21 November 2007

Aku Akan Menjadi Presiden (lumpur)

Sebuah cerbal = cerita gombal

Menjelang Subuh. Nafasku tersengal-sengal. Kujatuhkan saja pikulan kayu bakar dari pundakku. “Brakk!” Tubuhku yang kecil dan kurus seperti kain basah yang diperas. Mengapa? Gara-gara ibuku yang selalu ngudang[i] aku di waktu-waktu malam menjelang tidur, katanya besok kalau sudah besar aku akan menjadi pangon[ii] sapi, agar nantinya memperoleh upah sapi untuk bekal di hari tua.

Aku tidak terima dengan cita-cita ibuku itu. Masak, aku hanya akan menjadi penggembala sapi. Disuruh-suruh majikan membersihkan kotoran sapi di kandang, lalu disuruh mencari kayu bakar ke hutan, atau disuruh membantunya mencangkul di sawahnya. Pangon sapi tidak hanya dipekerjakan menggembala sapi, tapi diusuruh apasaja sesuai kehendak majikan. Itu eksploitasi tradisional. Meskipun jika beruntung kadang-kadang bisa pacaran dengan anak gadis majikan, tapi aku tidak mau membuang nasibku hanya menjadi gedibal orang kaya. Hanya saja, aku tidak membantah ucapan dan tembang kudangan[iii] ibuku itu. Dalam hati aku berkata, “Kelak aku akan menjadi presiden!” Itu bukan mimpi.

Setelah lelahku hilang, aku pikul lagi kayu bakar itu. Dengan susah-payah akhirnya sampailah aku di pasar yang jaraknya sekitar lima kilometer dari desaku. Kujajakan kayu bakarku di pinggir jalan. Setelah subuh habis dan matahari mulai mengintip di ufuk timur, kayu bakarku terjual. Alhamdulillah!

Dengan uang hasil menjual kayu bakar itu aku akan melawan cita-cita ibuku yang terlalu rendah menurutku. Dengan uang itu aku sekolah hingga dapat lulus SMP. Mungkin ibuku merasa kecewa atau rugi melihat aku yang telah remaja, tapi tidak segera memenuhi permintaannya untuk menjadi pangon. Tapi hatiku berkata, “Biyung.[iv] Sampeyan kelak akan senang, sebab aku akan menjadi presiden!”

Setelah lulus SMP, aku hampir putus asa. Merayu orang tuaku agar menyekolahkan aku, tapi mereka merasa tidak mampu karena memang miskin. Kalau hanya membayar uang SPP mungkin mampu. Tapi menurut kabar, banyak sekali pungutan di sekolah. Ada iuran BP3, ada uang ekstrakurikuler, iuran Pramuka, sumbangan-sumbangan insidentil yang dipaksakan, dan lain-lain. Bahkan kalau SPP dibebaskan pun, itu tidak terlalu menggembirakan bagi orang miskin seperti kami. Sekolahan di masa itu menjadi tempat pungutan liar yang dilegalkan.

Tapi kiranya Tuhan mendengar doaku. Guru sekolahku mencarikan orang tua asuh yang mau menyekolahkan aku. Ibuku berkata, “Sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa? Kamu tidak akan bisa menjadi pegawai, sebab katanya harus nyogok jutaan atau puluhan juta rupiah. Uang dari mana?” Tapi aku tetap meminta doa restu ibuku. Hatiku berkata, “Kalau Tuhan mengabulkan doaku, aku akan menjadi presiden. Sampeyan akan senang, Yung.”

Aku memang ingin menjadi presiden. Aku akan membawa ibuku bahagia. Terlalu lama ia menderita. Sejak umur 14 tahun ibuku telah menjadi penjaja keliling barang kelontong ke desa-desa yang jauhnya puluhan kilometer dengan menggendong barang dagangannya. Aku ingat sewaktu kecil, ketika ibuku sudah janda, ia membuka ladang di hutan sendiri dan mengolahnya sendiri. Banjir keringatnya dan linangan air matanya telah menjadi diriku, disamping darah dan air susunya.

Sedangkan bapakku hanya menjadi penyumbang sperma dan tidak pernah memperhatikan nasibku. Aku tidak perlu membenci bapakku. Bahkan kadang aku merindukannya. Tapi, jika kelak aku menjadi presiden, bukan karena bapakku, tapi atas jasa ibuku. Aku pun tak perlu tahu, di mana bapakku.

