15 Desember 2007

Cerkol = Cerita Kolor Ijo

Soal kolor ijo[1], aku ingat kisah celana komprang[2] yang biasa dipakai oleh kekekku, Mbah Roso. Warnanya hijau tua, dan kolornya juga hijau tua. Mungkin saking sudah terlalu lama, ada bagian-bagian pinggir yang warnanya mulai pudar.

“Biasanya orang suka celana hitam dengan kolor putih, tapi Mbah kok pakai celana hijau to Mbah. Kok aneh?” tanyaku. Waktu itu umurku delapan tahunan.

“Bocah cilik, ndak usah tanya macam-macam!” jawab Mbah Roso sambil mengelus kepalaku.

Tapi ketika aku sudah SMA, aku bertanya lagi. Waktu itu Mbah Roso sudah semakin tua, umurnya delapan puluh tahunan, menurut ibuku.

“Mbah aku masih penasaran dengan warna celana sampeyan itu?”[3] tanyaku.

“Aku memang mau cerita kepadamu Le.[4] Sudah waktunya. Umurmu sudah cukup untuk berpikir tentang suatu peristiwa. Sudah ngerti benar-salah.”

Lalu kakekku menceritakan bahwa celana komprang berwarna ijo atau biasa disebut kolor ijo itu adalah peninggalan dari almarhum orang tuanya yang bernama Suromarto Dipokusumo Menggolo atau dikenal dengan Mbah Marto. Konon, kolor ijo itu adalah kolor yang sakti. Kolor ijo itu telah menjadi teman Mbah Marto dalam perjuangannya melawan kolonial Belanda sampai jaman Jepang. Setelah Jepang pergi, Mbah Marto meninggal dunia dan kolor itu diwasiatkan kepada Mbah Roso. Pada jaman agresi Belanda Mbah Roso juga menggunakan kolor itu untuk melawan pasukan sekutu.

Setelah jaman kemerdekaan, kolor ijo itu sering dipinjam oleh teman-teman Mbah Roso. Konon, akibat kehebatan khasiat kolor ijo tersebut maka ada teman Mbah Roso yang bisa menjadi anggota DPR, DPRD, Bupati, Walikota dan bahkan ada yang menjadi menteri.

“Tapi sampeyan sendiri kok ndak jadi apa-apa to Mbah?” tanyaku kepada Mbah Roso.

“Aku juga ndak minat jadi apa-apa. Cukup jadi petani, hidup tenang, tidak ada yang mengejar-ngejar. Aku tidak berani Le untuk memegang jabatan sebab disamping itu tugas berat, sekolahku juga tidak tinggi sehingga aku kuatir tidak menguasai ilmunya.”

Aku menjadi mengerti sedikit kisah dari kolor ijo tersebut. Hanya saja, aku belum pernah memperoleh jawaban atas rasa penasaranku, mengapa warnanya kok hijau. Tapi, aku mulai mengurangi rasa ingin tahuku itu.

***

Kini Mbah Roso telah tiada. Kolor ijo itu menjadi milikku, sebab ternyata Mbah Roso mewasiatkan kolor itu kepadaku. Hal itu membuat bapakku iri. Mestinya, menurut tradisi, bapakku sebagai anak tertua Mbah Roso berhak mewarisi kolor ijo itu. Tapi Mbah Roso almarhum mempunyai alasan bahwa bapakku tidak pantas mewarisi kolor ijo itu sebab bapakku telah berpoligami, isterinya dua.

Di dalam surat wasiatnya yang sangat panjang Mbah Roso menyatakan suatu alasan bahwa kolor ijo itu tidak boleh jatuh ke tangan laki-laki berpoligami sebab dapat menimbulkan bahaya atau naas.

Mbah Roso juga berwasiat agar aku tidak melakukan poligami dan agar aku juga berwasiat yang sama terhadap semua anak laki-lakiku kelak, agar di dalam trah atau dinastiku tidak ada laki-laki yang berpoligami. Kakekku itu juga menyatakan bahwa laki-laki berpoligami adalah manusia serakah yang bangga mengobral kelelakiannya, tertipu oleh imajinasinya sendiri, serta tidak mempunyai pikiran yang adil guna menghormati kemanusiaan kaum perempuan. Mbah Roso menyatakan bahwa bapakku adalah satu-satunya kutu busuk di dalam trah Suromarto Dipokusumo Menggolo.

Tapi kadang-kadang aku juga berpikir, seandainya di jaman ini tidak ada perempuan yang mau dimadu, maka bapakku pun tidak akan bisa berpoligami.

***

Tujuh tahun kemudian setelah meninggalnya Mbah Roso, sinar matahari semakin memerah, rembulan telah pucat-pasi, bumi sering diguncang gempa, direndam banjir, dan diresapi polusi.

“Le, Sarmin. Bapak mau meminjam kolor ijo peninggalan Mbah Roso. Bapak punya keperluan.” pinta bapakku.

Aku tak sempat berpikir keperluan apa yang dimaksudkan bapakku itu. Pikiranku bertengger di bahu kebimbangan. Aku ingat pesan kakekku untuk tidak memberikan atau meminjamkan kolor itu kepada orang yang berpoligami.

Akhirnya aku memutuskan untuk menolak permintaan bapakku karena ingat wasiat Mbah Roso yang juga telah diketahui bapakku itu. “Maaf Pak! Aku tidak berani melanggar wasiat kakek,” jawabku dengan muka tertunduk.

Jawabanku itu menjadi titik yang menyedihkan. Sebab akhirnya terjadi pertengkaran antara aku dengan bapakku, sampai-sampai isteriku membawa dua anakku yang masih kecil-kecil keluar dari rumah. Pertengkaran itu berakhir ketika bapakku terjatuh karena stroke-nya kumat, sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Kulihat ibuku dengan setia menunggui bapakku. Tiga hari kemudian isteri kedua bapakku alias ibu tiriku, yang biasa kupanggil Bulik Mariam, baru muncul menjenguk. Kulihat ibuku dan Bulik Mariam itu rukun, dan memang belum pernah aku melihat mereka bertengkar.

Setelah beberapa menit Bulik Mariam menunggui bapakku, ia keluar ruangan dan menggeret tanganku. Selama ini aku memang mempunyai hubungan yang baik dengan ibu tiriku itu, meskipun almarhum Mbah Roso tidak pernah mau berbicara dengannya. Pernah suatu saat aku bertanya tentang perasaan ibuku kepada Bulik Mariam, tapi ibuku hanya menjawab dengan senyuman dan mencubit hidungku. Jadi, aku menganggap cinta segitiga itu tanpa konflik apa-apa.

Tapi aku pernah bertanya-tanya dalam hati, benarkah sebegitu ikhlas hati ibuku ketika bapakku kawin lagi? Hanya saja, herannya ada juga perempuan yang mau menjadi isteri kedua. Bagaimana ya kira-kira Bulik Mariam itu memikirkan perasaan ibuku?

“Ada apa to Bulik?”[5] tanyaku kepada Bulik Mariam, setelah kami berada di tempat yang agak jauh dari ruangan bapakku dirawat.

“Lha iyo to Min. Bapakmu itu lo kok ya aneh-aneh. Dia akan mencalonkan diri jadi anggota DPRD. Lha orang sudah bau tanah kok ya masih ambisius. Katanya ia mau pinjam kolor ijo milikmu itu lo.”

“Gini lo Bulik. Kolor ijo ini kan peninggalan Mbah Roso. Bulik tahu kan? Menurut Mbah Roso, aku tidak boleh meminjamkan kolor itu sama siapa saja, termasuk kepada bapak. Lha masak aku harus mengingkari janji?”

“Ya sudah. Itu nggak usah dirembug!” jawab Bulik Mariam. Aku lihat ia begitu sederhana dan cantik. Pantas jika bapakku tergila-gila dengannya.

Yang mengganjal batinku adalah: selama ini bapakku tidak pernah berpolitik. Benarkah kata Bulik Mariam bahwa kolor ijo itu akan dijadikan bapakku untuk memuluskan jalannya menjadi anggota DPRD?

***

Sejak perisitiwa perselisihanku dengan bapakku itu, hubungan keluarga kami menjadi renggang.

Tapi yang sungguh-sungguh membuatku kaget adalah kabar bahwa Bulik Mariam menggugat cerai ayahku, padahal kelihatannya tidak ada masalah.

Aku dan ibuku tidak berani mencampuri urusan bapakku dengan Bulik Mariam. Kami tidak berani menanyakan masalah tersebut. Tapi bagaimanapun juga akhirnya bocor juga informasi tentang penyebab keretakan hubungan suami-isteri antara bapakku dengan Bulik Mariam. Ternyata Bulik Mariam ingin mempunyai anak, tetapi bapakku sudah tidak mampu memberi nafkah batin.

Kalau kuhubungkan dengan permintaan bapakku meminjam kolor ijo milikku, mungkin ada kaitannya dengan masalah itu. Sebab sepengetahuanku, bapakku tidak pernah menjadi aktivis atau anggota partai politik sehingga tidak mungkin mencalonkan diri menjadi anggota DPRD.

Ternyata perselisihan bapakku dengan isteri keduanya itu tidak hanya pada soal perceraian, tapi bapakku ditahan kepolisian atas laporan Bulik Mariam dengan tuduhan menggelapkan harta gono-gini. Tidak hanya itu. Rumah tempat tinggal ibuku pun disita oleh pengadilan karena gugatan Bulik Mariam. Itu jelas sudah ngawur sebab rumah ibuku tidak ada kaitannya dengan gono-gini bapakku dengan Bulik Mariam. Ibuku hanya bisa menangis.

Yang lebih menyedihkan lagi, bapakku akhirnya meninggal dunia akibat serangan stroke sewaktu ditahan di Kepolisian.

***

Suatu saat, ketika malam telah menggulung keramaian, aku mengambil kolor ijo dari kotak penyimpanannya. “Adakah ini menjadi penyebab semua masalah itu?” tanyaku dalam hati. “Seandainya aku dahulu meminjamkan kolor ijo ini kepada bapakku mungkin masalah tidak akan serumit itu,” gumamku sendiri.

Sudah empat malam aku tak bisa tidur. Pikiranku selalu gelisah. Aku tidak mengerti yang harus kuperbuat. Untuk menyewa pengacara, aku kuatir malah menjadi korban kebohongan pengacara seperti yang pernah dialami tetanggaku. Tak habis-habisnya aku berdoa, meminta pertolongan Tuhan, tapi apakah Tuhan mau memperhatikan doaku sebab selama ini aku sering melupakanNya ketika keadaanku masih lapang?

