26 Agustus 2008

Cerpur = Tjak Loempoer (Bagian 1)


TJAK LOEMPOER (Bagian 1)

TJAK Loempoer. Ejaan lama. Sepertinya tulisan jaman VOC menguasai Indonesia yang masih belum bernama Indonesia? Bukan! Jaman VOC masuk ke Indonesia, orang pribumi belum kenal ejaan latin. Mungkin itu tulisan tahun 1908-an, ketika mulai ada beberapa pemuda elite Indonesia yang sekolah ke Belanda. (Wuah..., penjajah juga memberikan akses pendidikan kepada para calon pelawannya ya? Iya iyalah, seperti korporasi perusak nasib manusia juga mengeluarkan dana untuk tambahan nafkah dan biaya pendidikan masyarakat). Tapi yang jelas, Tjak Loempoer itu konon lahirnya belum begitu lama. Panggilannya Tjak Poer.

Baiklah, daripada susah-susah, aku tulis saja dengan ejaan baru: Cak Lumpur, biasa dipanggil Cak Pur. Ia seperti Gajah Mada atau Untung Suropati yang gelap asal-usulnya, bahkan akhir hayatnya pun menjadi misteri. Tapi hanya sedikit orang tertarik memperdebatkan asal-usul dan kematian Gajah Mada serta Untung Suropati.

Namun yang tetap menyedihkan saya adalah masih bertahannya para dukun tukang ramal yang masih dipercaya banyak orang, iklan-iklannya tersebar di koran dan majalah. Dukun moderen juga punya website, mahir berinternet, mengalahkan para polisi pada umumnya yang masih gagap teknologi informasi. Banyak korban para dukun yang beraksi melalui dunia maya tetapi para polisi pun tak mampu mengarungi dunia pelarian para e-dukun (singkatan electronic dukun). Lalu apa hubungannya dengan Cak Pur?

Para dukun tukang ramal membuat kesimpulan bahwa asal-usul Cak Pur adalah dari dalam bumi, masih keturunan Bathara Antaboga. Wuih.... apakah masih ada garis silsilah dengan Dewi Nagagini yang dikawini Werkudara alias Bimasena, orang tua kandung Gatutkaca? Bahkan para dukun itu sayangnya tidak paham silsilah keturunan Antaboga, dewa yang berbadan ular dan berkepala manusia itu (bukan manusia berkepala ular.

Dalam kisah yang dibuat para e-dukun peramal itu, konon kelahiran Cak Pur bukan dari lubang yang digali oleh manusia, tapi karena retaknya perut bumi akibat kemarahan Dewa Antaboga yang meluluh-lantakkan permukaan bumi. Banyak orang bertanya, mengapa keluarnya berada di jarak 250 kilometer dari kahyangan Saptapratala, kahyangan Antaboga? Mengapa tidak lahir saja di dekat-dekat kadewatan alias kahyangan Saptapratala alias Saptabumi?

“Wah, itu tak bisa dijawab dengan menggunakan akal awam. Ada garis penghubung kasat mata yang bisa ditarik antara Saptabumi dengan bumi kelahiran Cak Pur di Desa Pojok Garong,” jawab para dukun itu sambil menunjukkan gambar-gambar, persis cara-cara ahli geologi dalam menjelaskan peta geologi. (Desa Pojok Garong ini konon juga tempat lahir nenek moyang kucing yang biasa disebut Kucing Garong).

Cak Pur menjadi berita besar sebab ia menjadi masalah besar, lebih besar dibandingkan Cak Ryan yang terkenal sebagai pembunuh sadis dari Jombang itu. Cak Pur dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya telah menyingkirkan puluhan ribu manusia dari empat desa dan sepuluh desa lainnya telah diracuninya.

Banyak orang takut kepada kekuatan Cak Pur ini. Polisi, jaksa dan hakim tunduk. Para pejabat pemerintahan tak berani banyak bicara dengan Cak Pur. Jika biasanya polisi dan tentara di jaman Orde Baru terampil dalam menghalau dan membubarkan demonstrasi ratusan penduduk dan bahkan menembakinya, tapi Cak Pur bisa menghadapi sendiri kekuatan keamanan dan pertahanan negara itu. Tak heran jika muncul para dukun yang pernyataan-pernyataannya laris dikonsumsi masyarakat. “Cak Pur adalah kekuatan magis yang tak dapat dihentikan dengan teknologi apapun,” kata para dukun elektronik (e-dukun) itu. “Kita sedang bicara kekuatan sakral,” lanjut mereka.

Kiprah ‘kejahatan’ Cak Pur itu ternyata menimbulkan bau tidak sedap. Banyak pertanyaan tentang mengapa kekuasaan negara tak mampu menghentikan kiprah Cak Pur itu. Konon sebenarnya gampang saja menghentikan kekacauan yang dilakukan Cak Pur. Ada kelompok pendekar yang sesbenarnya kapasitasnya tak pernah diragukan lagi. Para pendekar ini bahkan pernah secara langsung meneliti tempat kelahiran Cak Pur. Mereka punya data primer. Mereka berkesimpulan bahwa Cak Pur itu lahir akibat perselingkuhan antara oknum pejabat dengan seorang perempuan blesteran keturunan campuran Indonesia-Australia.

“Jadi, Cak Pur itu bukan keturunan Dewa Antaboga. Kami punya buktinya. Salinan Akte Kelahirannya ada di kami. Jika kami tidak bisa membunuh Cak Pur si penjahat itu maka silahkan kami dipenjara!” kata salah satu pendekar yang tergabung dalam Gabungan Pendekar Pelawan Klenik (Gapenik). “Ya. Kami sudah berpengalaman menghabisi orang-orang sejenis Cak Pur itu di Aceh, Subang dan bahkan di tengah-tengah hutan belantara,” imbuh salah satu anggota Gapenik. Kisah yang dikatakan para anggota Gapenik itu memang nyata, bukan fiksi.

Entah fitnah atau benar bahwa konon pemerintah telah dibohongi oleh para e-dukun yang mengandalkan klenik. Konon dengan semakin leluasanya kiprah Cak Pur itu maka banyak teman-teman kelompok e-dukun yang diuntungkan karena biaya-biaya pengamanan masyarakat dan pencegahan jatuhnya korban yang dikeluarkan pemerintah akan mengalir terus memasuki kantong-kantong para manusia tukang tega, seperti halnya para wakil rakyat yang tega memakan uang negara di atas banyak derita rakyat yang diwakilinya yang menurut versi Wolrd Bank 49 persen miskin. Benteng-benteng dibangun dengan alasan memperlambat gerak Cak Pur dan kekuatan magisnya sehingga anggaran untuk proyek keluar terus. Sementara satu persatu korban berjatuhan, tidak menjadi bahan pemikiran para e-dukun dan pihak-pihak yang berkonspirasi dengan perusahaan-perusahaan jasa pembuatan benteng, pengamanan sosial dan lain-lain. Konon para e-dukun itu juga berkonspirasi dengan orang tua asli Cak Pur yang bersembunyi. Konon ayah dan ibu Cak Pur yang sudah tua-tua terus berusaha membayar pihak-pihak untuk meyembunyikan akte kelahiran Cak Pur. Mereka kuatir jika ketahuan maka akan dimintai pertanggungjawaban. Konon. konon, konon.... saya sempat mau muntah mendengar konon-konon itu.

Para korban Cak Pur yang telah terusir mulai gerah sebab proyek-proyek pemerintah yang konon untuk menyelamatkan nasib mereka tapi tak kunjung bisa menyelamatkan nasib para korban. Bahkan mereka tampaknya hanya dianggap obyek proyek. Kemarahan mulai terjadi di mana-mana. Sampai tulisan kisah ini dibuat, situasi semakin kurang baik. Mulai ada ancaman Kepala Polisi yang akan memenjarakan para korban jika terus marah-marah. Mulai ada para korban yang menenggak minuman keras dari uang pemberian antek e-dukun, lalu dipancing untuk berbuat onar.

Siang ini matahari masih tegar menjalani takdir dengan menatap bumi yang semakin tua dan sedih. Para tukang becak di dekat kantor saya pada mengantuk menjalani takdir hidup di negara yang kekayaan alamnya melimpah-ruah.

Saya cukupi dulu cerita ini. Besok-besok inyaAlloh saya sambung lagi.

Surabaya, 27 Agustus 2008