Selanjutnya, aku hidup di rumah keluarga yang menyekolahkanku itu. Aku sekolah SMA. Aku diberikan pendidikan sopan santun dalam pergaulan feodal Jawa. Aku bisa berbahasa krama inggil.[v] Yang tadinya aku minum langsung dari pancuran air kendhi, maka berubah dengan cara minum dengan gelas. Aku diberi pekerjaan mencuci baju, menyeterika, menyapu dan mengepel lantai, memasak, merawat ternak ayam dan itik dan sebagainya. Kemerdekaanku rasanya terampas sebab aku tak bisa secara bebas mengatur waktu untuk menghela nafas. Tapi, karena aku ingin menjadi presiden, maka penderitaan itu masih dapat kutahan.

Tapi akhirnya keadaan mengatakan lain. Aku merasa menjadi beban di keluarga itu setelah aku mengetahui yang sesungguhnya di keluarga orang tua asuhku. Bapak asuhku hanyalah pegawai negeri biasa yang gajinya tidak besar, sementara sang Ibu hanyalah ibu rumah tangga dengan sedikit dagangannya. Mereka harus menyekolahkan dua anak di perguruan tinggi dan satu di SMA negeri, satu di SMP negeri, serta aku di SMA swasta. Secara samar-samar aku mengetahui betapa sulitnya bagi sang Ibu untuk mengatur uangnya. Aku menangis, berpamitan pulang ke desa dan melepas SMA-ku yang masih kelas satu. Aku tidak mau menjadi beban orang lain yang kesusahan.

Aku tidak pernah putus asa, sebab aku akan menjadi presiden. Begitulah keyakinanku. Aku nekat mendaftarkan diri ke SMA negeri yang jauhnya sekitar tujuh belas kilometer dari desaku. Aku tempuh sekolah itu dengan mengayuh sepeda jengki. Tak kupedulikan masuk ke kelas dengan seragam yang basah oleh keringatku setiap hari. Perhitunganku adalah biayanya lebih murah dan aku dapat memperoleh biaya dengan kembali menjual kayu bakar. Aku jalankan semuanya itu.

Tapi rupanya ibuku melihat aku terlalu sibuk dengan kepentinganku sendiri untuk bisa sekolah. Ibuku iri melihat para tetangganya yang diringankan pekerjaannya sebab anak-anak mereka yang sebayaku bisa membantu mencangkul di ladang atau menjadi buruh pangon dan memperoleh upah. Aku menjadi sering berselisih paham dengan ibuku. Bagiku, rumah telah berubah menjadi neraka. Maka, aku putuskan untuk minggat dari rumah, pergi ke kota yang belum pernah kuinjak sebelumnya. Sejauh seratus kilometer lebih dari desaku. SMA-ku yang baru kelas satu pun kutinggalkan.

Di kota itu aku mondar-mandir mencari pekerjaan. Setelah berhari-hari menggelandang akhirnya aku dijual oleh seorang tukang becak kepada makelar buruh kasaran. Lalu oleh makelar itu aku dijual ke seorang majikan. Aku pun mulai bekerja menjadi kuli, bongkar-muat dan melayani pesanan barang dari para langganan majikanku. Aku bertanya kepada Tuhan, “Ya Tuhanku. Apakah bedanya pangon dengan kuli?” Seolah-olah Tuhan menjawab, “Pangon adalah pilihan ibumu, sedangkan kuli adalah pilihanmu sendiri! Keduanya sama. Sama-sama diperintah-perintah dan dieksploitasi majikan!” Lalu aku bertanya lagi, “Jika begitu, apakah masih ada peluang bagiku untuk menjadi presiden?”

Tuhan tidak menjawab pertanyaanku, tapi memberiku penyakit. Majikanku yang bertanggung jawab membawaku ke dokter, katanya aku hanya panas dalam. Tapi setelah sebulan aku menganggur di dalam kamar karena sakit, aku putuskan untuk pamit, pulang ke desa. Aku sadar bahwa aku ini adalah faktor produksi bagi usaha majikanku. Jika aku tidak produktif maka hanya menjadi beban yang dapat mengurangi laba usahanya.

Rupanya cita-citaku masih bertahan. Aku akan menjadi presiden. Maka aku harus kembali sekolah. Karena semangatku yang tak pernah mati itu, maka ada salah satu saudaraku yang memberikan jalan, yaitu: aku akan disekolahkan lagi oleh orang tua asuh. Karena calon orang tua asuhku tersebut adalah pejabat yang lumayan kaya, maka aku tidak kuatir bahwa aku hanya akan menjadi bebannya.

