22 November 2008

TJAK LOEMPOER bagian ke-4

(Ahli Fulusimeter)

Sori, kisah Cak Lumpur berhenti agak lama. Maklum penulisnya bukan sastrawan. Cuma kuli bangunan. mBangun tidur, mBangun Karta (nama sepur), mbangun dari pingsan. Jadi kalau kerjaan lagi banyak ya berhenti dulu menulis cerita. Kalau istilahnya Rubi Kambali, penulisnya adalah pengacara tidak laku. Karena tidak laku, jadilah tidur, pingsan, naik sepur sambil bawa gitar dan menyanyikan lagu “bangun tidur kuterus makan//tidak lupa menggosok mata//habis makan kutidur lagi//…dst…”

Di dunia ini memang banyak kuli. Ada kuli batu, kuli tinta, kuli kebun, ada pula yang paling jelek, yaitu kulina ngapusi (biasa bohong), seperti yang dilakukan Lapindo kepada korbannya. Makanya cocok kalau Jawa Pos bikin judul berita: “PT. Minarak Tidak Membayar” dan koran Surya bikin judul: “Lapindo Ngemplang, Korban Melapor.”

Kambali ke soal alasan lamanya sambungan cerita ini. Kalau ada pengacara yang memberi konsultasi hukum kepada masyarakat secara gratisan, diistilahkan tidak laku. Tidak profesional. Jadi, makna profesional sekarang diarahkan ke ‘komersial’. Maka jangan heran kalau para ‘profesional muda’ (pinjam istilah radio) membayangkan bahwa para advokat yang tarifnya tinggi itu adalah advokat profesional. Tapi advokat yang suka mengobral tenaga pikiran keahliannya secara gratisan kepada masyarakat kurang mampu ekonomi dibilang “tidak profesional” atau kasarnya: “tidak laku.” Jadi, menurut orang-orang pintar di sini, “profesional” diartikan “komersial”. Salah atau tidak, ahli bahasa yang lebih kompeten menilai.

Tapi, soal pengacara komersial itu, ada orang Madura yang komentar: “Wah wah wah…. Pengacara kok kayak wartel aja ya? Mbayarnya pakai ukuran jam-jaman!” Kekekekekek… Nggak tahu mereka ini prinsip dagang jasa.

Tapi kalau kepandaian diperdagangkan terus, nggak ada yang disumbangan atau didermakan kepada masyarakat, maka jadilah manusia dagangan. Jika sudah bermental manusia dagangan, maka bebas nilai, tak kenal hitam putih, halal haram, tak kenal logika dan etika. Tahunya hanya estetika. Kalau dapet uang banyak baru merasakan estetis….. Biar kepandaiannya dipakai untuk menghancurkan nasib sosial ya oke oke aje. Tanpa beban. Yang penting bisa hidup nyaman. Tak peduli ancik-ancik bangkene menungsa (berdiri di atas derita sesama), yang penting merasa menjalankan profesi.

Pada bagian ketiga cerita ini, telah dikisahkan bahwa Kahyangan Saptabumi yang dipiloti oleh Mas Tur (Mas Turun Antaboga) telah mengajukan gugatan kepada para dukun peramal yang menuduh Kahyangan Saptabumi sebagai penyebab kelahiran Cak Lumpur. Kahyangan Sapta Bumi diwakili oleh LBH Antiklenik, sedangkan para dukun klenik diwakili oleh kantor hukum Buri Kalambi & Co.

Pada sidang pertama kasus itu di Pengadilan Atas Bumi, tampak advokat Buri Kalambi yang keren itu celingukan melihat ke lantai. Jangan-jangan uangnya jatuh ya?

“Para pihak apa sudah siap?” tanya Ketua Majelis Hakim.

“Bentar Om, … eh… sori,… Yang Mulia, kartu tanda pengenal advokat saya tadi jatuh di bawah meja saya ini…. Kok…. Nggak ada ya?”

“Ayo dicari dulu. Saya beri waktu tiga menit!” kata Ketua Hakim itu. Memang hakimnya sabar-sabar.

Kalau hakim di negara Atas Angan (bukan Angin), hakim biasa bersabar sambil melihat-lihat situasi. Setelah ada yang melakukan pendekatan maka biasa jadi galak. Galaknya justru kepada pihak yang mendekat. Di sidang biasa lembut kepada pihak yang tidak mendekati, galak kepada yang mendekati. Begitu palu putusan diketukkan, mak dok! Ternyata putusannya memihak kepada yang digalaki. Lha iya wong sudah dikasih hohohihi sama yang mendekati itu. Itu namanya sandiwara peradilan. Yang nggak pengalaman nggak akan tahu itu. Lah, penulisnya apa pengalaman begitu? Yah…. Jangan tanya gitu dong!

“Apa sudah ketemu tanda pengenal advokat Saudara?” tanya Ketua Hakim. “Waktu Saudara sudah habis!”

“Waduh, maaf Om,… eh keliru lagi. Maaf Yang Mulia, belum ketemu. Saya mohon ijin tetap menjalankan sidang ini. Nanti pasti ketemulah. Wong barusan jatuh di sini. Apa mungkin dibawa kucing pengadilan sini ya?” tanya Buri Kalambi.

“Saudara menghina pengadilan ini. Itu contempt of court! Silahkan Anda keluar dari sidang ini!” perintah Ketua Hakim dengan marah-marah. Rupanya ia tersinggung ketika advokat Buri Kalambi bilang bahwa tanda pengenal advokatnya dibawa kucing pengadilan itu. Ada-ada saja. Masak kucing yang suka ikan kok bawa lari kartu pengenal advokat. Masak pengadilan agung kok sampai kesusupan kucing? Apa kira-kira kartu pengenal advokat bau ikan asin? Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.

Peristiwa itu membuat Kepala Dukun Klenik malu. Ia segera memutuskan hubungan kerja dengan kantor advokat Buri Kalambi & Co. Ia meminta waktu kepada majelis hakim untuk menunjuk tim advokat baru. Lalu ditunjuklah tim pengacara yang di dalamnya ada pengacara yang dulunya dikenal sebagai pembela HAM, yaitu: Trimumet Dipo Suryokontho, Lugut M Panghiburan, Hotmarihot Sikampul-kampul. Mereka ini advokat top markotop yang tarifnya mengalahkan seluruh tarif telepon seluler di seluruh dunia. (Perlu dicatat bahwa tarif wartel lebih mahal dibandingkan tarif telepon seluler ke sesama operator. Kalau di wartel bisa seribu rupiah per menit, tapi tarif ke sesama operator seluler hanya Rp. 0,000000000000…..01,- permenit).

Singkat cerita (biar cepet tamat), acara sidang setelah berjalan sekitar tiga bulan menginjak ke acara pembuktian. Kuasa hukum Kahyangan Saptabumi telah menyerahkan seluruh alat bukti. Rencananya juga akan mengajukan keterangan ahli. Tapi ternyata para pengacara Dukun Klenik curang, sebab tidak hadir di acara pemeriksaan ahli yang diajukan kuasa hukum Kahyangan Saptabumi. Terpaksa sidang ditunda. Karena ahli yang diajukan Kahyangan adalah orang-orang sibuk, akhirnya hanya satu ahli saja yang bisa bertahan dimintai keterangan oleh hakim. Dia bernama Rudi Rubi Rudini, seorang pakar kebumian. Meski namanya Rudini, tak ada kaitannya dengan Jendral Rudini yang suaranya serak-serak itu.