Aku pun berpikir, jika kolor ijo itu mengandung tuah seperti yang diceritakan Mbah Roso almarhum, mestinya bisa membantuku.

“Hai kolor ijo! Bagaimana menurutmu tentang masalah yang kami hadapi?” tanyaku. Aku menjadi merasakan keanehan pada diriku, sebab sebenarnya dari hatiku yang paling dalam tidak yakin dengan kepercayaan tentang kasiat atau tuah suatu benda, termasuk kolor ijo itu.

Beberapa saat aku mulai merasa menjadi gila sebab berbicara dengan kolor ijo, makhluk mati itu. Sia-sia, sebab kolor ijo itu toh benda mati yang tak dapat menjawab pertanyaanku.

Hawa dingin masuk ke dalam rumahku. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku.

“Assalamu’alaikum.” Aku tidak pernah bisa melupakan bahwa yang terdengar adalah suara Mbah Roso. Aku ragu-ragu, sebab Mbah Roso sudah meninggal.

“Wa’alaikumussalaam,” jawabku. Kubuka pintu dengan perlahan-lahan.

“Le, Sarmin. Aku datang ke sini hanya sebentar saja, sebab kesedihanmu kudengar dari tempat tinggalku sana.” Benar-benar Mbah Roso yang datang. Ia masuk rumah dan duduk.

Namun aku sedikit ragu, apakah benar yang bicara denganku adalah almarhum Mbah Roso. Tapi aku juga pernah membaca buku ulama Syi’ah, Najafi Qucani, yang menceritakan pengalaman matinya. Katanya, roh orang mati itu kadang-kadang juga mengunjungi keluarganya di dunia, meski dalam buku itu tidak diceritakan sampai terjadinya pembicaraan antara roh Najafi dengan keluarganya di dunia.

Ada banyak rahasia yang tak kuketahui. Kisah Najafi yang diakuinya nyata itu bisa benar atau tidak.

“Bapak telah meninggal gara-gara keinginannya untuk memiliki kolor ijo itu tak terpenuhi. Sekarang menjadi masalah yang melebar tidak karu-karuan Mbah,” kataku. Hawa dingin semakin menusuk tulangku.

“Tidak, Le. Bapakmu mati karena takdirnya sudah sampai. Ia sakit stroke akibat terlalu sering menuruti keinginannya tetapi jiwanya tidak tenang. Sekarang kematian telah membuatnya tenang,” kata Mbah Roso, wajahnya tampak putih dan segar. “Untuk menghadapi gugatan Mariam itu, datangilah ia di rumahnya dengan membawa kolor ijo ini. Mintalah kepadanya agar ia mencabut gugatannya dengan memberikan kolor ijo ini kepadanya. Kukira hanya itu saranku. Wassalamu’alaikum.” Mbah Roso pun lenyap dari hadapanku.

“Wa’alaikumussalaam,” balas salamku. Aku gelagapan mengalami peristiwa yang belum pernah kualami itu, bertemu roh orang mati.

Lalu apakah pengaruhnya jika aku memberikan kolor ijo itu? Pertanyaan itu berkecamuk di otakku. Tapi aku akan menuruti saja pesan Mbah Roso itu. Aku sendiri sebenarnya merasa rikuh menyimpan kolor ijo sebab aku ini orang rasional yang tidak percaya tuah benda-benda seperti itu.

Ternyata benar, Bulik Mariam bersedia mencabut gugatannya. Ia sangat senang menerima kolor ijo dariku. Bahkan secara terang-terangan ia berkata kepadaku bahwa ia telah berhasil menggeser trah Suromarto Dipokusumo Menggolo untuk memiliki kolor ijo.

***

Tiga bulan kemudian Bulik Mariam sudah menikah lagi dengan seorang laki-laki yang usianya delapan tahun lebih muda. Anehnya, setiap sore hari suami Bulik Mariam terlihat selalu memakai kolor ijo itu.

Tetapi belum sampai dua tahun sejak perkawinan mereka, suami Bulik Mariam itu menikah lagi dengan seorang perawan sebagai isteri keduanya. Ia berpoligami. Bulik Mariam kelihatan semakin kurus dan sakit-sakitan. Hingga akhirnya terjadi peristiwa mengenaskan, kolor ijo itu tercemar merah darah sebab Bulik Mariam memotong kelamin suaminya itu.

Sejak itu yang kudengar kolor ijo itu menjadi barang bukti kasus pemotongan kelamin itu dan hingga kini entah siapa yang menguasainya. Bulik Mariam sendiri saat ini masih dirawat di rumah sakit jiwa.

Pernah suatu saat ibuku, isteriku dan aku menjenguk Bulik Mariam, tapi Bulik Mariam terus-terusan berusaha merangkulku dengan berkata, “Kolor ijo, ayo beri aku anak! Ayo beri aku anak!” Akibatnya isteriku cemberut, cemburu dengan perempuan tidak sehat akalnya itu.



[1] Kolor = tali celana. Ijo = hijau.

[2] Celana komprang = celana yang ukurannya besar.

[3] Sampeyan = kamu, dalam tingkatan krama madya.

[4] Le dari kata Tole = panggilan untuk laki-laki yang lebih muda.

[5] Bulik dari kata Ibu Cilik = Bibi.

25 November 2007

Presiden Terancam PHK !

Puisur = puisi nemu di bawah kasur.

Den (aku memanggil Presiden) !

Lebarkan telingamu!
Lebarkan matamu!
Bentangkan sayapmu!

Kemelankolisanmu taruh di sudut kamar kekuasaan!
Keromantisanmu simpan dulu di kolong peraduan!

Kau tahu kan, ini negara perompak?

Kau tahu kan, pornografi ada di catatan pembukuan negara?
Kau tahu kan, pornoaksi ada di pengelolaan dana negara?
Kau tahu kan, ada mafia bergentayangan memamerkan kelaminnya?

Kau tahu negara besar ini jadi kerdil?
Kau tahu negara kaya ini jadi gelandangan?
Kau tahu negara pemenang ini jadi pecundang?
Kau tahu negara agamis ini merendahkan Tuhan?

Kau tahu......... ! Tahu semua! Tahu !

Letakkan gitarmu, ambil pedangmu!
Pimpin rakyatmu maju perang untuk menang!

Robohkan gedung mahkamah agung yang linglung!
Bakarkan gedung Jaksa Agung yang penuh lempung!
Hancurkan gedung kantor polisi yang penuh prostitusi!
Gusurkan kantor advokat yang penuh orang bejat!

Jangan ragu, bangun yang baru!

Kau tak akan bisa menuai padi yang kau tanam di sawah negara,
jika kau biarkan tikus-tikus melahirkan anak-anak mereka.
Kau tak akan bisa menikmati hasil ternak di peternakan negara,
jika kau biarkan serigala mengikuti program keluarga berencana,
apalagi jika kau biarkan mereka beranak-pinak semaunya.

Jika kau tak bisa maju....., mundur saja!
Percuma kami menggaji orang tak bisa kerja!
Hanya jadi beban negara!

Mundur jika tak bisa kerja, daripada kami PHK!

Surabaya, 25/11/2007.

24 November 2007

Kisah Batu Akik di Jagal Timur

(Sebuah cerbeng = cerita rombeng)
Lebih dulu di:
http://www.fordisastra.com/modules.php?name=News&file=article&sid=569
( 24/11/2007)


Di suatu gelap, di musim yang lalu, ketika itu hujan batu. Hujan batu; yang turun batu hitam, batu plapak, batu karang, batu bata, batu gunung, dan tak ketinggalan ada secuil batu akik yang terukir, lengkap dengan cincinnya. Cincin akik itu satu-satunya barang bukti yang ditemukan dalam kerusuhan pemilihan kepala daerah (pilkada) propinsi Jagal Timur. Kantor gubernur dan DPRD hancur dihujani batu ketika matahari masih pulas tertidur menjelang ayam jantan berkokok. Patut diduga, kaum perusuh itu pendukung pasangan cagub-cawagub H. Kamat, SH – Ir. Sukar (disingkat Kasur) yang kalah suara selisih tiga ribu suara dengan pasangan Drs. Ngilam – Kopmar, ST. (disingkat Ngamar).

Sebelumnya memang ada isu bahwa para pendukung Kasur akan protes massal kepada Komisi Pemilihan Kepala Daerah (Kompilkada) Jagal Timur yang dianggap memihak pasangan Ngamar. Anehnya, para intel polisi di Jagal Timur mengaku tidak mencium rencana serangan fajar hujan batu yang memorak-porandakan gedung pemerintahan di ibukota Jagal Timur. Di koran-koran dan televisi muncul opini dan komentar para analis politik, sosial dan hukum yang menuduh kepolisian telah memihak sehingga sengaja membiarkan kerusuhan itu terjadi. Kapolda Jagal Timur dengan senyumnya menepis isu itu. ”Kami bekerja untuk negara, bukan untuk golongan,” kata Kapolda Jagal Timur. Kelompok pendukung pasangan Kasur membantah. ”Itu fitnah! Kami akan menuntut para komentator yang asal njeplak itu! Ini negara hukum. Kami akan protes keberpihakan Kompilkada dengan aksi demo yang sesuai dengan hukum. Para perusak itu adalah orang-orang bayaran yang sengaja menyulut situasi!” Isu pun bertambah melebar, bertambah tinggi, setinggi muncratan lumpur Lapindo di Jawa Timur yang berkali-kali membuat tanggulnya jebol.


Pelantikan pasangan Ngamar ditunda atas keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Atas Angan dengan alasan: untuk menghindari ketidakamanan sosial. Para pendukung kubu Ngamar mengancam akan menduduki ibukota Atas Angan jika Menteri Dalam Negeri tidak menganulir keputusannya. Sementara itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Atas Angan tidak melakukan apa-apa atas laporan Kompilkada Jagal Timur. ”Kami terserah Pak Menteri ajalah,” kata Prof. Sumumpung, SH, ketua KPU, dengan santai.

Para wartawan mendesak Kapolda Jagal Timur tentang hasil penyelidikan kepolisian terkait perusakan kantor pemerintahan Jagal Timur. ”Kami sudah mengantongi nama pemilik cincin akik yang kami temukan di tempat kejadian perkara (TKP), tapi untuk kepentingan penyelidikan yang belum selesai maka saya rahasiakan dulu siapa dia. Maaf ya!” kata Kapolda Jagal Timur disambut suara gerutu para wartawan. Besoknya, sebuah koran nasional ternama membuat judul berita: ”Otak Pelaku Kerusuhan Jagal Timur di Kantong Kapolda!”