Dengan bersusah-payah menjadi gedibal[vi] akhirnya aku dapat lulus SMA. Bahkan beberapa bulan kemudian aku langsung memperoleh pekerjaan sebagai buruh pabrik, di perusahaan kapital asing yang cukup ternama. Ibuku di desa mulai mempunyai rasa bangga sebab aku mulai mengirimi uang kepadanya. Tak urung ia menceritakan kepada para tetangganya.

Aku tahu, bahwa bagi ibuku aku ini adalah seperti tanaman yang ditanamnya dan dirawatnya, agar kelak dapat diambil buah atau hasilnya.Yang lebih dari itu, ibuku mempunyai harapan agar aku dapat hidup mampu secara ekonomi ketika sudah kawin, mempunyai rumah, sawah dan ternak sapi.

Tapi aku masih belum menanggalkan cita-citaku, “Aku akan menjadi presiden!”

Belum genap setahun aku bekerja, aku kembali mengecewakan ibuku, sebab aku meminta bantuannya untuk menjual sapinya, untuk persiapan membayar uang kuliah. “Haaa! Kamu mau kuliah? Kowe ngimpi apa to Le?[vii] Mbok jangan ngelantur. Kita ini miskin! Kamu dengar apa tidak, Pak Suladi yang kaya itu harus menjual sawah-sawahnya, dan enam sapinya habis untuk membiayai anaknya kuliah? Toh, akhirnya anak Pak Suladi itu sekarang masih jadi pengangguran. Aku tidak setuju!”

Lalu aku menjelaskan kepada ibuku bahwa aku telah bekerja dengan gaji yang lumayan cukup, sedangkan anak Pak Suladi kuliah tidak sambil bekerja. Aku menjelaskan dengan angka-angka, membandingkan gaji dan biaya kuliah serta perhitungan biaya-biaya hidup. Bahkan, kalau aku bisa memperoleh beasiswa “kemiskinan” dari kampus, maka aku akan tetap bisa mengirimi ibuku uang. Aku meyakinkan ibuku, “Jika kelak aku berhasil menjadi sarjana dan jabatanku di perusahaan naik, maka gajiku sebulan bisa untuk membeli dua ekor sapi!” Ibuku pun mulai goyah, hingga akhirnya menyerah. “Aku akan menjadi presiden!” kata hatiku.

Aku mulai kuliah. Jadual kerjaku siang dan sore aku tukarkan dengan jadual kerja malam. Malam bekerja, siangnya kuliah. Kadang-kadang muncul pikiranku, bahwa aku diperbudak oleh cita-cita itu. Tapi bukankah banyak orang yang mencapai puncak kesuksesan setelah lebih dulu bersusah-payah. Maka aku tetapkan cita-citaku, “Aku akan menjadi presiden!”

Meskipun badanku kurus, mataku mengantuk, tapi otakku masih bisa berjalan normal. Aku menjadi salah satu dari duapuluh mahasiswa angkatanku yang dapat menjadi sarjana dengan waktu tiga setengah tahun. Aku dapat mematahkan cibiran para tetangga di desaku serta teman-temanku yang meremehkan aku. Mereka tidak tahu semangatku, “Aku akan menjadi presiden!”

Sayangnya, sebelum aku menyelesaikan kuliah, aku harus meninggalkan pekerjaanku di pabrik gara-gara kesulitan mengatur waktu ketika mulai mengerjakan skripsi. Jika ujian aku tidak perlu belajar, tapi mengerjakan skripsi harus menyediakan waktu. Ketika aku telah menjadi sarjana, aku belum mempunyai pekerjaan.

Setelah mengantongi ijasah sarjana, aku mulai melamar pekerjaan. Satu, dua, …seratus, … tigaratus, …enamratus, dan tak terhitung jumlahnya lamaran itu, tapi tidak ada yang berhasil. Jadilah aku sarjana pengangguran.

Ternyata, hidup di negara ini tidak mudah. Setelah aku menjadi sarjana, masih ada ribuan sarjana yang menganggur di negara ini. Sarjana di negara ini menjadi seperti barang yang tidak laku di pasaran. Satu jabatan dalam sebuah lowongan pekerjaan dilamar oleh ribuan sarjana. Tidak heran jika ada sarjana yang menjadi sales mainan anak-anak, sopir taksi atau angkot, buruh pabrik, kurir dan pekerjaan-pekerjaan sejenis itu, sebab memang para sarjana tidak mempunyai pilihan. Hanya para sarjana yang mempunyai mental baja yang mau melakukan pekerjaan apasaja asalkan halal. Bagi yang gengsian maka hanya bisa makan gengsinya.