“Apa yang dapat Saudara jelaskan soal kelahiran Cak Lumpur yang membuat panik dan kerusakan meluas itu?” tanya ketua Majelis Hakim.

“Yang Mulia, saya akan menyampaikan pendapat saya. Tapi mohon dicatat oleh Saudari panitera pengganti yang cantik seperti Dewi Supraba itu bahwa pendapat saya ini tidak berdasarkan pendapatan saya. Ini penting. Sebab banyak pakar yang mau berpendapat berdasarkan pendapatan yang ditawarkan,” jawab Rudi.

“Baiklah. Teruskan!” perintah hakim.

“Perlu Yang Mulia ketahui. Saya adalah orang yang termasuk pertama mendapatkan data-data orisinil kelahiran Cak Lumpur itu. Berdasarkan apa yang saya temukan dan teliti, ternyata kelahiran Cak Pur tidak berhubungan dengan kondisi Kahyangan Saptapratala atau Saptabumi. Cak Pur pada mulanya adalah bayi yang dilahirkan manusia yang berselingkuh. Lalu bayi itu dibiarkan begitu saja. Bumi memeliharanya, tapi ia berubah menjadi masalah karena orang-orang yang melahirkannya tidak bertanggung jawab.”

“Lantas, apa hubungan antara kepakaran Saudara dengan kelahiran Cak Pur?” tanya hakim.

“Saya ahli bidang kebumian. Maka saya berkompeten menjelaskan apakah Cak Pur dilahirkan oleh keadaan bumi. Itu tidak mungkin bin mustahil,” jawab Rudi.

“Itu saja cukup! Saudara tak perlu menjelaskan tentang proses kelahiran Cak Pur yang menurut Saudara hasil perselingkuhan manusia. Kalau soal proses kelahiran itu ahli yang lebih berkompeten menjelaskan adalah bidan atau dokter kandungan,” kata hakim.

Tanya jawab berlangsung seru. Hari itu sangat melelahkan bagi Rudi Rubi Rudini. Ia termasuk pakar yang tidak bermental manusia dagangan sebab mau mendermakan keahliannya untuk masyarakat. Bukan ahli yang sok ilmiah, dengan dalih ilmu pengetahuan lalu menjelaskan sesuatu yang tak dipahaminya. Seperti dokter hewan sok ilmiah mengatakan luka hewan akibat kejatuhan ranting pohon, padahal banyak saksi yang melihat luka hewan itu karena dipukuli pemiliknya sendiri.

Babak berikutnya pengacara tergugat mengajukan ahli dari Paguyuban Dukun Klenik. Yang diajukan kali pertama adalah Prof. Sukemi Aspirin. Meski namanya seperti obat sakit kepala tapi kepintarannya melebihi orang biasa. “Ruarrrrr biasa!” kata orang Jepang yang lagi belajar bahasa Indonesia.

“Apa yang hendak Saudara jelaskan dalam kasus kelahiran Cak Pur itu?” tanya hakim.

“Saya adalah ahli kebumian Yang Mulia. Sudut pandang saya luas. Saya bisa mengukur getaran gejolak kehidupan Saptabumi sampai ratusan kilometer. Bahwa kelahiran Cak Lumpur berkaitan dengan gejolak bumi Saptapratala,” Profesor itu menjelaskan.

“Bagaimana cara Saudara mengukur getaran gejolak kehidupan Saptabumi itu? Lalu apa hubungan gejolak Saptabumi dengan kelahiran Cak Pur?” tanya hakim.

“Cara mengukurnya dengan alat bernama fulusimeter. Yang diukur adalah garis hubungan yang tak tampak oleh mata biasa. Bahkan tak semua ahli mengetahui.”

“Mengapa tak semua ahli mengetahui? Jika garis hubung itu tak tampak oleh mata biasa, lalu ahli seperti Anda melihat dengan keahlian semacam apa?” kejar hakim.

“Sebab semua ahli tidak punya alat berupa fulusimeter. Harganya sangat mahal. Ahli seperti sayalah yang punya fulusimeter itu. Keahlian yang saya miliki didukung oleh fulusimeter itulah yang memberikan pengetahuan secara jelas bahwa Cak Lumpur lahir disebabkan oleh gejolak Saptabumi.”

“Tolong Saudara jelaskan logika kelahiran Cak Lumpur berkaitan dengan gejolak Saptabumi itu!” perintah hakim.

“Seperti Yang Mulia pernah katakan, bahwa proses kelahiran menjadi bidang keahlian bidan atau dokter. Saya sebagai ilmuwan sejati memegang prinsip: right man in the rights place. Tapi ahli semacam saya karena khusus bolehlah pakai prinsip RICH MAN ON THE HIGH PLACE!”

Setelah melalui proses pembuktian yang panjang, hakim merencanakan akan segera memutuskan sengketa gugatan Kahyangan Saptabumi yang merasa dicemarkan oleh tuduhan para dukun klenik itu.

Mengenai putusan hakim itu maka akan dikisahkan di babak berikutnya. Ini sudah kepanjangen. Untungnya diposting di milis. Kalau di koran sudah ditolak mentah-mentah. Ditolaknya bukan karena terlalu panjang, tapi penulisnya bukan sastrawan, hanya kuli. Kulina cengengesan….. kekekekekkk…..

Suroboyo, 9 Nopember 2008.

15 September 2008

TJAK LOEMPOER (bagian ke-3)

Peradilan awal

Baiklah. Meskipun kisah Cak Pur ini tidak akan bagus jika dijadikan lakon Ketoprak Serius maupun Ketoprak Humor, tapi menurut penulisnya tetap dilanjutkan, sebab kadung bin terlanjur diawali.

Pada bagian ke-2 yang lalu, Mas Tur selaku pimpinan eksekutif Kahyangan Saptapratala akan menggugat para dukun peramal yang telah menuduh bahwa kelahiran Cak Lumpur disebabkan gonjang-ganjing yang bersumber dari Saptapratala alias Saptabumi. Sapta atinya tujuh, pratala artinya bumi. Jadi, Saptapratala berada di dalam bumi lapis ke-7.

Nggak tahu kenapa di bumi ini kok suka dengan angka 7. Ada langit lapis ke-7 – orang Jawa bilang langit sap pitu, jumlah hari dalam seminggu juga tujuh. Untuk menunjukkan turun-temurun juga dipakai istilah “tujuh turunan.” Cuman, kalau punya anak tujuh jaman sekarang pasti kelenger, harus kerja keras merawat dan menghidupinya. Tapi laki-laki suka juga kawin tujuh. Anehnya si isteri ke-7 juga happy-happy. Yang belum punya pengalaman mikirnya begitu. Yang sudah berpengalaman ya senyum-senyum, okei-okei...

