22 Desember 2014

Kisah Nyata Nasib Sanggah, Singgih, Songgoh, Sungguh dan Bandiyah

Akan saya ceritakan kisah nyata ini. Sekali lagi, kisah nyata! Mestinya tak cukup dengan kolom cerpen. Tapi aku paksakan saja jadi cerpen. Saya paksakan! Anda tak sadar dunia ini penuh paksa. Anda tak pernah dimintai persetujuan untuk dijadikan ada menjadi manusia kan? Anda tidak bisa memilih untuk lahir sebagai keong atau tikus kan? Anda tak bisa memilih lahir dari rahim Imelda Marcos atau Madonna kan? Jelas itu.

Anda tiba-tiba dilahirkan di Indonesia ini, ketika sudah dewasa harus tunduk pada hukum yang ada sebelum Anda lahir. Anda yang lahir dan besar di negara ini dipaksa untuk mengakui rezim yang dilahirkan oleh perbuatan-perbuatan politik yang haram? Anda terpaksa hidup di negeri yang dipenuhi para penjahat yang mengurusi negara ini? Anda tidak menyadari paksaan-paksaan itu kan? Hehehe.....

Baiklah. Ini adalah tentang sekelompok anak muda kritis, bujangan lulusan SMU lima tahun lalu, dari sebuah kampung. Saya rahasiakan ini di wilayah mana. Mereka adalah Sanggah, Singgih, Songgoh, Sungguh dan Bandiyah. Hanya Bandiyah yang cewek. Lainnya cowok.

Malam tak berhias bintang, langit kelam, ketika mereka berkumpul di rumah orang tua Bandiyah. “Seperti obrolan kita yang lalu, kita akan melaporkan semua pengurus partai politik (parpol), sebab kita menjadi korban penipuan mereka. Kita tidak bisa kuliah di perguruan tinggi negara karena biayanya makin tak terjangkau rakyat kecil. Kampanye janji tentang pendidikan gratis, tentang kesejahteraan, kemakmuran, janji pemerintahan bersih dan sebagainya ternyata omong kosong. Pendidikan mahal, negara dikorupsi besar-besaran!” kata Bandiyah. Gayanya jauh lebih lugas daripada Anis Matta, Ical, Megawati, Surya Paloh, apalagi SBY.

“Saya dan Songgoh sudah konsultasi ke LBH-LBH dan Polsek-polsek, katanya itu bukan kejahatan penipuan, sebab tidak memenuhi unsur “menyerahkan barang” kepada parpol-parpol itu. Kita hanya menyerahkan “suara” dalam pemilu!” Sanggah menimpali.

“Gini saja! Kewenangan menerima laporan tentang penipuan ini kan di tangan Kepolisian. Kita kumpulkan warga, kita demo saja ke Polres di sini. Kita katakan bahwa “suara” rakyat dalam pemilu itu adalah “barang yang tak nampak” seperti hak kebendaan. Buktinya mereka di KPU bisa melimpahkan suara itu ke calon anggota DPR ini dan itu? Berarti suara kita bisa dipindah-pindahkan seperti barang, “ Singgih menjelaskan.

“Hehehe... itu aku pernah baca kisah hakim Bismar Siregar yang menafsir kelamin wanita sebagai “barang”, tapi tafsir itu dimentahkan Mahkamah Agung lo Nggih,” bantah Sungguh. Saya pernah meminjamkan majalah Varia Peradilan kepada Sungguh.

“Lalu bagaimana? Apakah seluruh kebohongan publik yang dilakukan semua parpol itu tidak dapat dianggap sebagai kejahatan hanya karena penafsiran-penafsiran yang formal itu? Apakah kita hanya setuju bahwa seluruh kebohongan itu cuma dianggap kesalahan politik yang sanksinya hanya diserahkan pada proses pemilu berikutnya? Bukankah ternyata para pembohong itu tetap terpilih mengurus negara ini, dan nyatanya tetap saja rakyat dibohongi?” Bandiyah berapi-api. Coba ada kertas di sebelahnya, bisa terbakar kali ya? Kih kih kih…..eh,…. kmp kmp kmp……… (saya tahan tawa….). 


Perdebatan mereka berujung pada kesepakatan bahwa meraka akan mengajak warga setempat melapor di Polres terdekat, melaporkan semua pengurus parpol yang pernah kampanye di wilayah itu, yang ternyata janji-janji kampanye mereka banyak tidak terealisasi.

