25 Oktober 2010

Surat Cintaku Yang Perdana


“Surat cintaku yang pertama, membikin hatiku berlomba, seperti melodi yang indah, kata-kata cintanya, padaku...” dan seterusnya. Itu lagu Vina Panduwinata yang kudengar saat masih SMA dulu. 

Gara-gara membuat judul cerpen begini, jadi ingat lagu itu. Semoga judul cerpen ini tidak digugat, sebab kata “pertama” aku ganti dengan “perdana.” Paling cuma diolok-olok orang, “Nggak kreatif loe!” Weleh... 

Hari-hari ini aku memang sedang jatuh cinta. Hal yang membuatku senang adalah: ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan, sehingga aku tidak sesedih lagunya D’Masive yang berjudul Bertepuk Sebelah Tangan. 

Namanya jatuh hati, ternyata membuatku menjadi tidak normal. Tiap hari didera rasa rindu. Meski baru bertemu, semenit berlalu berpisah, ya sudah resah. Apalagi jika lama tak bertemu, tambah meluap-luap rasa kangenku. 

Jika bertemu hati berdebar, bergemuruh seperti debur ombak Laut Hindia. Jika sedang di rumah, dalam kamar aku senyum-senyum sendiri membayangkan senyum cantik kekasih hati, sampai-sampai anakku perempuan yang berumur enam tahun bertanya, “Ayah kok senyum-senyum sendiri?” Aku jadi malu. Hehe...
Tapi tetap saja ada sedihnya, mengingat aku jatuh cinta kepada seorang wanita yang menjadi isteri orang. Aku bisa memiliki hatinya, tapi tak mungkin merebutnya dari suaminya. Sama halnya, aku yang sudah beristeri, mana mungkin aku meninggalkan isteriku? Tentu saja itu kenyataan yang begitu menyiksa batin. Menahan hasrat dan keinginan cinta yang tak kuketahui ujung pangkalnya.

Aku dan kekasihku ini bisa saling memiliki hati, tapi tak bisa hidup bersama. Apakah ini termasuk selingkuh? Nggak tahu ya, pokoknya aku tidak berniat merebut dia dari suaminya. Tidak etis!
Tapi, berusaha melupakannya juga makin membuatku sedih dan tersiksa. Hmmm... mengapa hidup bisa sesenewen ini ya Allah? Apakah Paduka yang menanamkan asmara dalam jiwaku ini, wong aku sendiri tidak pernah mengharapkannya? Entahlah, Tuhan kalau ditanya pasti nggak mau menjawab langsung. Oh, Allah....!
Lalu bagaimana aku melampiaskan kesedihanku? Yah, aku menghibur diri dengan memutar lembut alunan When You Tell Me That You Love Me dari Diana Ross. Versi Westlife boleh, versi Julio Iglesias juga boleh. Syairnya yang bikin aku merinding adalah: “I am shining like a candle in the dark, when you tell me that you love me.” 

Hmmm... belum pernah ada wanita yang bikin aku jatuh hati padanya, yang mengatakan: “Aku cinta kepadamu Mas. Aku sayang kamu Mas!” Baru kali ini, bisa membuatku terbang ke langit tujuh. Andai saja Luna Maya atau Cut Tari yang bilang begitu kepadaku? Pak Dollah nyunat Andi Law, ya nggak ngefeklah yaw. Sebab, aku tidak jatuh cinta kepada mereka ini meskipun cantik-cantik dan semlohe begitu.
Zaman masih remaja aku pernah jatuh cinta, tapi aku hanya pemuda ingusan yang penakut menghadapi cewek, sehingga cewek pujaanku itu tak pernah tahu kalau aku jatuh cinta padanya. Lima tahun lebih aku berjuang keras melupakannya. 

Lha kok tiba-tiba sekarang terjerat asmara lagi. Memang bikin repot saja, tapi di sisi lain menjadikan hidup ini terasa indah. Aku seperti sedang berjalan di padang ilalang, lalu menemukan serumpun bunga warna pelangi. Juileh.... jadi sok puitis! Ya ini akibat kasmaran, jadinya seperti ini. Harap maklum ya pembaca!
Baiklah, hari ini aku agak longgar, ketika matahari malu-malu mengintip di balik gumpalan awan putih, tampak dari dalam kantorku yang sederhana ini. Aku mulai menuliskan surat cintaku yang pertama untuk kekasih hati yang sangat aku cintai ini. Sebut saja namanya Juwita. Ini bukan nama aslinya. Jika aku sebut nama aslinya, bisa heboh. 

Surat cintaku seperti ini:
“Halo Juwita sayangku. Gimana kabarmu cintaku? Apakah kamu tahu aku saat ini sedang terbenam dalam lautan rinduku kepadamu? Aku masih terjerat ingatan senyum cantikmu pada waktu kita bertemu di pinggir pantai seminggu yang lalu. Maaf ya, kita memang tidak bisa bertemu di sembarang tempat umum. Kita juga tidak boleh bertemu di dalam kamar hotel, sebab kita khawatir akan terjadi............... ya begitulah... tak perlu aku jelaskan kamu pasti sudah tahu.
Juwita sayangku. Kamu suka nggak dengan pantai yang berpasir lembut? Bicara soal laut, aku jadi ingat dan mau sedikit bercerita tentang kisah perjuangan para nelayan di Cumpat dan Nambangan Kenjeran Surabaya untuk melawan eksploitasi pasir laut di Selat Madura. 

Konon sejak tahun 1970-an pemerintah sudah mengizinkan penambangan pasir laut di Selat Madura. Makanya kita tidak bisa lagi menemukan pohon nyiur atau lembutnya pasir di bibir pantai Cumpat dan Nambangan Surabaya. Makin banyak biota laut yang lenyap, sehingga merugikan para nelayan.
Tahun 2006 para nelayan itu mulai bangkit, mengadu kepada DPRD Surabaya dan DPRD Provinsi Jawa Timur. Tapi setelah melalui jalan negosiasi dan lobi yang panjang, ujung-ujungnya hanya diberikan kata-kata: “Kalau merasa dirugikan, silahkan saja menggugat Gubernur Jawa Timur yang memberi Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) di Selat Madura! Jalannya lewat Pengadilan!” Begitu kata pimpinan sidang dengar pendapat di gedung wakil rakyat itu.

Wah, emang apa bisa para nelayan yang hidup pas-pasan itu memperoleh keadilan di pengadilan? Mereka pesimis dengan pengadilan yang lebih banyak memihak uang. Keadilan di negara ini jadi barang dagangan, meski tidak sampai menjadi komoditas ekspor. Andai hukum dan keadilan bisa diekspor pasti akan diekspor. Seperti halnya ekspor andalan negara ini adalah tenaga kerja di level pekerja (worker). 

Juwita, kekasihku, tahukah kamu penurunan angka kemiskinan di negara ini juga karena kian banyak orang miskin yang diekspor ke negara-negara maju? Termasuk anak-anak para nelayan yang mengalami pemiskinan juga banyak yang berangkat menjadi buruh migran?

Singkat cerita, karena hukum administrasi negara memihak kepada penguasa kapital, wakil rakyat ya cuma bisa ngomong melompong, dan itu makin merugikan para nelayan Cumpat dan Nambangan, maka para nelayan itu sepekat membentuk pasukan berani mati. Mereka menggunakan “hukum rakyat” setelah hukum negara menjadi alat penjajahan kepada rakyat sendiri. 

Para nelayan itu berunding, membentuk pasukan berani mati beranggotakan sekitar 20 orang yang akan mengusir paksa kapal-kapal pengeruk pasir laut itu. Jika kapal-kapal itu tidak mau pergi maka mereka akan membakarnya. Jika 20 orang itu nantinya masuk penjara maka para nelayan yang lainnya yang akan menanggung biaya hidup keluarga 20 orang nelayan yang dipenjara itu.

Tapi syukurlah, akhirnya kapal-kapal itu mau pergi, dan tidak terjadi huru-hara. Dengan cara itulah para nelayan itu menyelamatkan lingkungan hidup mereka, ketika negara malah memfasilitasi perusakan alam dengan izin-izin dan hukum administrasi negara yang didukung kepolisian dan militer.
Coba lihat ada yang terjadi di Papua dan Buyat itu lebih mengerikan. Pertimbangan ekonomi serakah telah menghancurkan pertimbangan keselamatan alam dan manusia. 

Hanya dengan menunjukkan jari dan tongkat maka para penguasa kapital dengan mudah melenyapkan gunung-gunung, memindahkan pasir laut, menghabisi lembah-lembah, mencukur gundul hutan-hutan di negara ini. Lalu siapa yang akan menyelamatkan nasib hidup negara ini di masa depan jika bukan rakyat sendiri, ketika para pengurus negara menjadi pengkhianat bagi negaranya sendiri?

Sayangku, jika ada waktu yang banyak sebenarnya aku ingin menceritakan banyak hal pada pertemuan kita minggu lalu. 

Oh iya ya, kenapa kok jadi cerita yang berat-berat begini. Kapan ya kita bisa bertemu lagi? Hotdog pemberianmu kemarin enak loh! Itu bisa jadi hotdog kenangan, rasa pedes saus sambelnya masih terasa nempel di bibirku, aku bayangkan sebagai ciuman bibirmu yang cantik dan panas di bibirku ini. Tentu saja aku tidak berani mencium bibirmu sungguhan, sebab aku tak berhak. 

Tapi sebenarnya kalau aku bayangkan kamu bercinta dengan suamimu, tentu saja aku cemburu berat, wong aku jatuh hati padamu. Tapi sudah ah, kita tidak perlu membahas itu! Kita bicara yang lainnya saja!
Juwita cintaku, ini surat cintaku yang perdana untukmu. Aku akan mengirim surat lagi, suatu saat. Ini bukan seperti perdana telepon seluler yang bisa diisi ulang. Aku tidak memintamu untuk membalas surat ini. Tanpa surat cintamu, aku bisa membaca kalimat-kalimat cinta dalam hatimu yang terlukis di kanvas rindu yang terbentang memenuhi mimpi-mimpiku. (Waaahh kok kumat jadi sok puitis begini ya?)
Akhirnya, biarkan semua ini berjalan apa adanya. Kapan-kapan aku pengin makan hotdog lagi bersamamu. Tak lupa rujak cingur kesukaan kita. 

Aku yang selalu mencintaimu. Sarmin Boyosentiko (gak ada kaitan dengan Samin Surosentiko).”

Surat itu langsung aku kirim lewat email. Lalu aku SMS Juwita: “Sayang, aku sudah ngirim surat cintaku kepadamu via email. Baca dong! Hmmuach!” Ini SMS gaya anak-anak remaja kan? Hehehe....
Tidak sampai semenit SMS-ku dibalas: “Iya.” Loh, kok pendek amat jawabannya? Ya sudahlah, bisa jadi Juwita sedang sibuk neteki anaknya yang masih bayi. Maklum saja. 

Lima menit kemudian Juwita SMS aku: “Aku sudah balas emailnya Mas.” 

Rasanya tak sabar menunggu jawaban Juwita. Aku segera cek emailku. Aduh....! Betapa kagetnya aku, ternyata jawabannya seperti ini: “Mas, saya minta maaf sebesar-besarnya ya! Setelah aku konsultasikan dengan suamiku, dia tidak merestui hubungan kita. Suamiku keberatan kalau aku pacaran denganmu. Jadi, dengan berat hati kita putuskan saja hubungan kita ya! Aku pasti sedih kehilangan cintamu. Di dunia ini aku rasakan tak ada cinta dan kasih yang tulus ikhlas, selain cinta kasihmu. Terimakasih atas cintamu selama ini. Dari yang mencintaimu. Juwita.” Walah.... Ini kok jadi kayak lagunya Charlie ST 12, Cinta Tak Direstui?

Ahhhhh...... gelap, gelap, gelap dunia ini! Dadaku serasa ditimpa godam. Aduh Juwita, ya pastinya suamimu tidak akan setuju dong kalau kita pacaran! Kenapa kamu ceritakan itu kepada suamimu? Ini hal yang tidak lucu tahu? 

Patah hati lagi. Seperti lagunya Rahmat Kartolo. Aku melangkah keluar, duduk-duduk di depan kantor. Menahan gundah hati yang pasti akan berkepanjangan, seperti yang pernah aku alami di masa remaja itu.
Surat cintaku yang perdana, ternyata jadi yang terakhir pula. Aku hanya bisa berharap, semoga saja Juwita suatu saat mau kembali menyambung cintanya denganku, meski tanpa restu suaminya. Juwita cinta sejatiku. Ini harapan konyol, tapi bukankah dalam asmara itu kadang mengandung kekonyolan? Entahlah..... 

Tapi harapan hanya tinggal harapan. Semua berlalu. Dia memang bukan milikku. Semua berakhir dengan hampa. Aku ditakdirkan tak pernah bisa memiliki wanita yang membuatku jatuh cinta.