Judul berita itu menimbulkan kesalahan persepsi anak-anak SMP di pusat kota Jagal Timur. Mereka demo ke Polda Jagal Timur, membawa poster-poster dengan tulisan, ”Rebut Isi Kantong Kapolda untuk Rakyat!” ”Di Kantong Kapolda Ada Otak Kerusuhan.” dan lain-lain. Kapolda Jagal Timur yang dikenal ramah itu maunya menemui anak-anak SMP yang mendemonya. Tak tahunya anak-anak SMP itu mengeroyok Kapolda dan menggeledah kantong-kantongnya. ”Wah, nggak ada! Nggak ada! Di saku Pak Kapolda nggak ada otak! Nggak ada .....! Ini yang bohong Pak Kapolda atau koran?” Anak-anak itu ribut dan kecewa. Sementara itu Kapolda segera diamankan anak buahnya, meski Kapolda maunya masih ingin bincang-bincang dengan anak-anak SMP. Besoknya lagi muncul judul berita: ”Anak-anak SMP Pendemo Kapolda Dihukum push-up di Sekolah!” Para aktivis pegiat pendidikan demo! Tak pelak kasusnya melebar ke isu pendidikan koersif. Jagal Timur semakin ribut. +++

Tiga bulan kemudian pasangan Ngamar dilantik menjadi Gubernur Jagal Timur. Pelantikannya ibukota Republik Atas Angan. Di ibukota Provinsi Jagal Timur, pasukan pagar betis Polda Jagal Timur tak mampu menahan gerak massal pendukung pasangan Kasur yang mengamuk. Tak pelak gedung gubernuran dan DPRD Jagal Timur yang belum sempat direnovasi akibat kerusuhan pertama, menjadi rusak semakin parah, terbakar habis, rata menjadi tanah. Polisi berhasil menangkap 150 pelaku kerusuhan yang diduga otak kerusuhan. Ribuan lainnya tak diusut, sebab pasti akan menghabiskan anggaran kertas dan tinta komputer jika harus membuat berita acara untuk ribuan orang. Apalagi penjara tak akan cukup menampung ribuan orang. Wong korupsi massal di DPRD Sirobonek tahun 1999 lalu hanya menjerat tiga otaknya dan melepaskan 20-an buntutnya, apalagi kasus kerusuhan itu melibatkan ribuan orang?

Singkat cerita, karena ini cerita pendek, 150 orang dibawa ke pengadilan dan masing-masing dihukum setahun penjara. Tak ada upaya banding. Mereka menerima putusan itu. Tapi 150 orang itu tidak kelihatan sedih. Mereka cengengesan seperti Mucalas, Kamarozi dan Imam Danau terpidana teroris di negara Indosa itu. Orang-orang curiga, mengapa begitu? Ketika ada wartawan yang bertanya, mengapa mereka kelihatan tidak bersedih padahal dihukum. Mereka menjawab, ”Kami ini berjihad, membela kebenaran. Kerangkeng besi tak akan mampu mengurung jiwa kami! Biarpun langit menelungkup membekap bumi dan tubuh kami, roh dan jiwa kami tetap bebas merdeka! Dalam kemerdekaan tak ada derita! Dan jika masih ada derita, kemerdekaan hanya tipudaya! Allaahu akbar! Wah, pelaku kerusuhan itu juga ada yang punya bakat menjadi penyair.

Pasangan Ngamar mulai menjalankan tugas. Tak ada demo lagi. Tak ada lagi tanda tanya tentang siapa otak kerusuhan pertama. Tatap masih di kantong Kapolda Jagal Timur. Tak ada lagi media massa yang mengorek-ngorek kasus kerusuhan itu. Isu sosialnya berubah ke arah dugaan korupsi yang dilakukan mantan gubernur Makmum Iatnas. Kok pasti begitu. Di negara Atas Angan memang punya ciri khas korupsi. Jadi pejabat kalau nggak korupsi rasanya badan jadi gatal semua. Tapi para penegak hukumnya juga pejabat yang hobi korupsi. Jadinya lucu, koruptor disuruh memberantas koruptor. Akhirnya koruptor ketemu dengan koruptor. Karena sesama golongan, maka penyelesaian hukumnya ya bagi-bagi hasil korupsi. Situasi seperti itu menjadi berkah bagi para advokat alias pengacara yang lebih banyak ahli menjadi makelar dibandingkan ahli hukum.

Tapi perkembangan kasus dugaan korupsi yang dilakukan Makmum mantan Gubernur Jagal Timur itu sulit diteruskan. Kata Kejaksaan Tinggi Jagal Timur, berdasarkan keterangan para ahli hukum administrasi negara dari Universitas Airlumpur, Universitas Bajulempung dan Universitas Otakcumplung ternyata tidak ada unsur pidananya. Hanya pelanggaran adminsitrasi. Kok persis dengan pendapat SR Balkan, Menteri Kehutanan dalam kasus perusakan hutan di Propinsi Saladna Utara. Repotnya juga, di negara Atas Angan konon pendapat ahli dari para guru besar juga gampang dibeli seperti semudah kita membeli bawang di pasar-pasar. Hanya saja yang bisa membeli pendapat ahli itu mereka yang kantongnya tebal isi uang, bukan isi klobot. Kalau kasus lokal tarifnya Fp. 5 jutaan. (Fp. singkatan Fuluspiah, mata uang Atas Angan). Kalau kasus nasional ya ratusan juta fuluspiah. Itu kaitannya dengan kebiasaan di kampus yang suka jual-beli karya ilmiah, kata Prof. Dufham DM yang juga guru besar hukum itu. Kampus-kampus sekarang menjadi persemaian benih-benih mental korupsi. +++

Hancurnya kantor gubernuran dan DPRD Jagal Timur membuat pemerintahan sementara dijalankan numpang di kantor Kota Sirobonek. Proyek pembangunan pembangunan gedung gubernuran dan DPRD dikebut, tanpa tender sebab dalam keadaan darurat. Hasil telisik wartawan majalah Langgeng menemukan fakta menarik. Ternyata perusahaan yang memegang tender pembangunan gedung pemerintahan Propinsi Jagal Timur adalah PT. Kadut, milik Kaji Alex, yang tak lain adalah sepupu dari H. Kamat, SH yang gagal menjadi gubernur Jagal Timur dalam pemilihan yang dimenangi pasangan Ngamar. Informasi terus diselidiki. Adalah wartawan majalah Langgeng bernama Komir yang menyamar masuk ke ruang-ruang yang tak dipedulikan orang. Di sana ada gelak tawa kemenangan dari orang-orang yang selama ini tampak kalah dalam pertarungan politik. Ternyata mereka tetap memenangkan persekongkolan ekonomi. Komir membuat hipotesa sebelum menurunkan sebagai berita investigatif. Ada dugaan kuat bahwa kerusuhan pertama dan kedua dalam pemilihan gubernur Jagal Timur tersebut sengaja dirancang. Pasangan Kasur dengan Ngamar sudah membuat kesepakatan di lorong gelap bahwa siapapun yang memenangkan pemilihan harus memberikan tender pembangunan gedung gubernuran dan DPRD yang berhasil dihancurkan. Mereka juga bersekongkol dengan para pimpinan polisi di pusat kota Jagal Timur. Ternyata penunjukan langsung PT. Kadut itu merupakan pelaksanaan perjanjian konspirasi itu. Uang negara Atas Angan di Propinsi Jagal Timur pun mengalir ke kantong-kantong mereka. Pantas saja 150 terpidana kerusuhan itu cengengesan. Rupanya mereka juga memperoleh uang bagian dengan cara dipenjara, untuk mengalihkan perhatian dan persepsi masyarakat.

Namun, sebelum Komir sempat menyerahkan data-datanya ke redaksi, ada kabar ia ditangkap polisi dengan tuduhan menyimpan sabu-sabu di dalam tasnya. Komir membantah keras. Ia merasa dijebak. Tapi masyarakat tak tahu apa yang ada di balik semua itu. Komir meronta. Tubuhnya yang cicih diterkam keperkasaan kekuasaan yang tak akan pernah jera untuk selalu membohongi rakyatnya sebab memang negara Atas Angan didirikan dengan dasar prostitusionisme. Inilah negara pasar! Barangsiapa yang ingin makmur sejahtera harus menjual. Jual apa saja. Kekayaan negara harus dijual, tak peduli dengan harga murah. Orang miskin dijual. Anak-anak dijual. Perempuan dan laki-laki dijual. Kalau perlu isteri atau suami dijual. Diri-sendiri dijual. Harga diri dijual. Angin kentut jual! Air kencing jual! Jual semua, jangan ada yang tersisa. Jangan lupa Tuhan, jual! Sebab mereka hidup di pasar. Hanya nilai agama, kejujuran dan moral yang tak laku di pasar-pasar.

Sebulan kemudian ada berita: ”Komir meninggal di ruang tahanan.” Selanjutnya nasib Komir seperti Udin, semakin dilupakan. Sebab Udin dianggap bukan pendekar HAM seperti Munir. Udin bukan penyair aktivis seperti Wiji Thukul. Udin bukan pahlawan buruh seperti Marsinah. Tapi setidaknya Udin masih hidup di jiwa-jiwa yang menemaninya. Udin bukan koruptor atau pembalak hutan yang tenar dalam kematian moral, mati jiwa dalam ketakutan di lorong-lorong persembunyian.

Saya sebagai pengarang cerita ini berdoa, ”Semoga Tuhan tak menggerakkan tanganku untuk menulis: Mayat Komir juga dijual! Ya Allah, ampuni aku! Cerita rombeng (cerbeng) ini akan aku jual.....”

Ohya..., lantas batu akik di awal cerita itu ternyata milik polisi. Akik itu dibeli dari Pak Sularto yang biasa dagang akik di pengadilan. Itu bukan akik milik agen CIA yang sering keluyuran di sini dan meledakkan bom bersamaan dengan bom ikan. Biar ini nggak jadi ’cermus’ atau cerita misterius. ”Lha batu akik itu kini siapa yang menyimpan?” Ingat, ini negara pasar! Ya dijual! Langit mulai menjauh, kian meninggi dari bumi Atas Angan. Ia takut, bisa-bisa akan dijual penguasa Atas Angan, atau dijaminkan sebagai utang di IMF atau World Bank. Hanya matahari yang tak peduli. Ketika langit lenyap maka gunung-gunung es bumi akan mencair, menenggelamkan daratan. Di mana hari itu tak ada lagi tawaran bahtera dari Nuh. Tak ada lagi tongkat Musa yang membelahnya.

Sebab bahtera Nuh dan tongkat Musa tak akan mau datang di negeri pasar. Nanti akan dijual!


Kupersembahkan kepada terutama para pencuri dan pedagang asongan kekayaan negara
. (Surabaya, 24/11/2007).

22 November 2007

Masuk Negara Akibat Poligami

Sebuah cerkol = cerita konyol

MASUK NERAKA AKIBAT POLIGAMI

Antrian panjang pada Pengadilan Akhirat. Ada banyak orang kulihat dieksekusi, dilemparkan ke neraka, setelah diputus oleh Yang Maha Adil. Diantaranya: para koruptor (yang meskipun naik haji berkali-kali dan tekun beribadah ritual), para bekas petualang seks, ada banyak polisi, jaksa, hakim dan pengacara yang memperjual-belikan hukum, ada bekas para politikus yang perbuatannya menipu rakyat. Bahkan ada juga orang yang ibadahnya sempurna tapi masuk neraka gara-gara pelit kepada orang-orang miskin. Yang membuatku kaget, ternyata semua presiden di dunia masuk neraka, dan banyak ulama yang ternama juga masuk neraka karena ilmunya. Hanya ada satu orang diantara sejuta orang, yang masuk surga. Mayoritas manusia penghuni neraka.


Giliranku tiba. Tak perlu ada yang aku khawatirkan. Aku mempunyai begitu banyak harapan. Selama hidupku aku patuh menjalankan shalat, puasa, membayar zakat. Bahkan selama hidup aku sudah naik haji selama tigabelas kali. Aku juga berusaha keras menjaga perilaku kepada sesama hidup. Aku tidak merasa pernah punya musuh. Aku juga sudah memberi makan dan pakaian kepada Tuhan dengan cara memberi makan dan pakaian kepada orang-orang miskin. Lalu apa yang harus aku takuti?

“Malaikat! Seret orang ini ke neraka! Aku muak dengan tampangnya yang busuk itu!” Perintah Tuhan kepada malaikat. Aku tersentak. Dadaku serasa penuh.

“Ya Tuhanku Yang Maha Suci. Ampunilah hambaMu ini! Apakah kiranya kesalahan hamba?” tanyaku. Aku hampir saja menangis, tidak percaya dengan keputusan Tuhan itu. Alangkah bodohnya Tuhan, pikirku. Bagaimana Ia menilaiku? Aku merasa diperlakukan tidak adil.

“Ya Tuhan kami. Maafkan hamba! Hamba tidak bisa menyeretnya ke neraka, sebab hamba tidak bisa mendekati orang ini, karena baunya terlalu busuk,” kata malaikat itu. Kulihat ia mulai menutupi hidungnya dan membuang muka.

Aku memang merasakan bau busuk. Aku mencoba membau tanganku, bajuku dan kakiku. Benar, bau busukku sangat menyengat. Ternyata itu bauku sendiri. Perasaanku mulai gundah. Mengapa aku menjadi busuk?

“Ya Tuhan. Apakah kiranya kesalahanku di dunia?” tanyaku kembali.

“Kamu poligami,” jawab Tuhan.

Aku kaget dan heran dengan jawaban Tuhan tersebut. Bukankah hukumNya telah menghalalkan poligami? Bahkan, sebelum poligami aku sudah berkonsultasi dengan para ulama atau kyai. Mereka juga banyak yang poligami.

“Ya Tuhan, bukankah syariatMu menghalalkan kami para pria untuk berpoligami?”

“Ya betul. Tapi itu tidak berlaku dalam konteks hidupmu. Hakikatnya bukan seperti yang kamu lakukan. Kamu melakukannya hanya berdasarkan keinginanmu. Sebenarnya kamu adalah lelaki yang serakah dan kemaruk. Apakah kekurangan isteri pertamamu, sehingga engkau poligami?” tanya Tuhan.

Aku gelagapan, tidak siap untuk menjawab pertanyaan Tuhan tersebut. Kalau kupikir, isteri pertamaku memang cukupan. Sebagai seorang isteri ia telah berlaku baik. Aku tidak perlu memperkosanya ketika aku membutuhkannya. Bahkan, kalau kupikir-pikir isteri pertamaku terlalu penurut. Tapi, isteriku yang pertama hanya memberiku tiga anak laki-laki. Setelah itu ia dinyatakan dokter tidak boleh hamil lagi karena kelainan rahimnya.

“Ya Tuhan. Aku menginginkan anak perempuan, sedangkan isteri pertamaku tidak dapat melahirkan anak perempuan,” jawabku. Aku tidak memperoleh jawaban yang lebih tepat daripada itu.

“Kau harus tahu bahwa itu adalah ketetapanKu. Aku sudah memberimu kemampuan ekonomi, memberi isteri yang baik, serta memberimu anak-anak. Banyak orang yang tidak mempunyai anak. Tapi kamu masih merasa kurang. Kamu tidak bisa membohongiKu. Sebab keinginanmu mempunyai anak perempuan itu adalah setengahnya. Sedangkan setengahnya lagi, kamu memang mempunyai minat untuk kawin lagi. Bukankah begitu?”

Aku tidak bisa menjawab. Tuhan Maha Mengetahui, sekecil apapun pikiran dan perasaanku.

“Mungkin begitu ya Tuhan. Tapi, bukankah Paduka tidak menjelaskan secara rinci tentang halalnya poligami itu?” tanyaku mencoba membela diri.

“Di situlah letak kegoblokanmu sebagai manusia. Kamu sebenarnya sudah bisa berpikir bahwa hukumKu itu adalah untuk mengatasi suatu masalah atau perkara-perkara yang penting. Sesungguhnya kamu tidak mempunyai masalah apa-apa. Isteri keduamu juga tidak mempunyai problem apa-apa. Kalau kamu tidak mempunyai anak perempuan, itu bukanlah masalah. Tidak mempunyai anak laki-laki juga bukan masalah. Bahkan kalau otakmu waras, tidak mempunyai anak pun juga bukan masalah. Justru anak-anak dan harta kalian itu merupakan cobaanKu.”

“Lalu, poligami itu untuk memecahkan persoalan yang bagaimana ya Tuhan? Bukankah, dengan merumuskan hukum poligami itu maka seolah-olah Paduka memberi peluang kepada kami? Paduka adalah Tuhan yang Maha Mengetahui, sedangkan kami adalah manusia yang sedikit pengetahuan kami. Lalu, untuk apa hukum poligami itu ada?” Aku mencoba menyudutkan argumen Tuhan dengan pertanyaan itu.

“Goblok! Kau belajar hukum tidak melihat konteks, tapi hanya memahami arti teksnya saja. Kau boleh melakukannya jika dalam rangka menyelamatkan harkat kemanusiaan dan kelestarian generasi. Penduduk di negaramu sudah terlalu banyak dan banyak yang menjadi beban negara. Di jamanmu justru banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Sudah tidak ada lagi jalan penyelamatan harga diri perempuan melalui poligami, malah sebaliknya sekarang ini poligami menjadi alat penghinaan kaum perempuan. Aku menghukummu, sebab kau melakukan poligami atas dasar nafsu atau keinginan. Kau melukai perasaan isteri pertamamu yang telah turut berjuang membantu kehidupan keluargamu. Aku menciptakan perempuan bukan untuk pemuas keinginan laki-laki, tapi sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaranKu. Akuilah, bahwa perbuatanmu itu didasari keinginanmu!”

Aku tak kuasa lagi melihat Tuhan yang selalu membelakangiku. Hilang sudah harapanku untuk memasuki surga. Dari punggung Tuhan aku melihat diriku tercermin. Badanku manusia tapi kepalaku adalah kepala anjing dengan lidah yang menjulur dan nafasku terengah-engah.

“Malaikat! Cepat! Lemparkan anjing busuk ini ke neraka!” Tuhan berteriak. SuaraNya seperti guntur, memenuhi alam. Telingaku terasa pekak.

“Ampuni kami ya Tuhan! Bau manusia ini terlalu busuk! Bagaimana kami dapat mendekatinya?”

Tiba-tiba angin panas berhembus. Badanku ditarik oleh lidah api neraka. Aku menjerit-jerit dan melolong panjang. Tetapi, sebelum lidah api neraka melemparkanku ke dalam neraka, aku melihat isteri pertamaku berlari-lari memasuki ruang sidang. Suara tangisnya yang memanggil-manggilku menyebabkan lidah api neraka itu berhenti. Tubuhku terbakar di awang-awang. Alangkah lebih baik jika aku dimusnahkan saja atau tak pernah diciptakan daripada harus menahan derita.

“Ya Tuhan! Saya memohonkan ampun atas dosa-dosa suami saya. Saya memaafkannya ya Tuhan!” kata isteri pertamaku terbata-bata.

“Baiklah. Aku mengampuni dosa suamimu. Tapi bukan berarti suamimu harus enak-enakan bebas dari hukuman, sebab Aku ini Maha Adil. Ia telah menyebabkan deritamu oleh sebab ia menjalankan hukumKu bukan atas dasar pemikiran otak yang jernih, tapi atas dasar keinginan dan nafsunya.”

Maka lidah api neraka itupun segera melemparkan aku ke neraka.

Di dalam neraka aku bertemu dengan banyak laki-laki yang senasib denganku. Bahkan banyak diantara mereka adalah para kyai. Aku lihat mereka juga sama denganku, badan mereka manusia tapi kepala mereka adalah kepala anjing dengan lidah yang menjulur-julur.

Aku melihat kyai yang dahulu memberi konsultasi kepadaku tentang poligami. Meskipun kepala kami menjadi kepala anjing tapi di badan kami distempel nama masing-masing.

“Benarkah bapak adalah Kyai Hozam?” tanyaku.

“Oh, Anda ini Pak Sarmin ya?” laki-laki itu balik bertanya.

“Iya Kyai. Bagaimana kita ini Kyai, kok ternyata bernasib begini gara-gara poligami?” tanyaku, seolah-olah meminta pertanggungjawabannya.

“Ya beginilah. Ternyata hukum Tuhan tidak dapat ditafsirkan dengan suatu keinginan. Pikiran kita dilumuri nafsu,” jawab Kyai Hozam.

Tapi belum genap pembicaraan kami, lidah api menjulur dan membakar tubuh kyai itu. Ia menjerit-jerit. Kulihat ia menggelepar kehausan. Lidah api neraka membawakan cairan nanah panas dan dituangkan ke mulut kyai itu. “Ini hukuman untuk ilmu sesatmu yang dipenuhi nafsu!” terdengar suara keras memekakkan telinga.

Aku melihat Kyai Hozam dalam deraan siksa yang sangat berat. Maklum, sebab di dunia ia berpoligami sampai empat isteri. Akupun juga disiksa bertubi-tubi, tetapi lebih ringan. Mungkin karena isteriku hanya dua.

Sementara para perempuan yang menjadi korban poligami di pinggir surga menangis sambil menjatuhkan bunga-bunga dan makanan surga kepada para suami mereka di dalam neraka. Kulihat isteri pertamaku juga melakukannya. Tapi makanan dan bunga-bunga itu hangus terbakar api neraka sebelum sampai di tangan kami.

Entah berapa lama aku harus mendekam, terbakar api neraka. Tapi untungnya isteri pertamaku masih memaafkanku. Jika tidak, maka akan lebih lama lagi deritaku di neraka.

Jika aku kehausan maka yang kuminum adalah nanah mendidih yang membuatku semakin kehausan. Barangkali itulah gambaran manusia, jika dipenuhi nafsu dan keinginannya, maka selalu kurang dan kurang terus. Entah berapa lama aku terendam dalam penderitaan yang tak terkira di neraka. Rasanya jauh-jauh lebih lama dari umurku di dunia. Seolah-olah sudah ribuan tahun.

“Angkat manusia yang bernama Sarmin!” Suara menggema dari langit neraka. Betapa senangnya aku, sebab penderitaanku mungkin segera berakhir.

Para makhluk, mungkin utusan Tuhan, dengan baju hitam-hitam melemparkan aku ke dalam air pencucian. Mereka menggunakan masker, sebab bau penghuni neraka memang busuk-busuk. Selama satu jam aku dibolak-balik di dalam kolam pencucian. Kulihat para utusan Tuhan itu geleng-geleng kepala.

“Astaghfirullah! Bau busuk manusia ini tak dapat lenyap sempurna,” kata yang satu.

“Ya. Benar. Masih ada bau amisnya. Ya sudahlah, mungkin memang tidak dapat hilang. Kita serahkan saja kepada penjaga surga!” kata yang satunya lagi.

“Baiklah.”

Akhirnya aku diserahkan kepada malaikat penjaga surga. Kulihat isteri pertamaku melambai-lambaikan tangan di dalam surga yang indah. Tapi aku tidak melihat isteri keduaku. Konon, isteri keduaku menjadi jodoh lelaki lainnya, sebab ketika aku meninggal dunia ternyata ia menikah lagi.

“Tidak! Aku tidak mau dihuni oleh manusia ini. Aku tidak mau dihuni oleh para lelaki yang mudah poligami karena hasratnya adalah nafsu dan keinginan. Kelak para lelaki itu akan mengecewakanku! Jika mereka nanti melihat surga yang lebih indah, maka aku akan ditinggalkannya. Aku menolak manusia ini!” Suara itu adalah suara surga yang menolakku.

Para malaikat kebingungan. Aku bertambah cemas.

“Ya sudah, kita kembalikan ke neraka,” kata para malaikat.

“Tidak! Di sini juga sudah tidak dapat menerimanya!” kata neraka.

Alangkah malangnya aku. Mengapa alam membenciku?

(Surabaya, 10 Oktober 2004)

DEKLARASI SASTRA ANTIISME

Assalamu’alaikum


DEKLARASI SASTRA ANTIISME

Saya Subagyo, manusia dari jalanan, hidup di kolong-kolong sempit negara ini, yang tak pernah terbau oleh dunia sastra, dengan ini menggugat kemapanan sastra yang terlalu sibuk merangkai kata, frase dan kalimat estetik, bisu atau setidaknya bersuara tanpa lantang untuk melawan penindasan yang sedang terjadi sejak jaman penjajahan hingga jaman penjarahan. Yang besar menjarah yang besar-besar, yang kecil menjarah kecil-kecil, di negara perompakan ini.

Jika berani hai dunia sastra! Ayo kumpulkan kekuatan untuk merebut kembali kehormatan manusia Indonesia yang disembunyikan di ketiak para penguasa! Tunjukkan dirimu hai para pengecut! Jangan hanya koar-koar dalam tulisan kalian yang telah menjadi bahan dagangan! Berapa uang yang telah membeli kalian sehingga diam saja melihat penjarahan yang dipimpin oleh nikmat dalam kebajingan permusyawaratan perampokan?

Ini, aku hadirkan sastra gombale mukiyo!

- Ini SATIKEM: sastra anti pakem.

- Ini SATIYEM: Sastra anti ayem, jika ayem diperoleh dengan cara menggarong nasib orang.

- Ini SATIJO: Sastra anti joget, jika jogetnya tarian di atas penderitaan.

- Ini SATIMIN: Sastra anti pemimpin, jika pemimpin itu membiarkan bahkan menghancurkan nasib rakyat.

- Ini SATIJAN: Sastra anti janji, jika janji itu hanya omong kosong.

- Ini SATIPAN: sastra anti kemapanan, jika kemapanan itu dengan cara merobohkan pemukiman, menggunduli hutan, menenggelamkan ketentraman, mengusir orang-orang lemah terjebak kemiskinan.

- Ini SATIMAN: Sastra anti kemerdekaan, jika kemerdekaan itu untuk alat penindasan.

- Ini SATIBAN: Sastra anti kebebasan, jika kebebasan itu untuk alat penjajahan.

Di sini boleh ada Cerobong = cerita orang sombong, Cerbal = cerita gombal, Cermak = cerita bikin muak, Cerbung = cerita orang limbung, Ceropes = cerita orang protes, Ceruling = cerita urusan maling (termasuk korupsi), dan lain-lain, bebas dengan cara menghormati yang bisa dihormati, dan kalau melanggar kehormatan orang lain harus dipertanggungjawabkan. Dilarang menjadi pengecut, oportunis, jangan lari dari tanggung jawab!

Ada puijo = puisi gombal mukijo, puiyo = puisi gombale mukiyo, pupur = puisi gupak lumpur dan macam-macam.

Silahkan dicaci, silahkan dihujat, silahkan difatwa sesat, silahkan dituduh mencari sensasi, silahkan dibenam-benamkan ke dalam lumpur sampai hancur terkubur, tapi dilarang keras memuji-muji karya-karya sastra baru ini sebab tak ada satupun yang dapat dipuji! Boleh menganggapnya ’memuakkan’.

Wassalamu'alaikum

Surabaya, Jumat, 23 Nopember 2007

Pencuri Undang-undang Dasar

Sebuah cerobong = cerita orang sombong

Kuparkir sepeda motor di depan toko buku langgananku. Kulihat ada sesuatu yang kurang beres di toko buku itu. Banyak orang berkerumun di depannya, berebut untuk melihat sesuatu di dalam toko buku. Aku mendekati pintu masuk. Ada pencuri buku yang tertangkap, dipukuli penjaga toko dan aku belum tahu sebabnya.

Astaga! Orang yang babak belur tertangkap basah mencuri buku adalah Budi, teman seperjuangan di lembaga swadaya masyarakat (LSM), meski beda organisasi.

Kubelah kerumunan orang-orang di situ. “Kamu Bud! Kamu betul mencuri buku?” tanyaku. Aku tak percaya orang sebaik dia mau mencuri buku. Kukenal Budi adalah pemuda yang jujur.

“Ya. Aku curi undang-undang dasar ini. Sengaja! Kamu tahu membeli undang-undang dasar ini adalah perbuatan orang-orang sinting dan keterlaluan,” jawab Budi. Dia membuat jawaban yang membuatku harus berpikir tentang kewarasan otaknya. Aku tidak mengerti maksudnya, sebab kata-katanya itu tidak normal. Mungkinkah ia sedang mabuk?

Tak sempat banyak aku berbicara dengannya, Budi segera diamankan dan dibawa Polisi. Aku tidak jadi belanja buku. Aku masih tidak begitu percaya bahwa Budi mencuri buku. Aku ikuti mobil Polisi sampai ke kantor Polisi. Di kantor Polisi, Budi langsung dimasukkan kerangkeng besi alias sel. Sebuah tempat yang banyak ditakuti orang, sebab sejak jaman dahulu sel Polisi terkenal bukan sekedar tempat penahanan, tapi juga tempat penyiksaan di malam hari. Sebagai orang yang juga bekerja sebagai pengacara (advokat) sosial aku sering mendapatkan pengaduan soal itu.

“Bud. Kamu tidak benar-benar mencuri kan? Aku akan ke kantor sebentar, membuat surat kuasa, lalu datang ke sini lagi dan kamu tanda tangani! Aku bela kamu,” tawarku.

“Aku tidak perlu pengacara Bos! Aku bisa membela diriku sendiri. Kamu tidak tahu, mengapa aku mencuri buku undang-undang dasar itu? Kamu tidak tahu niatku! Sudah, kamu pulang saja! Lebih baik kamu urusi jual-beli hukum daripada kasusku ini!”

“He! Kamu tidak tahu, banyak orang mengeluh disiksa di tempat seperti ini. Kalau kamu tidak pakai pengacara, bisa habis kamu!”

“Hahahaha…. Kamu seperti baru kenal aku kemarin. Sudahlah! Mendingan belikan aku sekarang nasi bungkus dan es degan! Aku lapar.”

“Oke.” Aku segera keluar dan membelikan Budi makanan dan minuman.

“Sudah, minggat kau dari hadapanku!” bentak Budi sambil mulai menikmati makanan.

“Ah. Kamu tetap saja bengal! Baiklah, aku pergi. Tapi nanti sore aku akan datang menjengukmu.”

Sorenya aku datang lagi ke tempat Budi ditahan. Setelah aku marah-marah dan memaki-makinya maka barulah ia mau menandatangani surat kuasa. Aku sedikit lega, sebab aku bisa menjadi penasihat hukumnya.

Keesokan harinya di korang-koran muncul berita tentang pencurian itu. “Aktivis LSM mencuri buku Undang-undang Dasar.” “Pencuri buku hukum babak belur.” “Pencuri buku hukum ternyata aktivis.” Setidaknya ada tiga koran dengan judul berita seperti itu. Aku menjadi heran, mengapa pencurian kelas tempe bisa diliput banyak koran.

Aku mulai pekerjaan pembelaanku dengan mendatangani toko buku langgananku. Penjaga toko buku, yang sudah kenal denganku, mengatakan bahwa Budi tertangkap di toko buku itu karena ia berteriak-teriak, “Aku mencuri buku! Hai tangkap aku! Aku mencuri buku! Aku mencuri undang-undang dasar! Aku mencuri hukum!” Lalu, datang orang-orang yang memotret kejadian itu yang ternyata adalah para wartawan. Kemudian Budi mencoba melarikan diri. Ketika mau ditangkap penjaga toko buku itu, Budi melawan sehingga Budi dipukuli sampai babak belur. Begitu menurut keterangan penjaga toko buku dan keterangan itu dibenarkan oleh penjaga toko buku lainnya.

Kalau kejadiannya seperti itu, maka sudah cukup saksi adanya pencurian itu. Kupikir, tak ada lagi alasan untuk membebaskan Budi, sebab toh Budi juga mengakui bahwa ia benar-benar mencuri buku itu. Tetapi, setidak-tidaknya dengan adanya pengacara atau penasihat hukum yang mendampingi Budi, Polisi tidak akan berani menyiksa dan memeras keluarga Budi.

Tetapi bukan berarti kasus itu tidak bisa direkayasa. Kalau ada uang yang cukup, maka vonis di pengadilan pun bisa diatur. Meski aku juga seorang aktivis LSM, siapa bilang aku ini dijamin tidak terlibat dalam kebrengsekan hukum. Di negara ini terlalu banyak orang berkampanye tentang kejujuran, etika dan integritas, tetapi mereka yang berkampanye itu tidak dijamin tidak terlibat dalam kebejatan moral.

“Ibu tidak mempunyai apa-apa Nak, untuk membiayai perkara Budi. Almarhum ayah Budi tidak meninggalkan warisan apa-apa. Bahkan hidup Ibu sekarang ini lebih sering dibantu Budi,” kata ibu Budi.

Loh, saya tidak bermaksud meminta agar Ibu membiayai perkara Budi, Bu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Budi tidak perlu dikhawatirkan sebab nantinya hukumannya bisa diatur. Soal biaya, biar saya yang mengusahakan,” kataku.

“Kalau memang Budi benar-benar salah, ya biarkan dia menjalani hukuman yang semestinya to Nak! Tidak perlu mengatur perkara seperti itu dengan mengorbankan uang. Toh Nak Sarmin bisa mempergunakan uang itu untuk keperluan yang lebih penting. Bukankah selama ini Nak Sarmin sering mengeluh kewalahan mencari dana untuk kegiatan sosial di kantornya Nak Sarmin?”

Aku bermaksud membesarkan hati ibu Budi, tapi beliau malah menasihatiku macam-macam. Kadang-kadang aku berpikir bahwa aku mulai kehilangan idealisme. Itu merupakan masalah yang tidak sepele, yang bisa menghancurkan diriku sendiri dan orang lain.

------------------------------------------------------------------------------------

Kasus Budi akhirnya mulai diadili. Dalam pemeriksaan di pengadilan telah jelas-jelas bahwa Budi mencuri buku. Jaksa selaku Penunutut Umum menuntutnya dengan hukuman setahun penjara.

Ketika aku diberikan kesempatan untuk membuat nota pembelaan, aku kebingungan sebab tidak ada alasan hukum apapun yang bisa membebaskan Budi dari hukuman. Aku meminta waktu seminggu kepada hakimnya untuk menyusun pembelaan.

“Bos, terima kasih kamu sudah susah payah mendampingiku di setiap pemeriksaan perkaraku. Sudahlah, kamu tidak perlu susah-payah membuat nota pembelaan. Kamu tidak memahami keinginanku untuk merasakan nikmatnya penjara yang selama ini selalu dihindari para penjahat berduit. Aku akan melakukan pembelaan sendiri,” kata Budi yang setahuku tidak pernah menunjukkan rasa sedih.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kuurungkan niatku untuk menyuap hakim. Uang hasil menjual sepeda motorku akhirnya kumasukkan rekeningku.

Pikiranku mulai berjalan normal seperti halnya pikiran orang waras yang patut curiga dalam kasus itu. Dari awal aku mencurigai waktu kejadian pencurian di toko buku, apakah kebetulan bahwa tiba-tiba di sana ada banyak wartawan di toko buku itu yang meliput kejadian pencurian? Kedua, mengapa pada waktu melakukan pencurian Budi berteriak-teriak mengaku mencuri sehingga ia tertangkap basah? Ketiga, mengapa Budi sama sekali tidak merasa bersedih dalam menghadapi kasus itu?

Waktu seminggu untuk menyusun nota pembelaan, aku gunakan untuk menyelidiki kejanggalan itu. Dengan ijin ibunya, aku masuk ke kamar Budi dan meneliti seluruh fail di komputernya. Meski tidak ada fail yang kutemukan yang berkaitan langsung dengan perkara itu, aku menemukan tulisan Budi tentang mafia peradilan. Ternyata selama menjadi mahasiswa, Budi telah melakukan penelitian tentang dunia peradilan yang memang brengsek. Dalam tulisan buku yang dibuatnya, ia menuliskan moto: “Mencuri jelas lebih hina daripada membeli. Tapi membeli hukum lebih hina daripada mencuri.” Kupikir tulisan itu merupakan bahan yang berharga, bukan untuk tujuan membebaskan Budi, tetapi untuk mengetahui jalan pikirannya. Kalau pendapatnya seperti itu, lalu betapa gilanya kalau ia benar-benar melakukan pencurian, padahal mencuri itu juga perbuatan yang salah dengan resiko masuk penjara?

Berita-berita di koran yang membahas kasus pencurian Budi mulai kukliping dan aku tulis kode nama penulis alias wartawan yang menulisnya. Satu persatu aku telepon redaksi koran yang memberitakan dan wartawan yang menulis kasus Budi aku temui.

“Budi memintaku untuk menemui Anda. Budi meminta bantuan agar Anda semua menjadi saksi yang meringankan bahwa pencurian yang dilakukan Budi merupakan sebuah drama situasi untuk menyindir para pejabat dan aparat penegak hukum yang suka memperjualbelikan hukum.” Aku langsung mengatakan seperti itu, meski Budi tak pernah berkata seperti itu. Itu merupakan caraku sendiri.

“Jadi, Budi sudah menjelaskan semuanya kepada Mas Sarmin?” tanya salah satu wartawan.

“Sebab ia merasa berat hidup di sel tahanan,” jawabku.

“Hahaha…akhirnya, merasa berat juga dia. Nggak cocok dengan omongannya dahulu!” para wartawan itu tertawa-tawa semua.

Benar dugaanku bahwa Budi telah bersekongkol dengan para wartawan itu untuk membuat drama.

-------------------------------------------------------------

Tiba saatnya Budi menyampaikan pembelaannya sendiri. Ia berdiri, lalu menyampaikan pembelaan secara lisan, meniru gaya aktor film India.

“Majelis hakim yang aku tidak tahu terhormat atau tidak. Anda semua dengan saya adalah sama-sama warga negara yang diatur oleh hukum. Bedanya pada hari ini adalah: Anda yang mengadili saya dan saya menjadi orang yang salah. Saya memang bodoh, mengapa saya harus mencuri undang-undang dasar yang tak pernah bisa dimengerti maknanya oleh setiap orang di negara ini.

Konon katanya Pancasila yang ada di dalam pembukaan undang-undang dasar adalah sandaran moral dan sumber segala sumber hukum untuk adanya ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Tapi apa yang terjadi? Para penguasa di negara ini berebut harta kekayaan dan negara Pancasila ini akhirnya menjadi negara yang paling korup di dunia. Tidak hanya itu! Darah telah tertumpah di mana-mana, nyawa orang-orang kecil sama sekali tidak dihargai menjadi korban konflik kepentingan orang-orang atas, sementara orang-orang kaya dan para pejabat bisa leluasa membeli hukum. Lalu apa gunanya kalian membenci komunisme yang menurut pendapat kalian kejam?

Pancasila, agama, marxisme, sosialisme, komunisme dan apapun isme serta ajaran yang ada hanyalah ajaran. Seorang komunis yang jujur dan adil, jauh lebih baik dibandingkan dengan penganut Pancasila dan agamawan yang korup dan jahat kepada sesamanya. Alangkah ironisnya negara Pancasila ini sebab setiap hari ada transaksi ilegal di kantor-kantor pemerintah dan di setiap sudut ruangan bisnis. Hutan belantara pun tidak aman sebab telah banyak yang menjadi padang rumput dan semak serta menimbulkan bencana banjir karena perbuatan para penjahat yang bersekongkol dengan para pejabat yang mengaku sebagai penjaga hukum dan keadilan. Pancasila hanya kalian agungkan nama dan tulisannya, tetapi sebenarnya telah kalian injak-injak menjadi ideologi yang tak bernyawa.

Dan, apa artinya pencuri seperti saya ini? Untuk apa saya mencuri undang-undang dasar yang tak pernah dimengerti setiap orang di negara ini? Seolah-olah semua pemegang pemerintahan dan penegak hukum di negara ini adalah orang-orang yang bodoh, tidak memahami hukum dasar negaranya sendiri. Lalu untuk apa kalian dirikan gedung-gedung sekolahan dan kampus di mana-mana?

Para ahli hukum dari guru besar perguruan tinggi pun telah menjual dirinya untuk upaya meringankan para penipu, penggelap dan koruptor dengan membuat istilah “kesalahan administrasi” dan “utang piutang” padahal uang rakyat telah terkuras dan dibuat foya-foya para koruptor. Perbuatan korupsi dikatakan sebagai kesalahan administrasi. Menggelapkan uang dikatakan sebagai utang piutang. Guru besar seperti itu telah menjadi orang tolol sebab telah menggadaikan kewibawaan dan kejujuran ilmunya demi uang dan materi. Ada guru besar hukum yang mematok harga lima juta rupiah untuk setiap kehadirannya sebagai saksi ahli di sidang pengadilan. Itu sungguh harga yang murah dan mereka tidak sadar telah menjual profesinya sebagai kado keselamatan untuk para koruptor dan penjahat ekonomi yang telah sukses merobek-robek kekuatan ekonomi di negara ini.

Presiden di negara ini pun telah membiarkan kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikelola oleh orang asing sebagai konsekuensi utang uang kepada asing. Undang-undang dasar telah dianggap tulisan anak kecil yang tak perlu digubris, seolah-olah mereka tidak mengerti. Lalu, siapa yang diharap bisa mengerti isi undang-undang dasar? Alangkah tololnya aku telah mencuri undang-undang dasar di toko buku?

Wahai para hakim, jaksa dan pengacara pembelaku! Aku menyatakan menyesal telah mencuri, sebab yang kucuri adalah undang-undang dasar yang selama ini dicampakkan kebanyakan orang di negara ini. Kalau di negara para pencuri ini aku hanya mencuri barang yang disepelekan banyak orang itu, maka sama halnya aku mencuri barang rombeng. Lebih hebat orang yang bisa menjual satu atau dua pasal undang-undang dengan harga ratusan juta atau miliaran rupiah, sehingga bisa membangun kolam renang di dalam rumah yang megah hasil transaksi pasal dan hukuman.