Benar kata ibuku, untuk menjadi pegawai harus menyuap puluhan juta rupiah. Maka, kualitas sumber daya manusia pemerintahan di negara ini juga meragukan sebab rumus yang digunakan adalah: “Barangsiapa yang mempunyai banyak uang maka ia yang akan memperoleh pekerjaan dan jabatan di pemerintahan.” Suap-menyuap menjadi kebiasaan, korupsi menjadi tradisi. Bahkan Tuhan pun hanya dijadikan ornamen dinding-dinding ritual para penganut agama. Orang-orang berkata, “Masak, Tuhan pastilah akan mengerti, sebab memang keadaannya begini. Jadi, menyuap itu biasa.” Halal-haram telah menjadi hukum relativitas, tidak lagi absolut.

Aku memang kecewa, sebab cita-citaku menjadi presiden semakin tampak menjauh, telah sampai ke langit tujuh. Jangankan menjadi presiden, berkirim uang kepada ibuku saja kesulitan. Aku jarang pulang, sebab ketika pulang ibuku pasti mengeluh, “Aku malu Le. Para tetangga selalu bertanya, Sarmin sekarang sudah menjadi sarjana, bayarannya sudah banyak ya Yu?”[viii]

Aku miskin, telah menempuh perjuangan yang sangat berat, mengorbankan pikiran, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, menahan cibiran dan cemoohan banyak orang, telah mengecewakan ibuku. Gelar sarjanaku ternyata hanya menjadi beban hidup yang sangat panjang.

Masih ada sisa kenangan cita-cita untuk menjadi presiden. Mungkin aku mesti meraihnya dengan jalan lain. Ijasah sarjanaku dan foto-foto wisudaku aku bungkus kain kafan. Aku tidak boleh bergantung pada angan-angan. Pendidikan tinggi di negara ini tidak berguna untuk memperbaiki nasib hidup.

Aku aduk-aduk lemariku. Kucari pakaian yang agak kumal. Besok, pagi-pagi setelah subuh, aku akan mengorek-ngorek tempat sampah di depan rumah-rumah orang kaya. Aku akan menjadi pemulung sampah. Aku akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari pekerjaanku yang baru itu. Aku ingin membahagiakan ibuku.

Jika telah banyak uang, aku akan mendirikan partai politik. Mungkin dari cara itu aku akan menjadi presiden. Daripada aku hanya merenungi nasib, menjadi sampah!

Apapun keadaannya, cita-citaku tetap tidak berubah, “Aku akan menjadi presiden!” Aku pasti akan bisa pethenthang-pethentheng, senyum kanan, senyum kiri, tebar pesona! Bahkan kalau seandainya separoh negara ini terendam lumpur, aku tetap akan senyum kanan, senyum kiri. Yang penting aku presiden.

Republik Atas Angan ini akan aku juluki "Republik Lumpur Abadi!" Aku pasti akan tercatat dalam buku sejarah dunia dan mendapat hadiah nobel.



[i] Ngudang = menimang-nimang. Orang Jawa di desa biasanya ngudang anaknya yang seusia SD dengan cara memegang (maaf) kelaminnya sambil berkata-kata, misalnya, “Konthole iki nek wis gedhe pengin dadi apa ta? Dadi pangon ae ya?” (Kamu kalau sudah besar ingin jadi apa ta? Jadi penggembala saja ya?)

[ii] Pangon = buruh untuk menggembala ternak orang lain.

[iii]Kudangan = timangan, berkaitan dengan kata ngudang tersebut.

[iv]Biyung = Ibu. Yung = Bu.

[v]Krama inggil = bahasa Jawa tingkatan paling halus untuk alat komunikasi antara para ningrat atau orang biasa dengan ningrat (bersifat feodal).

[vi] Gedibal = tanah kotor yang menempel di kaki.

[vii] Kowe ngimpi apa ta Le? = Kamu mimpi apa ta Nak? Le = Thole = panggilan untuk anak laki-laki.

[viii]Yu dari kata Mbakyu = kakak perempuan. Atau sebutan untuk perempuan yang dituakan seperti kakak.



Tidak ada komentar: