempergunakan uang itu untuk keperluan yang lebih penting. Bukankah selama ini Nak Sarmin sering mengeluh kewalahan mencari dana untuk kegiatan sosial di kantornya Nak Sarmin?”
Aku bermaksud membesarkan hati ibu Budi, tapi beliau malah menasihatiku macam-macam. Kadang-kadang aku berpikir bahwa aku mulai kehilangan idealisme. Itu merupakan masalah yang tidak sepele, yang bisa menghancurkan diriku sendiri dan orang lain.
------------------------------------------------------------------------------------
Kasus Budi akhirnya mulai diadili. Dalam pemeriksaan di pengadilan telah jelas-jelas bahwa Budi mencuri buku. Jaksa selaku Penunutut Umum menuntutnya dengan hukuman setahun penjara.
Ketika aku diberikan kesempatan untuk membuat nota pembelaan, aku kebingungan sebab tidak ada alasan hukum apapun yang bisa membebaskan Budi dari hukuman. Aku meminta waktu seminggu kepada hakimnya untuk menyusun pembelaan.
“Bos, terima kasih kamu sudah susah payah mendampingiku di setiap pemeriksaan perkaraku. Sudahlah, kamu tidak perlu susah-payah membuat nota pembelaan. Kamu tidak memahami keinginanku untuk merasakan nikmatnya penjara yang selama ini selalu dihindari para penjahat berduit. Aku akan melakukan pembelaan sendiri,” kata Budi yang setahuku tidak pernah menunjukkan rasa sedih.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kuurungkan niatku untuk menyuap hakim. Uang hasil menjual sepeda motorku akhirnya kumasukkan rekeningku.
Pikiranku mulai berjalan normal seperti halnya pikiran orang waras yang patut curiga dalam kasus itu. Dari awal aku mencurigai waktu kejadian pencurian di toko buku, apakah kebetulan bahwa tiba-tiba di sana ada banyak wartawan di toko buku itu yang meliput kejadian pencurian? Kedua, mengapa pada waktu melakukan pencurian Budi berteriak-teriak mengaku mencuri sehingga ia tertangkap basah? Ketiga, mengapa Budi sama sekali tidak merasa bersedih dalam menghadapi kasus itu?
Waktu seminggu untuk menyusun nota pembelaan, aku gunakan untuk menyelidiki kejanggalan itu. Dengan ijin ibunya, aku masuk ke kamar Budi dan meneliti seluruh fail di komputernya. Meski tidak ada fail yang kutemukan yang berkaitan langsung dengan perkara itu, aku menemukan tulisan Budi tentang mafia peradilan. Ternyata selama menjadi mahasiswa, Budi telah melakukan penelitian tentang dunia peradilan yang memang brengsek. Dalam tulisan buku yang dibuatnya, ia menuliskan moto: “Mencuri jelas lebih hina daripada membeli. Tapi membeli hukum lebih hina daripada mencuri.” Kupikir tulisan itu merupakan bahan yang berharga, bukan untuk tujuan membebaskan Budi, tetapi untuk mengetahui jalan pikirannya. Kalau pendapatnya seperti itu, lalu betapa gilanya kalau ia benar-benar melakukan pencurian, padahal mencuri itu juga perbuatan yang salah dengan resiko masuk penjara?
Berita-berita di koran yang membahas kasus pencurian Budi mulai kukliping dan aku tulis kode nama penulis alias wartawan yang menulisnya. Satu persatu aku telepon redaksi koran yang memberitakan dan wartawan yang menulis kasus Budi aku temui.
“Budi memintaku untuk menemui Anda. Budi meminta bantuan agar Anda semua menjadi saksi yang meringankan bahwa pencurian yang dilakukan Budi merupakan sebuah drama situasi untuk menyindir para pejabat dan aparat penegak hukum yang suka memperjualbelikan hukum.” Aku langsung mengatakan seperti itu, meski Budi tak pernah berkata seperti itu. Itu merupakan caraku sendiri.