Kalian para hakim, polisi, jaksa dan para pengacara, termasuk pengacara saya yang duduk di sidang ini, adalah orang-orang yang sangat hebat, sebab kalian telah ahli dalam memperjualbelikan hukum sehingga kalian bisa leluasa menikmati kemewahan yang didamba banyak orang. Berdagang hukum adalah pekerjaan utama kalian, dan menjadi penegak hukum adalah pekerjaan sampingan kalian.

Di sini saya tak perlu lagi bicara panjang lebar, sudah jelas bahwa saya adalah orang tolol yang salah dan Anda harus menghukum saya seberat-beratnya, karena saya telah mencuri yang berarti menjadi penyakit sosial. Tetapi saya minta, setelah Anda menghukum saya, maka hukumlah diri Anda sendiri yang telah mencuri hak-hak keadilan masyarakat dengan cara memperjualbelikan hukum. Sekian!”

Begitu Budi duduk, para pengunjung sidang serempak bertepuk tangan. Sidang pembelaan itu menjadi perhatian orang banyak.

“Yang Mulia. Saya selaku Penasihat Hukum terdakwa mohon diijinkan membacakan nota pembelaan, sebab saya kira pembelaan oleh terdakwa sendiri itu sudah keluar dari inti perkara ini. Tetapi sebelumnya, mohon sidang ini diijinkan untuk memeriksa saksi-saksi meringankan yang baru saja saya temukan. Saya yakin bahwa para saksi meringankan itu akan dapat mengubah persepsi kita tentang kasus ini.”

“Saya keberatan Yang Mulia. Permintaan Penasihat Hukum adalah hal yang tidak lazim menurut tertib hukum acara! Pemeriksaan saksi sudah selesai dan hari ini telah diagendakan acara pembacaan nota pembelaan. Kita harus konsekuen dengan acara yang telah disusun,” kata Jaksa sambil berdiri.

“Saya pikir bahwa hukum tidak menutup keadilan dengan cara yang kaku dan formal seperti itu. Kalau hari ini bisa diperiksa, mengapa harus menunggu adanya peninjauan kembali atas kasus ini kelak di kemudian hari. Itu hanya akan membuang waktu dan berarti peradilan kasus ini tidak tuntas dalam mengadili perkara ini,” sanggahku.

“Saya tetap berkeberatan Yang Mulia!” bantah Jaksa.

Para pengunjung sidang mulai gaduh. Mereka berteriak-teriak, “Kabulkan! Kabulkan! Kabulkan! Kabulkan …..! Periksa saksi!”

“Ayo! Periksa saja Bu Hakim! Kecuali jika pengadilannya sontoloyo!” teriak salah satu pengunjung sidang yang disambut dengan gelak tawa para pengunjung lainnya.

“Sudah! Sudah! Sudah! Saudara sekalian diminta tenang. Kalian ini tidak menghormati pengadilan!” kata ketua majelis hakim yang kebetulan perempuan itu sambil memukul-mukulkan palu di mejanya. Lalu majelis hakim itu mulai berunding. “Baiklah, silahkan hadirkan para saksi meringankan itu. Ini bukan karena tekanan kalian, tapi untuk lebih bisa menggali fakta dalam kasus ini,” kata ketua majelis hakim yang disambut tepuk tangan para pengunjung sidang.

Satu persatu saksi meringankan, yang tak lain adalah para wartawan yang telah bersekongkol dengan Budi untuk membuat skenario kasus itu, saya ajukan dan dimintai keterangan. Mereka semua menerangkan bahwa kasus pencurian di toko buku yang dilakukan oleh Budi adalah disengaja bukan untuk diniatkan mencuri tetapi untuk menuju pada pengadilan guna menyindir praktik peradilan sesat dan mental korupsi di negara ini. Sedangkan ancaman hukumannya telah diantasipasi oleh mereka. Jadi, kasus itu telah dirancang mereka, oleh Budi dan para wartawan itu.

Maka selanjutnya saya menyampaikan nota pembelaan bahwa perbuatan Budi bukanlah tindak pidana pencurian sebab motifnya bukan untuk memiliki buku yang diambil Budi, tetapi hanya sebagai sarana untuk menggerakkan proses peradilan dalam kasus tersebut dan Pengadilan adalah tujuan Budi untuk menyampaikan protesnya.

Dua minggu selanjutnya kasus itu diputus. Majelis Hakim berpendapat bahwa Budi telah bersalah, terlepas apapun motif pencurian itu, sebab jika Budi tidak dihukum maka setiap pencuri akan membuat argumen dan mengatur perkaranya seperti itu untuk upaya pembebasan dirinya. Budi dihukum lima bulan penjara dan ia tidak mau mengajukan banding.

Maka keesokan harinya, setelah putusan perkara tersebut, di koran-koran muncul berita tentang kasus tersebut. Anehnya, setiap koran itu membuat judul yang sama: “Pencuri Undang-undang Dasar Dihukum Lima Bulan Penjara”.

Kepalaku pusing memikirkan hal itu. Aku mulai kehilangan gairah untuk menjadi pengacara. Aku terlanjur menjadi pengacara yang dalam pandangan masyarakat selalu dipersepsikan sebagai pembela orang bersalah. Persepsi masyarakat itu secara normatif keliru sebab sesungguhnya pengacara dalam perkara pidana bertugas untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana agar tidak diperlakukan sewenang-wenang, tidak untuk merekayasa agar kliennya (yang jika benar bersalah) untuk dibebaskan dari hukuman. Tetapi melihat praktiknya persepsi tersebut menjadi benar, sebab jarang sekali pengacara, termasuk diriku, yang secara obyektif mengakui kesalahan kliennya.

Kalau saya menjadi hakim, pikiran saya lain. Seandainya saja saya menjadi hakim yang mengadili perkara Budi, maka saya akan menjatuhkan hukuman mati kepada Budi dengan alasan hukum bahwa ia tidak sekedar mencuri undang-undang dasar, tetapi telah melakukan pembunuhan secara berencana kepada rakyat negara ini secara keseluruhan. Dengan mencuri undang-undang dasar, maka ia telah merampas nafas hidup dan keadilan rakyat negara ini. Siapapun yang telah membunuh keadilan sosial, ia harus dihukum mati.

Kalau harus menuruti konsep penghukuman modern dalam Hukum Pidana dengan pembinaan, lalu bagaimana harus melakukan pembinaan kepada para penjahat yang merupakan orang-orang yang setiap hari telah bertugas membina masyarakat?

(Surabaya, 19 Oktober 2005)

21 November 2007

Aku Akan Menjadi Presiden (lumpur)

Sebuah cerbal = cerita gombal

Menjelang Subuh. Nafasku tersengal-sengal. Kujatuhkan saja pikulan kayu bakar dari pundakku. “Brakk!” Tubuhku yang kecil dan kurus seperti kain basah yang diperas. Mengapa? Gara-gara ibuku yang selalu ngudang[i] aku di waktu-waktu malam menjelang tidur, katanya besok kalau sudah besar aku akan menjadi pangon[ii] sapi, agar nantinya memperoleh upah sapi untuk bekal di hari tua.

Aku tidak terima dengan cita-cita ibuku itu. Masak, aku hanya akan menjadi penggembala sapi. Disuruh-suruh majikan membersihkan kotoran sapi di kandang, lalu disuruh mencari kayu bakar ke hutan, atau disuruh membantunya mencangkul di sawahnya. Pangon sapi tidak hanya dipekerjakan menggembala sapi, tapi diusuruh apasaja sesuai kehendak majikan. Itu eksploitasi tradisional. Meskipun jika beruntung kadang-kadang bisa pacaran dengan anak gadis majikan, tapi aku tidak mau membuang nasibku hanya menjadi gedibal orang kaya. Hanya saja, aku tidak membantah ucapan dan tembang kudangan[iii] ibuku itu. Dalam hati aku berkata, “Kelak aku akan menjadi presiden!” Itu bukan mimpi.

Setelah lelahku hilang, aku pikul lagi kayu bakar itu. Dengan susah-payah akhirnya sampailah aku di pasar yang jaraknya sekitar lima kilometer dari desaku. Kujajakan kayu bakarku di pinggir jalan. Setelah subuh habis dan matahari mulai mengintip di ufuk timur, kayu bakarku terjual. Alhamdulillah!

Dengan uang hasil menjual kayu bakar itu aku akan melawan cita-cita ibuku yang terlalu rendah menurutku. Dengan uang itu aku sekolah hingga dapat lulus SMP. Mungkin ibuku merasa kecewa atau rugi melihat aku yang telah remaja, tapi tidak segera memenuhi permintaannya untuk menjadi pangon. Tapi hatiku berkata, “Biyung.[iv] Sampeyan kelak akan senang, sebab aku akan menjadi presiden!”

Setelah lulus SMP, aku hampir putus asa. Merayu orang tuaku agar menyekolahkan aku, tapi mereka merasa tidak mampu karena memang miskin. Kalau hanya membayar uang SPP mungkin mampu. Tapi menurut kabar, banyak sekali pungutan di sekolah. Ada iuran BP3, ada uang ekstrakurikuler, iuran Pramuka, sumbangan-sumbangan insidentil yang dipaksakan, dan lain-lain. Bahkan kalau SPP dibebaskan pun, itu tidak terlalu menggembirakan bagi orang miskin seperti kami. Sekolahan di masa itu menjadi tempat pungutan liar yang dilegalkan.

Tapi kiranya Tuhan mendengar doaku. Guru sekolahku mencarikan orang tua asuh yang mau menyekolahkan aku. Ibuku berkata, “Sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa? Kamu tidak akan bisa menjadi pegawai, sebab katanya harus nyogok jutaan atau puluhan juta rupiah. Uang dari mana?” Tapi aku tetap meminta doa restu ibuku. Hatiku berkata, “Kalau Tuhan mengabulkan doaku, aku akan menjadi presiden. Sampeyan akan senang, Yung.”

Aku memang ingin menjadi presiden. Aku akan membawa ibuku bahagia. Terlalu lama ia menderita. Sejak umur 14 tahun ibuku telah menjadi penjaja keliling barang kelontong ke desa-desa yang jauhnya puluhan kilometer dengan menggendong barang dagangannya. Aku ingat sewaktu kecil, ketika ibuku sudah janda, ia membuka ladang di hutan sendiri dan mengolahnya sendiri. Banjir keringatnya dan linangan air matanya telah menjadi diriku, disamping darah dan air susunya.

