19 Maret 2011

Roro Jonggrang dan Listrik Nuklir (PLTN)

Namaku Joko Bandung. Roro Jonggrang mau jadi isteriku dengan syarat yang berat, yakni: dalam waktu semalam, malam minggu besok ini, saya harus bisa membangun reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk memasok kebutuhan listrik nasional.

“Bukankah kita sering mengalami penyalaan listrik bergilir Mas?” kata Jonggrang.

“Maksudmu pemadaman listrik bergilir to Jeng?” Kok pakai istilah “penyalaan bergilir”? Aneh! Pikirku.

“Lha apa bedanya to Mas? Pemadaman listrik bergilir kan sama saja dengan penyalaan bergilir to?” jawab Roro Jonggrang yang cantik dan seksinya persis dengan Kate Winslet. Dia juga baik hati. Makanya aku terkiwir-kiwir kepadanya. Mikir dia sampai gak bisa tidur selama 359 tahun ini.

“Mas Joko, jika listrik nasional masih sering byar pet, nanti saat kita bercinta bisa-bisa listrik padam, gimana, hayooo?” tanya Jonggrang dengan manis. Hmmm.

“Eeee….. kebetulan aku suka kok Jeng bercinta di gelap-gelap, hehehe….,” jawabku malu-malu monyet. Halah, kok tidak malu kucing? Bosen. Sesekali diganti malu monyet kan nggak apa-apa. Pokoknya tidak malu (memalu) orang.

Sebenarnya dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak setuju dengan listrik nuklir alias PLTN. Peristiwa Chernobyl 26 April 1986 di Ukraina yang dulu kekuasaan Soviet itu, masih terasa nyeri. Konon korban yang meninggal mencapai 9000 hingga 90.000 orang. Sekitar 7 juta orang hidup di wilayah yang tak aman karena bahaya radiasi di luar ambang batas yang aman.


Saya baca informasi data PBB, yakni United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR) di unscear.org yang menyebut data: “Among the residents of Belarus, the Russian Federation and Ukraine, there had been up to the year 2005 more than 6,000 cases of thyroid cancer reported in children and adolescents who were exposed at the time of the accident, and more cases can be expected during the next decades. Jadi, akibatnya juga bukan hanya seketika, bukan Cuma kematian puluhan ribu orang, tapi membawa dampak yang panjang seperti itu.

Tapi ada ahli yang bilang itu bukan fusi nuklir yang bikin meledak, tapi faktor lainnya. Halah, kalau penyebab ya apa saja kan bisa, misalnya dirudal sama tentara Kaisar Ming, musuh Flash Gordon itu. Hehe… sekarang malah Kaisar Ming bisa mengalahkan Flash Gordon loooo… Jangan-jangan Flash Gordon yang lebih jahat?

Tapi yang namanya syahwat itu terkadang buta. Seperti halnya syahwat ilmiah yang sudah tak lagi obyektif. Katakanlah sudah ada banyak ilmuwan yang dipekerjakan, memakan biaya banyak selama bertahun-tahun. Lalu rencana pembangunan reaktor PLTN digagalkan? Apa nggak malu? Ini soal syahwat harga diri.

Ada juga syahwat politik ekonomi. Konon Rusia ini gencar melakukan gerakan diplomatik dagang ofensif untuk memasarkan keahliannya dibidang listrik nuklir ini. Rusia menawarkan dagangannya yang bernama teknologi nuklir untuk listrik hingga ke India, Cina, Iran dan Venezuela, Arab Saudi, termasuk Indonesia. Rusia saat ini memang penguasa teknologi nuklir dunia, mengalahkan teknologi nuklir Amerika Serikat.

Karena syahwat cinta, maka nurani saya tanggalkan saja. Demi bisa memiliki Roro Jonggrang. Aku sudah kebelet cinta kepadanya. Aku tutup saja seluruh pertimbangan apapun, aku segera memanggil para jin suruhanku untuk menyiapkan diri membangun sebuah reaktor PLTN permintaan Roro Jonggrang di wilayah ini.

“Mas Joko, saya setuju dengan gagasan Jeng Jonggrang untuk membangun PLTN. Sebagai jin modern saya dapat memahami kebutuhan manusia. Bahkan bangsa jin modern saat ini juga butuh pasokan energi listrik dari PLN kita yang masih kembang-kempis kekurangan sumber daya energi listrik. Saya lihat teknologi listrik nuklir dunia kian efesien. Bahkan dapat dibilang relatif aman. Ada pabrik pengolahan limbah nuklir yang menyerap banyak tenaga kerja seperti di India,” kata Jin Samsuri dengan antusias. Itu membuatku senang.

“Maaf. Kalau saya kali ini menolak Mas Joko. Saya sempat baca juga kasus Chernobyl itu. Forum Chernobyl buatan International Atomic Energy Agency (IAEA) aja bikin kesimpulan: … that twenty-eight emergency workers died from acute radiation syndrome including beta burns and 15 patients died from thyroid cancer, and it roughly estimated that cancer deaths caused by Chernobyl may reach a total of about 4,000 among the 600,000 people having received the greatest exposures. It also concluded that a greater risk than the long-term effects of radiation exposure is the risk to mental health of exaggerated fears about the effects of radiation. Lha ya ngeri Mas kalau sampai reaktor PLTN yang kita bangun ini nanti bermasalah. Secanggih apapun teknologi itu ada kelemahannya,” kata Jin Suwito. Waduh, jin ini kayaknya jadi penghalang akses cintaku kepada Jonggrang. Tumben dia membangkang, wong biasanya patuh.