Singkat cerita, Polres menerima laporan tersebut setelah didemo warga beberapa kali. “Biar nanti pengadilan yang menafsir apakah “hak suara” yang diberikan warga dalam pemilu itu termasuk “barang” atau bukan. Kejahatan penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP: “Barangsiapa denganb maksud menguntungkan diri-sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Sebenarnya kepolisian dan kejaksaan enggan melanjutkan perkara itu. Tapi masalah itu terus-menerus diberitakan media massa, ramai, menjadi perhatian masyarakat dan mempengaruhi para politisi. Isu tentang “penipuan parpol-parpol” mengemuka. Itulah yang menarik perhatian para politisi sehingga mereka berkumpul untuk berunding guna mengambil langkah strategis. Maklum, mendekati pemilu,,,,,,,.

Sekelompok pemuka politisi lintas parpol mengambil kesimpulan bahwa kasus itu akan diselesaikan melalui pengadilan. “Pengadilanlah yang kita atur secara mudah karena itu bukan kasus penipuan Pasal 378 KUHP!” Akhirnya mereka menyewa makelar kasus untuk mengatur perkara itu. Skenarionya adalah “meminta Kejaksaan melimpahkan perkara itu ke pengadilan dan dengan mudah mementahkannya di pengadilan, agar isu yang meresahkan para politisi itu segera berakhir.”

Sidang perkara digelar di Pengadilan Negeri setempat. Para pengunjung selalu padat. Para terdakwanya adalah para pengurus tingkat daerah semua parpol yang mempunyai kursi di parlemen daerah dan pusat. Mereka tidak ditahan. Seperti anak seorang menteri dalam kasus kecelakaan yang menewaskan dan mencelakakan beberapa orang itu kan tidak ditahan. Coba kalau orang kecil? Heh!...  Sabar, penulis cerpen dilarang ikut terlibat emosi, kih kih kih……kmp kmp kmp……hehe....!

Memang benar. Skenario berjalan mulus. Para terdakwa dibebaskan hakim. Alasannya adalah bahwa “hak suara” dalam pemilu itu bukan merupakan “barang” yang dimaksudkan dalam Pasal 378 KUHP, meskipun segala muslihat atau rangkaian kebohongan dalam kampanye itu terbukti dalam sidang di pengadilan itu. Sepertinya para hakimnya juga tahulah banyak janji bohong dalam kampanye pemilu. Ya tahu dong……

“Kasus itu memang bukan delik penipuan pasal 378 KUHP. Jika dikatakan wanprestasi dalam lapangan Hukum Perdata juga tidak bisa, sebab itu bukan perjanjian para pihak yang mengandung obyek perjanjian sebagaimana menurut Pasal 1320 KUHPerdata,kata seorang profesor, pakar hukum, menjelaskan dalam sebuah acara talk show di TV.

“Lalu bagaimana kasus-kasus kebohongan dalam setiap kampanye para politisi itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum Prof? Apakah itu tidak dianggap sebagai kejahatan?” tanya pembawa acara TV itu.

“Itulah politik. Di mana-mana di dunia ini politik selalu dengan kebohongan. Politik dan kebohongan adalah mitra sejati. Hukum tidak mampu menjangkaunya sebab hukum itu produk mereka para politisi itu,” jawab profesor itu.

Guna memuluskan agar skenario itu dianggap kesungguh-sugguhan penegak hukum maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri yang membebaskan para politisi lintas parpol itu.

Bandiyah, Sanggah, Singgih, Songgoh dan Sungguh mulai tertekan. Mereka banyak mendapatkan pertanyaan atas kegagalan mereka. Bahkan warga setempat yang biasa diajak demo mulai mencemooh mereka. “Kalian sama bohongnya dengan para politisi itu! Katanya kasus ini akan menjadi terobosan hukum, tapi ternyata hanya mempermalukan kami!” kata pengurus warga di kampung itu.

Karena tekanan-tekanan itu maka sekelompok pemuda itu meninggalkan kampung mereka. Masing-masing mencari pekerjaan jauh di luar kampung mereka. Bandiyah menjadi purel di sebuah diskotik. Sanggah dan Singgih menjadi buruh pabrik kertas. Songgoh menjadi buruh perkebunan kepala sawit di Kalimantan, dan Sungguh kabarnya menjadi buruh cleaning service di sebuah plasa di Surabaya.

Mereka masih tetap bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan. Bandiyah setelah setahun bekerja mencoba untuk mendaftar kuliah di Fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta yang murah. Sanggah diketahui menikahi seorang gadis, anak dari ibu kosnya. Singgih masih berusaha menabung untuk rencana biaya kuliah. Songgoh memutuskan mengalah tidak kuliah, tapi ia bertekad akan membiayai pendidikan dua adiknya hingga ke perguruan tinggi. Sedangkan Sungguh merasa tidak berani melanjutkan kuliah karena gajinya yang terlalu kecil dan harus membantu ekonomi orang tuanya.

Ketika para pemuda yang pernah membuat heboh perpolitikan itu mulai dilupakan, dalam kurun waktu sekitar lima tahun sejak putusan hakim pertama yang membebaskan terhadap para politisi tersebut, tiba-tiba negara ini dikejutkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) yang menerima dan mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum, yakni menghukum para politisi parpol yang menjadi terdakwa kasus itu dengan hukuman penjara seumur hidup.

Putusan MA itu menyebabkan polemik hebat. Bagaimana batasan hukuman maksimum menurut Pasal 378 KUHP adalah empat tahun penjara, tapi hakim MA menghukum terdakwa dengan hukuman penjara seumur hidup? Belum lagi soal kontroversi tafsir tentang “barang” yang diterapkan dalam kasus itu, yakni “hak suara” dalam pemilu dikategorikan sebagai “barang” yang bisa dikomersiilkan, diperjual-belikan?

Dalam pertimbangannya hakim MA menyatakan: “Bahwa hukum pidana harus mampu menjangkau kejahatan-kejahatan publik yang patut dipertanggungjawabkan secara pidana dan hal itu tidak dapat dibebaskan dengan alasan tidak ada hukumnya. Hakim boleh menciptakan hukum yang belum diciptakan lembaga legislatif, sesuai kebutuhan masyarakat. Bahwa karena para terdakwa melakukan kejahatan penipuan secara politik menggunakan partai-partai politik mereka dan partai-partai politik mereka secara organisasi mengizinkan atau sekurang-kurangnya membiarkan segala kejahatan itu, maka partai-partai politik itu juga harus diadili dan dipidana sebagai korporasi penjahat. Hal itu menjadi tugas kepolisian untuk segera menyidiknya dan tugas kejaksaan untuk menuntutnya.

Dan yang membuat terperanjat banyak kalangan adalah pertimbangan hakim MA berikut: “Bahwa karena para anggota DPR dan DPRD dilahirkan sebagai “anak-anak haram” oleh parpol-parpol dalam pemilu yang dilakukan dengan kejahatan, maka seluruh anggota DPR dan DPRD adalah tidak sah. Begitu pula para hakim di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang telah diseleksi melibatkan para anggota DPR itu adalah hakim-hakim yang tidak sah. Dengan demikian, putusan ini harus dilaksanakan dan sebagai dasar melakukan revolusi pemerintahan!

Putusan MA tersebut menjadi perdebatan yang riuh, termasuk dalam dunia hukum. Para advokat penasihat hukum para terdakwa ngotot bahwa putusan MA tersebut nonexecutable, tidak dapat dieksekusi, sebab dibuat oleh hakim MA yang menyatakan dirinya sendiri sebagai “produk tidak sah” sebab dipilih dengan melibatkan kewenangan para anggota DPR yang tidak sah, akibat proses pemilu yang merupakan tindak pidana penipuan (kejahatan). “Produk para hakim tidak sah sudah pasti tidak sah!” Kata para advokat itu dengan tegas.

Tiba-tiba saya emosi dan melabrak para advokat itu. “Pendapat kalian juga tidak sah! Mengapa? Sebab kalian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Advokat yang dibuat oleh para anggota DPR bersama dengan Presiden melalui pemilu yang tidak sah karena dilakukan dengan cara-cara kejahatan penipuan tersebut! Kalian tahu, apa yang sah di negara ini?” Para advokat itu diam, seperti orang-orang bisu. Saya merasa puas, sebab sejak lama saya dendam, terutama kepada mereka yang suka membolak-balik kebenaran: salah menjadi benar, benar menjadi salah hanya karena uang!

Terserahlah, bagaimana rakyat di negara ini menilai putusan MA itu...... Lantas, Anda percaya ini kisah nyata? Terserahlah! Emang perlu dipikir? Kih kih kih..... kmp kmp kmp,,,,,,,,,,,,,,,,

Surabaya,  18 Mei 2013 .....