Kembali ke notebook. Langkah pertama, Mas Tur bertindak untuk dan atas nama Pemerintahan Kahyangan Saptabumi, mengirim somasi kepada para dukun peramal pembawa fitnah itu. Somasinya cukup melalui email, sebab berdasarkan Konvensi Internasional penggunaan teknologi informasi ditentukan bahwa email bisa menjadi alat bukti. Tahun 2001 di Budapest juga pernah ada Konvensi Kejahatan Siber (Convention on Cybercrime). Kebetulan hukum di negara Atas Bumi juga sudah mengakui bahwa email maupun SMS dapat menjadi alat bukti.

Ternyata para dukun peramal itu menggubris somasi Kahyangan Saptabumi. Tapi jawabannya menantang! “Emang lu siape? Jangan mentang-mentang penguasa Kahyangan Saptabumi lantas main somasi! Emangnya kami takut? Siapa takut? Bahkan sebentar lagi kahyangan rongsokan itu akan ditembus bor para penambang minyak dan gas bumi (migas). Kalian pasti akan terusir! Jaman gini kok masih hidup dalam tanah?” Begitulah jawaban para dukun peramal itu via email. Kedengarannya meremehkan Kahyangan Saptabumi.

Malahan para dukun peramal itu pakai lawyer alias pengacara alias advokat. Namanya Buri Kalambi. Siapa ya dia ini? Kalau yang saya tahu di milis Media Jatim itu ada pemilis namanya Rubi Kambali. Apakah Buri Kalambi menyamar di Media Jatim, pakai nama Rubi Kambali ya? Bisa iya, bisa nggak. Tapi sudahlah, itu nggak usah disoal. Malah nambahi misteri.

Dalam jawaban resmi lawyer Buri Kalambi & Co, dinyatakan bahwa para dukun peramal itu telah bekerja sesuai dengan Kode Etik profesi dukun peramal. Saya baru tahu kalau ternyata para dukun peramal punya Kode Etik profesi. Yang namanya profesi itu cirinya: punya wadah organisasi tunggal, mengenai keahlian tertentu yang diperoleh dengan pendidikan khusus, dan merupakan pekerjaan. Jadi, kalau ada berita di koran-koran yang biasa bikin kalimat “si fulan yang berprofesi sebagai tukang becak....dst”, itu salah. Tukang becak itu keahliannya bukan dengan pendidikan khusus.

Yang sengsara tujuh turunan adalah advokat Atas Bumi yang sudah kehilangan ciri profesi sebab sejak Orde Baru hingga kini nggak bisa disatukan dengan satu wadah organisasi advokat. Ribut terus, masing-masing kelompok mau berkuasa seperti partai politik. Kalau begitu pekerjaan para lawyer Atas Bumi itu profesi atau pekerjaan biasa? Ya kalau sudah tidak memenuhi ciri profesi ya sama dengan tukang becak. Kalau begitu lawyer Buri Kalambi itu sama dengan tukang becak? Ya kira-kira begitulah....

Cuma, dalam hidup ini jangan melihat apa bentuk pekerjaan. Tukang becak, pengacara, wartawan, MC, makelar motor, petani, saudagar, di hadapan Allah itu derajatnya tergantung moralnya (ini sih, kata yang pinter agama). “Inna akromakum ‘ingdalloh atqokum. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Alloh adalah yang paling bertakwa di antara kalian!” (Gara-gara bulan puasa, ceritanya ada sisipan begini.)

Kembali ke topik. Mas Tur selanjutnya menempuh langkah kedua, mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agung yang ada di Kahyangan Agung. Pengadilan Agung ini dibentuk langsung oleh Raja segala raja. Sang Raja segala raja inilah yang dahulu menciptakan Semar, Guru (Syiwa) dan Togog. Bahannya telur. Tapi bukan telur asin yang biasa dijual di warung-warung. Kalau telur asin ya telur bebek. Ada juga telur asin palsu, bukan telur bebek tapi telur ayam yang cangkangnya dibuat seperti telur bebek. Loh, kok membahas telur?

Konon, telur ciptaan Sang Raja segala raja itu kulitnya menjadi Togog, putih telurnya menjadi Semar dan kuning telurnya menjadi Guru. Semuanya tentu dewa. Hanya saja, Togog diberi tugas menjadi punakawan (kalau di Atas Bumi dilevelkan pembantu) dari tokoh-tokoh wayang golongan kiri, seperti contohnya keluarga Rahwana dalam kisah Ramayana. Semar atau dikenal sebagai Dewa Ismaya ditugasi menjadi punakawan tokoh-tokoh wayang golongan kanan seperti contohnya Pandu, Arjuna dan keturunannya.

Wah repot, kok selalu melebar dari topik ya? Ini penulisnya kok geblek sih?

Setelah gugatan didaftarkan, peradilan pun segera akan digelar. Memang beda pelayanan Pengadilan Agung dengan pengadilan Atas Bumi. Di pengadilan Atas Bumi, panggilan sidang pertama baru bisa dipercepat kalau ada ‘uang dorong’. Kalau dalam jual-beli ada uang muka, uang cicilan, dan uang pelunasan, maka di pengadilan Atas Bumi ada uang dorong dan uang sogok. Di Pengadilan Agung berlaku adagium: “biarpun langit runtuh, keadilan tetap tegak.” Tapi di pengadilan Atas Bumi berlaku adagium: “ada uang ada keadilan. Ada uang hukum disayang, nggak ada uang hukum ditendang.” Loh, kok kayak lagu dangdut? Ya, itulah faktanya.

Sidang pertama gugatan Kahyangan Saptapratala digelar. Di jaman modern, rakyat di seluruh dunia bisa menonton sidang melalui stasiun TV yang khusus menayangkan sidang-sidang pengadilan. Namanya J-TV alias Justice TV. Jadi, yang ditayangkan khusus proses peradilan yang lengkap dengan analisis dari nara sumber para ahli hukum serta para pencari keadilan dan masyarakat penilai (Wah ini bisa jadi akan dicontoh perusahaan media?). Jadi, orang nggak perlu datang berbondong-bondong ke pengadilan menonton sidang, kecuali kalau tujuannya berdemo ataupun justice tourism (wah ada lagi cabang wisata baru nih...?).

Melalui J-TV (Justice TV. Ini bukan JTV punya Grup Jawa Pos lo ya!), dalam tayangan sidang perdana ini memang tampak lawyer Buri Kalambi yang..... keren abis .... Waduh, para asistennya kok banyak cewek cakepnya ye? Ya itu emang model kantor-kantor hukum sekarang. Cewek cakep selalu menjadi ‘alat promosi’ yang menarik pelanggan. Maaf ye, bukan maksudku mencemarkan nama baik! Cowok keren juga banyak yang jadi bintang iklan. Tapi ada juga iklan jamu kuat pakai model kakek-kakek. Siapa ya namanya itu? Mbah ...... ah nanti tulisan ini dikira iklan. Tahu sendirilah!