“Mas Joko. Apalagi Indonesia ini juga termasuk negara rawan gempa. Juga sering banjir, longsor. Masyarakat dunia internasional kini sedang bergolak menuntut dihentikannya proyek pembangunan reaktor nuklir, kok kita malah mau membangunnya. Kok kayaknya kita ini berlagak modern tapi pikiran kita primitif?” sergah jin Dewi Pernik (bukan Dewi Persik lo ya !!!!).

“Wah, kalian semua ini ketinggalan zaman!” potong Jin Ngatiyem, yang di dunia per-jinan-an dikenal sebagai aktivis jin wanita. “Saat ini dunia butuh PLTN untuk mengurangi pemanasan global. PLTN itu tidak mengeluarkan emisi karbon. Selain itu juga lebih efisien sehingga dapat meningkatkan jalannya perekonomian dunia. IAEA sendiri juga membuat proyeksi bahwa ini, energi nuklir akan membangkitkan 70% lebih listrik dunia pada 2030 daripada 2002. Ini berarti dunia kelistrikan internasional dapat mengeliminasi emisi karbon 70 %. Ini menyangkut masa depan!” kata Jin Ngatiyem berapi-api.

Demi mendengar itu maka Jin Dewi Pernik menyergah, “Jeng Ngatiyem! Jangan lupa ya dengan risiko radiasi nuklir dan limbah nuklir! Kasus meledaknya reaktor nuklir Jepang ini juga menjadi contoh buruk.
Saya beri contoh jelek lainnya. Di Jerman selama ini ada lebih kurang 600 kasus PLTN. Masalah yang timbul salah satu contohnya adalah meluasnya penyakit leukemia di sekitar lokasi reaktor Krümel.
Pak Wilardjo guru besar yang ahli fisika itu bilang bahwa limbah bahan bakar nuklir bekasnya masih akan terus mengancam anak-cucu kita dan generasi-generasi mendatang. Salah satu isotop dalam limbah itu, yakni plutonium, yang ditemukan Glen Seaborg, mempunyai umur paruh (half life) 24 000 tahun. Padahal plutonium itu kejahatan racunnya seperti setan (fiendishly toxic). 1 mg (sepersejuta gram) saja tertiup atau tertelan akan menyebabkan kanker. Diperlukan TPA yang mampu menjamin keamanannya selama 500 000 tahun, sebelum limbah itu menjadi “jinak” dengan sendirinya. Radioisotop berumur panjang lainnya ialah C-14 dan I-129.
Selain itu, kamu apakah tidak berfikir bahwa untuk reaktor PLTN itu dibutuhkan bahan baku uranium? Dari mana uranium? Dari pertambangan uranium. Negara kita ini sudah bopeng-bopeng hancur karena tambang batubara, minyak, emas, nikal, dan segala macam, masih harus dihabisi lagi dengan pertambangan uranium.
Katakanlah usia reaktor PLTN itu 40 tahun. Apa kita sudah mengukur berapa lama persediaan bahan bakunya? Jangan-jangan kalau bahannya habis kita disuruh impor dari Cina, Rusia, Australia? Wah, bagaimana kita bias punya kedaulatan energi?
Lalu bagaimana biaya perawatan reaktor yang ditutup dan biaya lingkungan yang timbul dari penyimpanan limbahnya yang akan memakan waktu hingga ratusan tahun?
Kita punya harapan lain lebih baik. Sebagai contoh, di Eropa, European Renewable Energy Council alias EREC, (… nggak pakai SI lo ya !), telah menugasi German Aerospace Centre untuk mengembangkan jalur energi berkelanjutan global, Skenario Revolusi Energi yang akan menghentikan penggunaan tenaga nuklir dan bahan bakar fosil dan menggantikannya dengan energi masa depan yang berkelanjutan dan adil. Kita masih punya energi matahari, angin, air laut, dan lain-lain yang lebih ramah lingkungan.”

Aku jadi pusing mendengar perdebatan ini. Pusiiiiing! Lha kalau para jinku tidak kompak, bisa-bisa pembangunan PLTN yang diminta Roro Jonggrang bisa kacau dan batal.
Keadaan yang tidak bagus. Lebih baik aku terus terang sama Roro Jonggrang kalau aku tak sanggup.
“Jeng Jonggrang, aku menyerah. Aku memilih tidak membangun reaktor PLTN demi keselamatan umat manusia. Aku korbankan saja rasa cintaku ini, aku tak mau jadi orang egois yang tak bernurani,” kataku dengan gaya humanis. Padahal aslinya ya cuma untuk menutupi ketidakmampuanku. Biasa, laki-laki selalu nggombale mukijan alias gombal amoh.

Hening sejenak. Tiba-tiba Jonggrang yang anggun semampai itu mendatangiku dan membisikkan sebuah kalimat: “Justru karena Mas Joko memilih seperti itu yang membuatku saat ini aku bisa jatuh hati padamu.”

Aku kaget. Tak menyangka. Aku lari keluar ruangan rumah Jonggrang dan mendekati sebuah pohon. Aku berteriak meluapkan rasa senang. “Haaaaaaaaaaa…..!”

“Jok…. Hai Jok! Hayoh kono…. He… Jok, tangi tangi tangi! Bangun bangun bangun!”
Waduh, ternyata cuma mimpi. Kenapa kok ya ada yang bikin aku bangun dari mimpi manisku ini?

Sumber foto: dari internet lewat mbah gugel