“Jadi, Budi sudah menjelaskan semuanya kepada Mas Sarmin?” tanya salah satu wartawan.
“Sebab ia merasa berat hidup di sel tahanan,” jawabku.
“Hahaha…akhirnya, merasa berat juga dia. Nggak cocok dengan omongannya dahulu!” para wartawan itu tertawa-tawa semua.
Benar dugaanku bahwa Budi telah bersekongkol dengan para wartawan itu untuk membuat drama.
-------------------------------------------------------------
Tiba saatnya Budi menyampaikan pembelaannya sendiri. Ia berdiri, lalu menyampaikan pembelaan secara lisan, meniru gaya aktor film India.
“Majelis hakim yang aku tidak tahu terhormat atau tidak. Anda semua dengan saya adalah sama-sama warga negara yang diatur oleh hukum. Bedanya pada hari ini adalah: Anda yang mengadili saya dan saya menjadi orang yang salah. Saya memang bodoh, mengapa saya harus mencuri undang-undang dasar yang tak pernah bisa dimengerti maknanya oleh setiap orang di negara ini.
Konon katanya Pancasila yang ada di dalam pembukaan undang-undang dasar adalah sandaran moral dan sumber segala sumber hukum untuk adanya ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Tapi apa yang terjadi? Para penguasa di negara ini berebut harta kekayaan dan negara Pancasila ini akhirnya menjadi negara yang paling korup di dunia. Tidak hanya itu! Darah telah tertumpah di mana-mana, nyawa orang-orang kecil sama sekali tidak dihargai menjadi korban konflik kepentingan orang-orang atas, sementara orang-orang kaya dan para pejabat bisa leluasa membeli hukum. Lalu apa gunanya kalian membenci komunisme yang menurut pendapat kalian kejam?
Pancasila, agama, marxisme, sosialisme, komunisme dan apapun isme serta ajaran yang ada hanyalah ajaran. Seorang komunis yang jujur dan adil, jauh lebih baik dibandingkan dengan penganut Pancasila dan agamawan yang korup dan jahat kepada sesamanya. Alangkah ironisnya negara Pancasila ini sebab setiap hari ada transaksi ilegal di kantor-kantor pemerintah dan di setiap sudut ruangan bisnis. Hutan belantara pun tidak aman sebab telah banyak yang menjadi padang rumput dan semak serta menimbulkan bencana banjir karena perbuatan para penjahat yang bersekongkol dengan para pejabat yang mengaku sebagai penjaga hukum dan keadilan. Pancasila hanya kalian agungkan nama dan tulisannya, tetapi sebenarnya telah kalian injak-injak menjadi ideologi yang tak bernyawa.
Dan, apa artinya pencuri seperti saya ini? Untuk apa saya mencuri undang-undang dasar yang tak pernah dimengerti setiap orang di negara ini? Seolah-olah semua pemegang pemerintahan dan penegak hukum di negara ini adalah orang-orang yang bodoh, tidak memahami hukum dasar negaranya sendiri. Lalu untuk apa kalian dirikan gedung-gedung sekolahan dan kampus di mana-mana?
Para ahli hukum dari guru besar perguruan tinggi pun telah menjual dirinya untuk upaya meringankan para penipu, penggelap dan koruptor dengan membuat istilah “kesalahan administrasi” dan “utang piutang” padahal uang rakyat telah terkuras dan dibuat foya-foya para koruptor. Perbuatan korupsi dikatakan sebagai kesalahan administrasi. Menggelapkan uang dikatakan sebagai utang piutang. Guru besar seperti itu telah menjadi orang tolol sebab telah menggadaikan kewibawaan dan kejujuran ilmunya demi uang dan materi. Ada guru besar hukum yang mematok harga lima juta rupiah untuk setiap kehadirannya sebagai saksi ahli di sidang pengadilan. Itu sungguh harga yang murah dan mereka tidak sadar telah menjual profesinya sebagai kado keselamatan untuk para koruptor dan penjahat ekonomi yang telah sukses merobek-robek kekuatan ekonomi di negara ini.
Presiden di negara ini pun telah membiarkan kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikelola oleh orang asing sebagai konsekuensi utang uang kepada asing. Undang-undang dasar telah dianggap tulisan anak kecil yang tak perlu digubris, seolah-olah mereka tidak mengerti. Lalu, siapa yang diharap bisa mengerti isi undang-undang dasar? Alangkah tololnya aku telah mencuri undang-undang dasar di toko buku?
Wahai para hakim, jaksa dan pengacara pembelaku! Aku menyatakan menyesal telah mencuri, sebab yang kucuri adalah undang-undang dasar yang selama ini dicampakkan kebanyakan orang di negara ini. Kalau di negara para pencuri ini aku hanya mencuri barang yang disepelekan banyak orang itu, maka sama halnya aku mencuri barang rombeng. Lebih hebat orang yang bisa menjual satu atau dua pasal undang-undang dengan harga ratusan juta atau miliaran rupiah, sehingga bisa membangun kolam renang di dalam rumah yang megah hasil transaksi pasal dan hukuman.
Kalian para hakim, polisi, jaksa dan para pengacara, termasuk pengacara saya yang duduk di sidang ini, adalah orang-orang yang sangat hebat, sebab kalian telah ahli dalam memperjualbelikan hukum sehingga kalian bisa leluasa menikmati kemewahan yang didamba banyak orang. Berdagang hukum adalah pekerjaan utama kalian, dan menjadi penegak hukum adalah pekerjaan sampingan kalian.
Di sini saya tak perlu lagi bicara panjang lebar, sudah jelas bahwa saya adalah orang tolol yang salah dan Anda harus menghukum saya seberat-beratnya, karena saya telah mencuri yang berarti menjadi penyakit sosial. Tetapi saya minta, setelah Anda menghukum saya, maka hukumlah diri Anda sendiri yang telah mencuri hak-hak keadilan masyarakat dengan cara memperjualbelikan hukum. Sekian!”
Begitu Budi duduk, para pengunjung sidang serempak bertepuk tangan. Sidang pembelaan itu menjadi perhatian orang banyak.
“Yang Mulia. Saya selaku Penasihat Hukum terdakwa mohon diijinkan membacakan nota pembelaan, sebab saya kira pembelaan oleh terdakwa sendiri itu sudah keluar dari inti perkara ini. Tetapi sebelumnya, mohon sidang ini diijinkan untuk memeriksa saksi-saksi meringankan yang baru saja saya temukan. Saya yakin bahwa para saksi meringankan itu akan dapat mengubah persepsi kita tentang kasus ini.”
“Saya keberatan Yang Mulia. Permintaan Penasihat Hukum adalah hal yang tidak lazim menurut tertib hukum acara! Pemeriksaan saksi sudah selesai dan hari ini telah diagendakan acara pembacaan nota pembelaan. Kita harus konsekuen dengan acara yang telah disusun,” kata Jaksa sambil berdiri.
“Saya pikir bahwa hukum tidak menutup keadilan dengan cara yang kaku dan formal seperti itu. Kalau hari ini bisa diperiksa, mengapa harus menunggu adanya peninjauan kembali atas kasus ini kelak di kemudian hari. Itu hanya akan membuang waktu dan berarti peradilan kasus ini tidak tuntas dalam mengadili perkara ini,” sanggahku.
“Saya tetap berkeberatan Yang Mulia!” bantah Jaksa.
Para pengunjung sidang mulai gaduh. Mereka berteriak-teriak, “Kabulkan! Kabulkan! Kabulkan! Kabulkan …..! Periksa saksi!”
“Ayo! Periksa saja Bu Hakim! Kecuali jika pengadilannya sontoloyo!” teriak salah satu pengunjung sidang yang disambut dengan gelak tawa para pengunjung lainnya.