Sedangkan Kahyangan Saptapratala pakai pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Antiklenik. Wah, hebat juga ya. Kahyangan bersekutu dengan lembaga hukum antiklenik. Biasanya kahyangan itu isinya banyak klenik. Barangkali Kahyangan Saptabumi sudah melakukan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Lagipula, siapa sih yang tahu klenik-klenik semacam roh dan gaib-gaib begitu? Nabi Muhammad aja diajari Tuhan dalam surat Al-Isra’: wa yas-aluunaka ‘anir-ruh, quli ruhu min amri robbi. Wamaa uutiitum min ‘ilmi, illaa qoliilaa. “Dan jika kamu ditanya soal roh, maka katakan (jawablah) bahwa roh itu urusan Tuhanku. Dan kamu tidaklah akan diberikan pengetahuan melainkan sedikit saja.” Sedikit saja. Jadi, kalau ada orang yang ngaku-ngaku banyak ilmunya tentang roh, klenik-klenik, yaaah.... silahkan saja percaya atau tidak. Soal keyakinan, kita free-free aja man! Kalau saya meski orang ndeso, percaya saja sama setan. Masak setan nggak percaya diri-sendiri? Kakakakak.....

“Sidang dibuka, dan terbuka untuk umum! Dok!” Ketua Hakim membuka sidang. “Dok!” itu maksudnya bunyi meja sidang digetok palu. Jangan dikira hakimnya memanggil dokter!

“Pihak penggugat dan tergugat sudah sama-sama hadir?” tanya Ketua Hakim. Tampak aura wajahnya moncer sebagai wakil Tuhan di bidang keadilan. (Kalau hakim-hakim di negeri Atas Bumi kebanyakan sorot matanya ijo. Tak kalah ijo mata lawyer, jaksa dan polisi. Mending mereka bikin klub Green Eyes. Keren kan?)

“Penggugat hadir diwakili oleh kuasanya Yang Mulia,” jawab lawyer LBH Antiklenik. Pengacara muda ini namanya Joko Adil. Mudah-mudahan dia tidak sedang pelatihan hukum. Soalnya, banyak para lawyer tenar yang pembela koruptor kakap-kakap, pembela pelanggar HAM berat, dahulunya mereka ya lawyer LBH-LBH gitu. Setelah pinter-pinter, mereka maunya komersiil melulu.

Kasihan juga rakyat kecil tertindas, hanya dibela oleh para pengacara muda yang baru, lagi training, atau magang. Hanya jadi bahan mencari popularitas. Mana ada kasus-kasus rakyat kecil yang dibela para advokat senior? Dalam kasus lumpur Lapindo juga nggak ada advokat senior yang mau turun gunung. Malah para advokat yang dahulunya pejuang HAM menikmati membela Lapindo dan konco-konconya. Ada juga sih advokat senior hanya mau turun kalau kasusnya ramai menjadi perhatian umum, asal tidak melawan korporasi kaya, yaitu: kasus dugaan “salah tangkap” yang terkuak dan terkenal di media yang berkaitan dengan kasus Ryan itu. Yah... popularitas lagi, asal tidak melawan kekuasaan uang...

Lha yang lucu kan contohnya kasus Buyat Sulawesi Utara itu. Pembela Newmont itu lawyer pensiunan LBH ibukota, melawan pengacara penggugat yang juga pengacara LBH. Ini terulang dalam peradilan kasus lumpur Lapindo. Senior ketemu yunior, sama-sama dari satu lembaga. Walah kacok, eh, kocak!

Dahulu, semangat lawyer muda kelihatan menggebu: “Lawan pencemar dan perusak lingkungan! Lawan pelanggar HAM! Lawan koruptor! Lawan penindas!” Weleh... hambelgedhes ono bedhes mangan kates nang Tretes, banyune ketes-ketes, entute ngewes, cocot nyepres ning kecewes..... (stop!). Setelah tenar berbalik malah membela perusak lingkungan, pelanggar HAM berat dan koruptor kakap-kakap. Ada juga pendekar pers yang dahulunya menggebu-gebu bicara tentang kemerdekaan pers, yang kemudian berbalik disewa korporasi penggugat pers. Maka muncullah syair: “Maju tak gentar, membela yang bayar...” Tak ada ideologi yang penganutnya paling banyak, melainkan uangisme alias fulusisme. Tak ada jenis agama yang paling banyak pemeluknya, kecuali moneytheism (meminjam istilah di buku Prof. Daniel C Maguire, Sacred Energy).

Kembali ke topik. Ini cerita melebar ke mana-mana jika tidak distop dulu....
Dalam adegan sidang pertama kasus gugatan Kahyangan Saptabumi kepada para dukun peramal itu tampak lawyer Buri Kambali celingukan melihat ke lantai. Apa uangnya terjatuh? Apa sedang melihat tikus lewat? Atau, rokoknya jatuh? Atau jangan-jangan sepatunya keliru sepatu cewek?

Nanti akan bersambung di bagian ke-4. See u later!

10 September 2008

TJAK LOEMPOER (Bagian 2)

Keturunan Antaboga Protes

Cak Lumpur alias Cak Pur hingga hari ini tak tertandingi. Benteng-benteng terus diperkuat dan diperluas.

Kasus itu terdengar sampai ke Saptapratala. Ternyata kisah Cak Lumpur bagian pertama yang diposting di milis Media Jatim itu dibaca oleh keluarga besar Saptapratala di dalam bumi. Maklum, jaman modern ini internet juga sudah sampai ke kahyangan dalam bumi. Bahkan cacing tanah, gayas, dan hewan-hewan dalam tanah lainnya sudah banyak yang mahir menggunakan internet.

“Ini penulis cerita Tjak Loempoer kok goblok ya! Namanya Cak Bagio, omongannya terkenal ngawur di internet! Masak, ngomong silsilah Dewa Antaboga punya anak Nagagini, lalu Nagagini dikawin Bima, kok tiba-tiba menyebut nama Gatutkaca? Lha Gatutkaca alias Gatotgelas itu kan anak hasil perkawinan Bima dengan Arimbi, raksasa wanita yang cantik gara-gara sering pake lumpur Lapindo untuk spa?” Begitu protes keturunan Antareja garis derajat ke 2.657 (duaribu lebih). Dia bernama Ananto Turun Antaboga, atau biasa dipanggil Mas Tur (bukan Mastur lo!).

Saya sebagai penulis cerpur ini ya kaget to, lha wong tiba-tiba mendapatkan surat somasi dari Mas Tur, berstempel Kahyangan Saptapratala. Wah, deg-degan saya. Deg-degan bukan karena seperti lagu Jawa-nya Pak Manthos gara-gara melihat cewek yang membuat jatuh cinta itu. Tapi deg-degan karena seumur-umur baru kali ini saya mendapatkan perhatian dari Kahyangan Saptapratala. Biasanya yang protes saya paling-paling tukang becak gara-gara motor saya yang jelek itu malang-megung di pinggir jalan, atau mbokne arek-arek yang protes, nagih utang ke saya karena dua bulan bon gajinya nggak kunjung saya bayar. We lha kali ini aku berurusan dengan Mas Tur keturunan Dewa Antaboga itu.

Untuk menghormatinya, saya minta maaf. Melalui email saya jelaskan bahwa saya menyebut nama Gatutkaca itu kan tidak berarti mengaburkan silsilah Dewa Antaboga. Saya dulu kan nulis: Antaboga itu ayahnya Dewi Nagagini yang dikawini Bima orang tua Gatutkaca. Lha ya jangan lantas ditafsir bahwa Gatutkaca itu anak hasil perkawinan Nagagini dengan Bima! Ya nggak gitu dong! Masak nggak gitu lah? (“Kan buah kedondong, bukan buah kedonglah?” tanya Megakarti).

Tapi salah saya juga ya. Kadang menempatkan kata yang kurang perlu ya bisa menimbulkan tafsir yang keliru. “Cuman Mas, saya juga mengingatkan, tolong jangan memelesetkan nama Gatutkaca menjadi Gatutgelas ya! Sebab Gatutkaca itu tokoh wayang idola saya. Perlu Mas Tur tahu, bahwa saya ini berasal dari Pringgondani juga. Jadi saya rakyat Pringgondani yang mana seperti Mas Tahu kan, Gatutkacara itu raja Pringgondani?” begitu penjelasan saya melalui email.

Tampaknya Mas Tur bisa menerima penjelasan saya. Hanya saja yang masih membuatnya jengkel adalah isu para dukun peramal yang berkembang yang mengatakan bahwa Cak Pur itu terlahir dari dalam bumi gara-gara kejadian yang bersumber dari Saptapratala. “Itu mencemarkan nama baik Kahyangan Saptapratala!” kata Mas Turun Antaboga alias Mas Tur dengan nada tinggi, suaranya membelah kesunyian langit, merontokkan kerak-kerak jaman yang semakin tua ini.

Sementara ini Sang Dewa Antaboga tetap beristirahat dengan tenang. Terpaksa Kahyangan Saptapratala harus dibuatkan banyak kipas angin dengan tenaga listrik geothermal. Bocornya lapisan ozon ditambah dengan efek rumah kaca serta kelakuan manusia yang ngudal-udal hidrokarbon dalam bumi untuk dibakar di atas bumi telah membuat bumi menjadi semakin panas. Global warming. Peringatan global (global warning) tak membuat reda keserakahan manusia yang lebih memanjakan nafsu binatangnya dibanding memikirkan masa depan anak cucu cicit mereka. Konsumsi energi terbesar di dunia telah membuahkan 20 persen penduduk bumi yang menguasai 80 persen pendapatan dunia dan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang amat parah di mana-mana.

Dewa Antaboga menginstruksikan agar Kahyangan mengembangkan teknologi pendingan ruangan yang tidak merusak lapisan ozon. Apa bisa? Ya harus diusahakan bisa!
Kembali pada kejengkelan Mas Tur, keturunan Dewa Antaboga yang diberikan wewenang menjadi pimpinan eksekutif Kahyangan Saptapratala.

“Jika tak ada kesadaran. Jika tak ada permintaan maaf kepada Saptapratala yang difitnah sebagai penyebab lahirnya Cak Pur yang merajalela itu, Saptapratala akan menggulung habis fitnah itu. Para dukun ramal dan para pembayarnya akan kami kutuk menjadi ular-ular berkepala cacing! Mereka tidak tahu bahwa gerak bumi Saptapratala dan lainnya hanya mengikuti kehendak Tuhan dan ulah para manusia. Jika manusia telah mengeluarkan kandungan bumi secara tak terbatas, maka bumi yang kosong akan diisi oleh bagian bumi lainnya. Maka bergeraklah bumi. Tetapi jangan sekali-kali menuduh itu sebagai penyebab, karena itu juga bagian dari akibat!” begitu ancaman Mas Tur, yang pernah menolak diusulkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dunia karena takut ikut-ikutan arus korupsi.

Singkat cerita, para dukun peramal ada yang sadar. Tapi masih ada juga yang tetap mencari alasan ke sama ke mari meskipun semuanya itu hanya ‘kira-kira’ ‘kiri-kara’, ‘kara-kara’ dan ‘kari-kari’. Artinya, pokoknya dikira-kira saja, ngawur secara ilmiah juga nggak ada banyak yang paham, soal dasarnya bisa dikira-kira dan dicari kari-kari. ‘Kari-kari’ itu bahasa Jawa, artinya: belakangan. Mereka juga sudah siap untuk dibawa ke pengadilan. Yang penting uangnya juga siap.

Hukum adalah uang. Keadilan juga uang. Hukum bertujuan untuk keadilan. Artinya, uang dipakai untuk tujuan mendapatkan uang. Makanya, di negara ini hukum menjadi modal untuk memperbanyak harta kekayaan. Menjadi investasi. Jadi, hukum juga sama dengan modal atau kapital. Maka, pemilik kapital adalah pemilik hukum. Lo, pas to? (Masak pas ti? Kan laki-laki bernama Suparto, bukan Suparti?).

Baiklah. Untuk bagian kedua ini cukup sekitar 5.000 karakter dulu (dengan spasi). Kerjaan masih banyak kok nulis cerita melulu. Wong disuruh bikin draft petisi sama Guk Prigi aja masih bingung mulainya. Iya kan? (Masak iya kin? Kan yang enak makan, bukan makin?).

Pada dasarnya, setelah itu Kahyangan Saptapratala akan membawa kasus fitnah yang menimpanya itu ke Pengadilan Tuhan Sang Raja dari segala raja. Kahyangan Saptapratala tidak terima jika dituduh sebagai penyebab kelahiran Cak Pur.
Sampai ketemu di babak berikutnya..... !

26 Agustus 2008

Cerpur = Tjak Loempoer (Bagian 1)


TJAK LOEMPOER (Bagian 1)

TJAK Loempoer. Ejaan lama. Sepertinya tulisan jaman VOC menguasai Indonesia yang masih belum bernama Indonesia? Bukan! Jaman VOC masuk ke Indonesia, orang pribumi belum kenal ejaan latin. Mungkin itu tulisan tahun 1908-an, ketika mulai ada beberapa pemuda elite Indonesia yang sekolah ke Belanda. (Wuah..., penjajah juga memberikan akses pendidikan kepada para calon pelawannya ya? Iya iyalah, seperti korporasi perusak nasib manusia juga mengeluarkan dana untuk tambahan nafkah dan biaya pendidikan masyarakat). Tapi yang jelas, Tjak Loempoer itu konon lahirnya belum begitu lama. Panggilannya Tjak Poer.

Baiklah, daripada susah-susah, aku tulis saja dengan ejaan baru: Cak Lumpur, biasa dipanggil Cak Pur. Ia seperti Gajah Mada atau Untung Suropati yang gelap asal-usulnya, bahkan akhir hayatnya pun menjadi misteri. Tapi hanya sedikit orang tertarik memperdebatkan asal-usul dan kematian Gajah Mada serta Untung Suropati.

Namun yang tetap menyedihkan saya adalah masih bertahannya para dukun tukang ramal yang masih dipercaya banyak orang, iklan-iklannya tersebar di koran dan majalah. Dukun moderen juga punya website, mahir berinternet, mengalahkan para polisi pada umumnya yang masih gagap teknologi informasi. Banyak korban para dukun yang beraksi melalui dunia maya tetapi para polisi pun tak mampu mengarungi dunia pelarian para e-dukun (singkatan electronic dukun). Lalu apa hubungannya dengan Cak Pur?

Para dukun tukang ramal membuat kesimpulan bahwa asal-usul Cak Pur adalah dari dalam bumi, masih keturunan Bathara Antaboga. Wuih.... apakah masih ada garis silsilah dengan Dewi Nagagini yang dikawini Werkudara alias Bimasena, orang tua kandung Gatutkaca? Bahkan para dukun itu sayangnya tidak paham silsilah keturunan Antaboga, dewa yang berbadan ular dan berkepala manusia itu (bukan manusia berkepala ular.

Dalam kisah yang dibuat para e-dukun peramal itu, konon kelahiran Cak Pur bukan dari lubang yang digali oleh manusia, tapi karena retaknya perut bumi akibat kemarahan Dewa Antaboga yang meluluh-lantakkan permukaan bumi. Banyak orang bertanya, mengapa keluarnya berada di jarak 250 kilometer dari kahyangan Saptapratala, kahyangan Antaboga? Mengapa tidak lahir saja di dekat-dekat kadewatan alias kahyangan Saptapratala alias Saptabumi?

“Wah, itu tak bisa dijawab dengan menggunakan akal awam. Ada garis penghubung kasat mata yang bisa ditarik antara Saptabumi dengan bumi kelahiran Cak Pur di Desa Pojok Garong,” jawab para dukun itu sambil menunjukkan gambar-gambar, persis cara-cara ahli geologi dalam menjelaskan peta geologi. (Desa Pojok Garong ini konon juga tempat lahir nenek moyang kucing yang biasa disebut Kucing Garong).

Cak Pur menjadi berita besar sebab ia menjadi masalah besar, lebih besar dibandingkan Cak Ryan yang terkenal sebagai pembunuh sadis dari Jombang itu. Cak Pur dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya telah menyingkirkan puluhan ribu manusia dari empat desa dan sepuluh desa lainnya telah diracuninya.

Banyak orang takut kepada kekuatan Cak Pur ini. Polisi, jaksa dan hakim tunduk. Para pejabat pemerintahan tak berani banyak bicara dengan Cak Pur. Jika biasanya polisi dan tentara di jaman Orde Baru terampil dalam menghalau dan membubarkan demonstrasi ratusan penduduk dan bahkan menembakinya, tapi Cak Pur bisa menghadapi sendiri kekuatan keamanan dan pertahanan negara itu. Tak heran jika muncul para dukun yang pernyataan-pernyataannya laris dikonsumsi masyarakat. “Cak Pur adalah kekuatan magis yang tak dapat dihentikan dengan teknologi apapun,” kata para dukun elektronik (e-dukun) itu. “Kita sedang bicara kekuatan sakral,” lanjut mereka.

Kiprah ‘kejahatan’ Cak Pur itu ternyata menimbulkan bau tidak sedap. Banyak pertanyaan tentang mengapa kekuasaan negara tak mampu menghentikan kiprah Cak Pur itu. Konon sebenarnya gampang saja menghentikan kekacauan yang dilakukan Cak Pur. Ada kelompok pendekar yang sesbenarnya kapasitasnya tak pernah diragukan lagi. Para pendekar ini bahkan pernah secara langsung meneliti tempat kelahiran Cak Pur. Mereka punya data primer. Mereka berkesimpulan bahwa Cak Pur itu lahir akibat perselingkuhan antara oknum pejabat dengan seorang perempuan blesteran keturunan campuran Indonesia-Australia.

“Jadi, Cak Pur itu bukan keturunan Dewa Antaboga. Kami punya buktinya. Salinan Akte Kelahirannya ada di kami. Jika kami tidak bisa membunuh Cak Pur si penjahat itu maka silahkan kami dipenjara!” kata salah satu pendekar yang tergabung dalam Gabungan Pendekar Pelawan Klenik (Gapenik). “Ya. Kami sudah berpengalaman menghabisi orang-orang sejenis Cak Pur itu di Aceh, Subang dan bahkan di tengah-tengah hutan belantara,” imbuh salah satu anggota Gapenik. Kisah yang dikatakan para anggota Gapenik itu memang nyata, bukan fiksi.

Entah fitnah atau benar bahwa konon pemerintah telah dibohongi oleh para e-dukun yang mengandalkan klenik. Konon dengan semakin leluasanya kiprah Cak Pur itu maka banyak teman-teman kelompok e-dukun yang diuntungkan karena biaya-biaya pengamanan masyarakat dan pencegahan jatuhnya korban yang dikeluarkan pemerintah akan mengalir terus memasuki kantong-kantong para manusia tukang tega, seperti halnya para wakil rakyat yang tega memakan uang negara di atas banyak derita rakyat yang diwakilinya yang menurut versi Wolrd Bank 49 persen miskin. Benteng-benteng dibangun dengan alasan memperlambat gerak Cak Pur dan kekuatan magisnya sehingga anggaran untuk proyek keluar terus. Sementara satu persatu korban berjatuhan, tidak menjadi bahan pemikiran para e-dukun dan pihak-pihak yang berkonspirasi dengan perusahaan-perusahaan jasa pembuatan benteng, pengamanan sosial dan lain-lain. Konon para e-dukun itu juga berkonspirasi dengan orang tua asli Cak Pur yang bersembunyi. Konon ayah dan ibu Cak Pur yang sudah tua-tua terus berusaha membayar pihak-pihak untuk meyembunyikan akte kelahiran Cak Pur. Mereka kuatir jika ketahuan maka akan dimintai pertanggungjawaban. Konon. konon, konon.... saya sempat mau muntah mendengar konon-konon itu.

Para korban Cak Pur yang telah terusir mulai gerah sebab proyek-proyek pemerintah yang konon untuk menyelamatkan nasib mereka tapi tak kunjung bisa menyelamatkan nasib para korban. Bahkan mereka tampaknya hanya dianggap obyek proyek. Kemarahan mulai terjadi di mana-mana. Sampai tulisan kisah ini dibuat, situasi semakin kurang baik. Mulai ada ancaman Kepala Polisi yang akan memenjarakan para korban jika terus marah-marah. Mulai ada para korban yang menenggak minuman keras dari uang pemberian antek e-dukun, lalu dipancing untuk berbuat onar.

Siang ini matahari masih tegar menjalani takdir dengan menatap bumi yang semakin tua dan sedih. Para tukang becak di dekat kantor saya pada mengantuk menjalani takdir hidup di negara yang kekayaan alamnya melimpah-ruah.

Saya cukupi dulu cerita ini. Besok-besok inyaAlloh saya sambung lagi.

Surabaya, 27 Agustus 2008

14 Maret 2008

Cerpen: Pemerkosaan Di Negara Atas Angan

Hanya segumpal awan yang tampak, makanya tak mampu menghadang terik matahari yang membakar siang galau. Di Kepolisian Negara Atas Angan, perempuan separoh baya bernama Partiwi sedang melaporkan peristiwa perkosaan atas dirinya.

“Siapa yang memperkosa Ibu? Di mana, jam berapa, hari apa, ada berapa orang, apa Ibu kenal mereka, ciri-cirinya bagaimana ..... ?” Polisi penyidik memberondong pertanyaan sambil sekali-kali berkacak pinggang memamerkan kegagahan.

“Banyak. Mulanya tampak manusia yang pernah kulihat meski aku tak kenal. Tapi begitu mencengkeram dan menggilir tubuhku, mereka menjadi anjing dan babi-babi dengan,... ah ....” Terhenti. Partiwi ingat mulut anjing-anjing dan babi-babi yang memperkosanya berlumuran air liur busuk yang menetes-netes.

“Ayo dong Bu! Jangan bergurau! Kerjaan saya banyak, bukan melayani Ibu saja! Jangan ngarang cerita seperti film horo ah!” Penyidik itu marah-marah sambil mondar-mandir. Tak lupa membuang puntung rokok, peracun manusia yang diperdagangkan itu.

“Lha memang begitu Pak. Saya tidak bohong.”

“Ah! Jaman modern masih ada klenik seperti itu? Lagipula hukum berlaku untuk manusia, tak bisa digunakan menjerat anjing dan babi!” Polisi itu meninggalkan Partiwi tanpa pamit.

Setengah jam Partiwi menunggu polisi itu kembali. “Gimana? Ibu masih mau cerita seperti itu lagi?” tanya polisi itu agak sinis.

“Okelah Pak kalau Bapak nggak percaya!” Partiwi membuka bajunya di dalam kantor polisi itu. Semua orang di dalam ruangan itu tersedot oleh pemandangan tubuh Partiwi yang penuh luka dan bopeng-bopeng.

“Oke,oke, oke ... cukup Bu!” bentak penyidik itu.

“Bagaimana?” tanya Partiwi.

“Meskipun leher Ibu putus, tapi kalau yang memutuskan anjing dan babi, undang-undang tak bisa menjerat anjing dan babi. Hukum hanya bisa menghukum manusia. Hukum tak bisa menghukum binatang! Kalau mau dipaksakan, hakim pasti akan membebaskan binatang! Saya sudah jelaskan dan Ibu tetap tak paham!”

***

Gagal usaha Partiwi kali ini.. Ia sendiri. Kadang-kadang ada gerombolan anak-anak yang peduli, berdemo mendukung Partiwi yang dahulu memang dikenal dermawan. Tapi disorot media massa, diistilahkan: “Pendemo dadakan. Tak ada yang mendanai maka hanya demo sepotong!”

Partiwi mendatangi gedung parlemen Atas Angan agar memperjuangkan nasibnya. Tapi gedung itu juga mulai dipenuhi dengan manusia-manusia berkepala babi dan anjing. Tak ada lagi tema soal perkosaan Partiwi di dalam gedung parlemen seperti yang pernah ada sejak pengaduan Partiwi. Konon ada Raja Anjing dan Jenderal Babi yang datang ke gedung parlemen membawa berkarung-karung upeti. Kalau para anggota parlemen Atas Angan kepalanya berubah menjadi anjing dan babi, mungkin saja tertular virus Raja Anjing dan Jenderal Babi yang konon dahulunya juga manusia biasa. Partiwi mulai paham bahwa para pemerkosa dirinya ternyata dilindungi Raja Anjing dan Jenderal Babi.

Tak ada kata putus asa. Partiwi membawa kasusnya ke Pengadilan Pusat Atas Angan. Ia berharap ada sisa manusia sejati, hakim yang imun, yang tak akan terserang virus keanjingan dan kebabian yang kini mulai merebak di negara Atas Angan. Sayangnya hanya beberapa orang yang bisa melihat itu. Bahkan para dokter juga mulai tertular.

Sidang pertama gugatan Partiwi digelar. Tergugatnya adalah Kepala Negara Atas Angan yang dianggapnya tak mampu mengamankan negara sehingga Partiwi menjadi korban pemerkosaan manusia-manusia tertular penyakit keanjingan dan kebabian. Gugatan juga meminta agar Kepala Negara Atas Angan memerintahkan Kepolisian mengusut kasus pemerkosaan terhadap Partiwi.

Namun Partiwi mulai ragu, sebab ia melihat seorang hakim anggota majelis, panitera dan pengacara Negara Atas Angan juga tampak berkepala babi. Ia juga melihat lalu-lalang para petugas pengadilan dan para pengacara yang berkepala anjing dengan ciri khas mulut berlelehan air liur.

“Saudari Penggugat kami ingatkan. Yang memperkosa Saudari, yang Saudari sebut di surat gugatan ini adalah manusia-manusia yang berubah menjadi anjing dan babi. Lalu Saudari menggugat Kepala Negara. Nanti jangan-jangan kalau Saudari kehilangan celana dalam maka Kepala Negara juga akan Anda gugat?” serang pengacara Negara sambil tersenyum-senyum. Tak pelak pengunjung sidang tertawa terbahak-bahak.

“Tenang! Tenang!” bentak Ketua Majelis Hakim. “Nanti Saudara kuasa hukum Kepala Negara punya waktu menjawab gugatan. Kami tidak mengijinkan ini dijadikan bahan guyonan!” Ketua Hakim memalu meja sidang dengan keras, suaranya hendak meruntuhkan tembok pengadilan. Ruang sidang pun senyap.

“Kami memberi waktu untuk mediasi. Apakah Penggugat dengan Tergugat mau memilih mediator dari luar, atau yang disediakan pengadilan ini?” tanya Ketua Hakim.

“Maaf Yang Mulia. Kami hanya mau berdamai kalau gugatan itu dicabut. Itu saja,” jawab pengacara Negara.

“Saya juga tak akan mencabut gugatan Pak Hakim!” sergah Partiwi.

“Baik, kalau begitu berarti ini tak ada peluang perdamaian? Tapi kami memberi waktu dua minggu agar kalian berunding. Kalau bisa selesaikan secara perdamaian. Pak Pengacara, Anda jangan buru-buru begitu! Konsultasikan dengan Kepala Negara dulu!” saran Ketua Hakim.

Empat bulan peradilan gugatan Partiwi berjalan. Terakhir koran-koran membuat judul berita yang macam-macam. Ada judul “Pengacara Negara Mati Kutu!” Ada yang membuat judul: “Pengacara Negara Dinasihati Hakim.” Ada judul “Kepala Negara Diambang Kekalahan!” “Partiwi Mendapatkan Keadilan.” Dan lain-lain. Semua itu membuat Partiwi agak lega. Jika gugatannya dimenangkan, berarti pemerintah Atas Angan akan diperintahkan pengadilan agar menyelidiki dan mengusut serta menghukum para pemerkosa Partiwi.

Sidang putusan digelar. Partiwi duduk di kursi Penggugat dengan dada berdegup kencang. Majelis Hakim masuk ruangan dan duduk di kursi kekuasaan mereka. Dada Partiwi mulai sesak. Jika dahulu ia melihat ada satu hakim yang berkepala babi, kini ia melihat semua anggota dan Ketua Hakim berkepala babi. Itu tanda-tanda kekalahannya. Benar, akhirnya gugatan Partiwi dinyatakan tidak diterima dengan alasan bahwa Kepala Negara Atas Angan tidak boleh digugat dalam kasus perkosaan. Yang boleh digugat hanyalah para pemerkosanya. Padahal yang digugat Partiwi adalah soal tanggung jawab negara dalam mengamankan rakyat serta penolakan Kepolisian Atas Angan untuk menyidik kasusnya.

Konon, ada para utusan Raja Anjing dan Jenderal Babi yang datang ke masing-masing rumah para hakim yang mengadili gugatan Partiwi, membawa upeti. Lagi-lagi terjadi penularan virus penyakit keanjingan dan kebabian.

***

Beberapa anak muda menjenguk Partiwi yang tergolek di atas tempat tidur. Suhu badannya semakin panas. Luka-luka dan bopeng-bopeng tubuh Partiwi tak terobati, sebab setiap dokter yang didatangi berkepala babi dan anjing. Rambut Partiwi semasa muda lebat, anggun dan sejuk dipandang. Kini mulai rontok-rontok dan kulit kepalanya tampak di sana-sini.

Langit seolah tahu kesedihan itu sehingga mulai retak-retak. Kawanan awan yang biasanya riang menghantarkan hujan kini sering menangis dan kadang-kadang melenyapkan diri ke dalam angin puting beliung yang memporak-porandakan rumah-rumah penduduk. Angin pun tak seramah dahulu. Udara mulai muram. Tanah-tanah enggan menumbuhkan benih-benih yang ditanam para petani. Api sering marah berkobar menghanguskan rumah-rumah, gedung, sebab sering disuruh melalap hutan.

“Anak-anak, jika saja di bumi ini semakin dipenuhi manusia-manusia anjing dan babi akibat virus penyakit keanjingan dan kebabian itu, maka bukan aku saja yang akan seperti ini. Setiap Partiwi di muka bumi ini akan menderita seperti ini. Akan banyak Partiwi menjadi korban pemerkosaan. Kalian pun kelak jika tidak tertular penyakit itu, juga menjadi korban seperti ini. Aku ingin para pemerkosaku itu ditangkap dan dihukum agar tak ada lagi kejahatan seperti itu. Namun ternyata justru para penegak hukumnya sendiri telah tertular virus keanjingan dan kebabian. Maka mereka juga menjadi bagian dari pemerkosa itu.” Tubuh Partiwi yang semasa muda tampak molek dan indah, kini terlihat kurus layu.

Partiwi tersenyum pahit, memandang anak-anak muda yang membesuknya. Tiba-tiba sinar kemilau datang dari langit mengangkat tubuh Partiwi. Partiwi melebur ke dalam sinar itu, membias, memencar, bersatu dengan alam. Hari itu adalah hari kemoksaan Partiwi, ketika gunung-gunung es di kutub bumi mulai bergeser dan iklim mengalami kekacauan, bencana alam muncul di mana-mana. Panas tubuh Partiwi menjadi pertanda semakin panasnya bumi, ketika banyak manusia yang menderita penyakit keanjingan dan kebabian dengan nafsu birahi kekayaan, kekuasaan yang semakin berkobar-kobar, merontokkan gunung-gunung, memporak-porandakan isi tanah, menyemburkan lumpur panas, menumbangkan pepohonan hutan yang menjaga ketentraman mata air yang bening, menumpahkan racun nafsu ke sungai-sungai hingga mengalir ke laut. Hukum yang dibuat tak mampu mencegahnya sebab hukum tak berlaku bagi anjing dan babi.

Bumi bergolak, meronta, tak sekedar meraung dalam tangis, tapi menjerit pilu. Semakin lama semakin tak ada manusia. Bumi semakin dipenuhi anjing dan babi. Kelak, bumi akan tergenang air bah. Tak ada lagi Nuh yang menawarkan bahtera. Kelak, lautan akan bergolak. Tak ada lagi Musa yang membelahnya dengan tongkat. Manusia menghancurkan diri mereka sendiri.

Surabaya, 14/3/2008

31 Januari 2008

Syair Bandit Kecil

Kemarin kita bertemu di Tanah Abang

Membicarakan berapa bagian masing-masing

Memang, tak ada perjanjian yang terang

Tapi bukankah kita ini saudara seanjing

Hidup di atas tikar etika yang miring

Dipimpin para imam bermata juling

Kemarin kita juga pergi ke Tugu Monas

Menyetubuhi perempuan tak berkelas

Sungguh nikmat beralas koran bekas

Sambil menertawakan derita tanpa batas

Hari ini, katanya kita menanggung dosa

Kita banyak dihina dan dicerca

Katanya, kelak kita akan masuk neraka

Baiklah, kita tak dapat membayar pengacara

Kita akan membela diri dengan asal bicara

Kita memang bandit

Tapi kita tidak pernah mengambil kredit

yang menjadikan nasib orang banyak sebagai agunan

sehingga menebarkan segala penderitaan

Kita yang menjadikan negara sebagai pelacur?

Kita yang membuat harga diri bangsa menjadi babak-belur?

Hai Tuhan yang memberi dosa!

Bagaimana Kau memberi makan pelacur jalanan?

Yang dengan tersedu-sedu telah menjual dirinya

Hanya untuk mempertahankan hidup yang Kau berikan

Hai Tuhan yang punya neraka!

Bagaimana kau memberi makan orang melarat?

Yang menahan derita dalam kejaran lapar

Hanya untuk mempertahankan hidup yang Kau berikan

Andainya saja negara ini tak dijadikan pelacur

Hidup kami tak perlu hancur

Besok kita akan bertemu di plasa-plasa

Untuk sedikit mencopet dompet orang kaya

Hanya untuk makan sekedarnya

Tidak sampai untuk bisa membeli sepeda

Apalagi sampai merugikan negara

Yah, kita mungkin tetap akan mencuri

Toh jika kita ditangkap para polisi

Kita tidak akan diadili oleh pengadilan tindak pidana korupsi

Tempat para bandit berdasi.

Jika kelak kita menjabat, kita juga korupsi.

Tanpa henti!

Surabaya, 23 Oktober 2004.

18 Januari 2008

Takaran Hidup

Takaran Hidup

Hati-hati,.. sibak sedikit rerimbun bunga itu..!
Jangan sampai daunnya rontok, atau tangkainya patah..!

Hela nafas, sentuh kedalaman udara
ya, benar kita tak bisa hidup tanpanya
berapa yang bisa kita rindu..
sebatas apa tirai tersentuh
padahal belum terbuka.

Kamu lupa dengan janjimu
untuk menengok aku di lembah berbatu
langitmu tertutup awan putih bergumpal
sorak-sorai para peri menjadi gemuruh hitam
bah tertumpah, aku tenggelam
aku masih hidup, tapi mendung masih hitam

Bunga yang kusayangi hanyut lenyap
Aku bisa menanamnya lagi yang baru, tapi harus menunggu
Kamu tak akan mampu menunggu
sebab kamu di belakangku, membatu.

Kedatanganmu di tempatku: lembah berbatu,
bukan karena kemauanmu, tapi sebab banjir itu.

Baiklah,... tinggal berapa hidup kita?
Mari kita takar dengan kaleng bekas tempat susu ini.
Bekas para ibu menipu bayi-bayinya.
Bekas para bapak yang menjadi panitia.
Panitia kehancuran dunia.

(Wah, bunga yang kutanam sudah bermekaran.
Aku akan menjaganya,
jangan ada yang menjadikannya penghias pusara.)

Berapa harga hidupmu per-kaleng susu 1.000 gram-an?
Ayo takarlah! Nanti kita tawarkan di pasar!
Hidupku gratis, jadi tak perlu kutakar.
Benar, aku (tidak) bohong.
Tanya bunga itu jika tak percaya!
Sebelum langit runtuh.
Atau tak perlu.
Tak perlu!
Tak ada gunanya bagimu.

Surabaya, 19/1/2008.