“Sudah! Sudah! Sudah! Saudara sekalian diminta tenang. Kalian ini tidak menghormati pengadilan!” kata ketua majelis hakim yang kebetulan perempuan itu sambil memukul-mukulkan palu di mejanya. Lalu majelis hakim itu mulai berunding. “Baiklah, silahkan hadirkan para saksi meringankan itu. Ini bukan karena tekanan kalian, tapi untuk lebih bisa menggali fakta dalam kasus ini,” kata ketua majelis hakim yang disambut tepuk tangan para pengunjung sidang.
Satu persatu saksi meringankan, yang tak lain adalah para wartawan yang telah bersekongkol dengan Budi untuk membuat skenario kasus itu, saya ajukan dan dimintai keterangan. Mereka semua menerangkan bahwa kasus pencurian di toko buku yang dilakukan oleh Budi adalah disengaja bukan untuk diniatkan mencuri tetapi untuk menuju pada pengadilan guna menyindir praktik peradilan sesat dan mental korupsi di negara ini. Sedangkan ancaman hukumannya telah diantasipasi oleh mereka. Jadi, kasus itu telah dirancang mereka, oleh Budi dan para wartawan itu.
Maka selanjutnya saya menyampaikan nota pembelaan bahwa perbuatan Budi bukanlah tindak pidana pencurian sebab motifnya bukan untuk memiliki buku yang diambil Budi, tetapi hanya sebagai sarana untuk menggerakkan proses peradilan dalam kasus tersebut dan Pengadilan adalah tujuan Budi untuk menyampaikan protesnya.
Dua minggu selanjutnya kasus itu diputus. Majelis Hakim berpendapat bahwa Budi telah bersalah, terlepas apapun motif pencurian itu, sebab jika Budi tidak dihukum maka setiap pencuri akan membuat argumen dan mengatur perkaranya seperti itu untuk upaya pembebasan dirinya. Budi dihukum lima bulan penjara dan ia tidak mau mengajukan banding.
Maka keesokan harinya, setelah putusan perkara tersebut, di koran-koran muncul berita tentang kasus tersebut. Anehnya, setiap koran itu membuat judul yang sama: “Pencuri Undang-undang Dasar Dihukum Lima Bulan Penjara”.
Kepalaku pusing memikirkan hal itu. Aku mulai kehilangan gairah untuk menjadi pengacara. Aku terlanjur menjadi pengacara yang dalam pandangan masyarakat selalu dipersepsikan sebagai pembela orang bersalah. Persepsi masyarakat itu secara normatif keliru sebab sesungguhnya pengacara dalam perkara pidana bertugas untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana agar tidak diperlakukan sewenang-wenang, tidak untuk merekayasa agar kliennya (yang jika benar bersalah) untuk dibebaskan dari hukuman. Tetapi melihat praktiknya persepsi tersebut menjadi benar, sebab jarang sekali pengacara, termasuk diriku, yang secara obyektif mengakui kesalahan kliennya.
Kalau saya menjadi hakim, pikiran saya lain. Seandainya saja saya menjadi hakim yang mengadili perkara Budi, maka saya akan menjatuhkan hukuman mati kepada Budi dengan alasan hukum bahwa ia tidak sekedar mencuri undang-undang dasar, tetapi telah melakukan pembunuhan secara berencana kepada rakyat negara ini secara keseluruhan. Dengan mencuri undang-undang dasar, maka ia telah merampas nafas hidup dan keadilan rakyat negara ini. Siapapun yang telah membunuh keadilan sosial, ia harus dihukum mati.
Kalau harus menuruti konsep penghukuman modern dalam Hukum Pidana dengan pembinaan, lalu bagaimana harus melakukan pembinaan kepada para penjahat yang merupakan orang-orang yang setiap hari telah bertugas membina masyarakat?
(Surabaya, 19 Oktober 2005)