Sedangkan bapakku hanya menjadi penyumbang sperma dan tidak pernah memperhatikan nasibku. Aku tidak perlu membenci bapakku. Bahkan kadang aku merindukannya. Tapi, jika kelak aku menjadi presiden, bukan karena bapakku, tapi atas jasa ibuku. Aku pun tak perlu tahu, di mana bapakku.

Selanjutnya, aku hidup di rumah keluarga yang menyekolahkanku itu. Aku sekolah SMA. Aku diberikan pendidikan sopan santun dalam pergaulan feodal Jawa. Aku bisa berbahasa krama inggil.[v] Yang tadinya aku minum langsung dari pancuran air kendhi, maka berubah dengan cara minum dengan gelas. Aku diberi pekerjaan mencuci baju, menyeterika, menyapu dan mengepel lantai, memasak, merawat ternak ayam dan itik dan sebagainya. Kemerdekaanku rasanya terampas sebab aku tak bisa secara bebas mengatur waktu untuk menghela nafas. Tapi, karena aku ingin menjadi presiden, maka penderitaan itu masih dapat kutahan.

Tapi akhirnya keadaan mengatakan lain. Aku merasa menjadi beban di keluarga itu setelah aku mengetahui yang sesungguhnya di keluarga orang tua asuhku. Bapak asuhku hanyalah pegawai negeri biasa yang gajinya tidak besar, sementara sang Ibu hanyalah ibu rumah tangga dengan sedikit dagangannya. Mereka harus menyekolahkan dua anak di perguruan tinggi dan satu di SMA negeri, satu di SMP negeri, serta aku di SMA swasta. Secara samar-samar aku mengetahui betapa sulitnya bagi sang Ibu untuk mengatur uangnya. Aku menangis, berpamitan pulang ke desa dan melepas SMA-ku yang masih kelas satu. Aku tidak mau menjadi beban orang lain yang kesusahan.

Aku tidak pernah putus asa, sebab aku akan menjadi presiden. Begitulah keyakinanku. Aku nekat mendaftarkan diri ke SMA negeri yang jauhnya sekitar tujuh belas kilometer dari desaku. Aku tempuh sekolah itu dengan mengayuh sepeda jengki. Tak kupedulikan masuk ke kelas dengan seragam yang basah oleh keringatku setiap hari. Perhitunganku adalah biayanya lebih murah dan aku dapat memperoleh biaya dengan kembali menjual kayu bakar. Aku jalankan semuanya itu.

Tapi rupanya ibuku melihat aku terlalu sibuk dengan kepentinganku sendiri untuk bisa sekolah. Ibuku iri melihat para tetangganya yang diringankan pekerjaannya sebab anak-anak mereka yang sebayaku bisa membantu mencangkul di ladang atau menjadi buruh pangon dan memperoleh upah. Aku menjadi sering berselisih paham dengan ibuku. Bagiku, rumah telah berubah menjadi neraka. Maka, aku putuskan untuk minggat dari rumah, pergi ke kota yang belum pernah kuinjak sebelumnya. Sejauh seratus kilometer lebih dari desaku. SMA-ku yang baru kelas satu pun kutinggalkan.

Di kota itu aku mondar-mandir mencari pekerjaan. Setelah berhari-hari menggelandang akhirnya aku dijual oleh seorang tukang becak kepada makelar buruh kasaran. Lalu oleh makelar itu aku dijual ke seorang majikan. Aku pun mulai bekerja menjadi kuli, bongkar-muat dan melayani pesanan barang dari para langganan majikanku. Aku bertanya kepada Tuhan, “Ya Tuhanku. Apakah bedanya pangon dengan kuli?” Seolah-olah Tuhan menjawab, “Pangon adalah pilihan ibumu, sedangkan kuli adalah pilihanmu sendiri! Keduanya sama. Sama-sama diperintah-perintah dan dieksploitasi majikan!” Lalu aku bertanya lagi, “Jika begitu, apakah masih ada peluang bagiku untuk menjadi presiden?”

Tuhan tidak menjawab pertanyaanku, tapi memberiku penyakit. Majikanku yang bertanggung jawab membawaku ke dokter, katanya aku hanya panas dalam. Tapi setelah sebulan aku menganggur di dalam kamar karena sakit, aku putuskan untuk pamit, pulang ke desa. Aku sadar bahwa aku ini adalah faktor produksi bagi usaha majikanku. Jika aku tidak produktif maka hanya menjadi beban yang dapat mengurangi laba usahanya.

Rupanya cita-citaku masih bertahan. Aku akan menjadi presiden. Maka aku harus kembali sekolah. Karena semangatku yang tak pernah mati itu, maka ada salah satu saudaraku yang memberikan jalan, yaitu: aku akan disekolahkan lagi oleh orang tua asuh. Karena calon orang tua asuhku tersebut adalah pejabat yang lumayan kaya, maka aku tidak kuatir bahwa aku hanya akan menjadi bebannya.

Dengan bersusah-payah menjadi gedibal[vi] akhirnya aku dapat lulus SMA. Bahkan beberapa bulan kemudian aku langsung memperoleh pekerjaan sebagai buruh pabrik, di perusahaan kapital asing yang cukup ternama. Ibuku di desa mulai mempunyai rasa bangga sebab aku mulai mengirimi uang kepadanya. Tak urung ia menceritakan kepada para tetangganya.

Aku tahu, bahwa bagi ibuku aku ini adalah seperti tanaman yang ditanamnya dan dirawatnya, agar kelak dapat diambil buah atau hasilnya.Yang lebih dari itu, ibuku mempunyai harapan agar aku dapat hidup mampu secara ekonomi ketika sudah kawin, mempunyai rumah, sawah dan ternak sapi.

Tapi aku masih belum menanggalkan cita-citaku, “Aku akan menjadi presiden!”

Belum genap setahun aku bekerja, aku kembali mengecewakan ibuku, sebab aku meminta bantuannya untuk menjual sapinya, untuk persiapan membayar uang kuliah. “Haaa! Kamu mau kuliah? Kowe ngimpi apa to Le?[vii] Mbok jangan ngelantur. Kita ini miskin! Kamu dengar apa tidak, Pak Suladi yang kaya itu harus menjual sawah-sawahnya, dan enam sapinya habis untuk membiayai anaknya kuliah? Toh, akhirnya anak Pak Suladi itu sekarang masih jadi pengangguran. Aku tidak setuju!”

Lalu aku menjelaskan kepada ibuku bahwa aku telah bekerja dengan gaji yang lumayan cukup, sedangkan anak Pak Suladi kuliah tidak sambil bekerja. Aku menjelaskan dengan angka-angka, membandingkan gaji dan biaya kuliah serta perhitungan biaya-biaya hidup. Bahkan, kalau aku bisa memperoleh beasiswa “kemiskinan” dari kampus, maka aku akan tetap bisa mengirimi ibuku uang. Aku meyakinkan ibuku, “Jika kelak aku berhasil menjadi sarjana dan jabatanku di perusahaan naik, maka gajiku sebulan bisa untuk membeli dua ekor sapi!” Ibuku pun mulai goyah, hingga akhirnya menyerah. “Aku akan menjadi presiden!” kata hatiku.

Aku mulai kuliah. Jadual kerjaku siang dan sore aku tukarkan dengan jadual kerja malam. Malam bekerja, siangnya kuliah. Kadang-kadang muncul pikiranku, bahwa aku diperbudak oleh cita-cita itu. Tapi bukankah banyak orang yang mencapai puncak kesuksesan setelah lebih dulu bersusah-payah. Maka aku tetapkan cita-citaku, “Aku akan menjadi presiden!”

Meskipun badanku kurus, mataku mengantuk, tapi otakku masih bisa berjalan normal. Aku menjadi salah satu dari duapuluh mahasiswa angkatanku yang dapat menjadi sarjana dengan waktu tiga setengah tahun. Aku dapat mematahkan cibiran para tetangga di desaku serta teman-temanku yang meremehkan aku. Mereka tidak tahu semangatku, “Aku akan menjadi presiden!”

Sayangnya, sebelum aku menyelesaikan kuliah, aku harus meninggalkan pekerjaanku di pabrik gara-gara kesulitan mengatur waktu ketika mulai mengerjakan skripsi. Jika ujian aku tidak perlu belajar, tapi mengerjakan skripsi harus menyediakan waktu. Ketika aku telah menjadi sarjana, aku belum mempunyai pekerjaan.

Setelah mengantongi ijasah sarjana, aku mulai melamar pekerjaan. Satu, dua, …seratus, … tigaratus, …enamratus, dan tak terhitung jumlahnya lamaran itu, tapi tidak ada yang berhasil. Jadilah aku sarjana pengangguran.

Ternyata, hidup di negara ini tidak mudah. Setelah aku menjadi sarjana, masih ada ribuan sarjana yang menganggur di negara ini. Sarjana di negara ini menjadi seperti barang yang tidak laku di pasaran. Satu jabatan dalam sebuah lowongan pekerjaan dilamar oleh ribuan sarjana. Tidak heran jika ada sarjana yang menjadi sales mainan anak-anak, sopir taksi atau angkot, buruh pabrik, kurir dan pekerjaan-pekerjaan sejenis itu, sebab memang para sarjana tidak mempunyai pilihan. Hanya para sarjana yang mempunyai mental baja yang mau melakukan pekerjaan apasaja asalkan halal. Bagi yang gengsian maka hanya bisa makan gengsinya.

Benar kata ibuku, untuk menjadi pegawai harus menyuap puluhan juta rupiah. Maka, kualitas sumber daya manusia pemerintahan di negara ini juga meragukan sebab rumus yang digunakan adalah: “Barangsiapa yang mempunyai banyak uang maka ia yang akan memperoleh pekerjaan dan jabatan di pemerintahan.” Suap-menyuap menjadi kebiasaan, korupsi menjadi tradisi. Bahkan Tuhan pun hanya dijadikan ornamen dinding-dinding ritual para penganut agama. Orang-orang berkata, “Masak, Tuhan pastilah akan mengerti, sebab memang keadaannya begini. Jadi, menyuap itu biasa.” Halal-haram telah menjadi hukum relativitas, tidak lagi absolut.

Aku memang kecewa, sebab cita-citaku menjadi presiden semakin tampak menjauh, telah sampai ke langit tujuh. Jangankan menjadi presiden, berkirim uang kepada ibuku saja kesulitan. Aku jarang pulang, sebab ketika pulang ibuku pasti mengeluh, “Aku malu Le. Para tetangga selalu bertanya, Sarmin sekarang sudah menjadi sarjana, bayarannya sudah banyak ya Yu?”[viii]

Aku miskin, telah menempuh perjuangan yang sangat berat, mengorbankan pikiran, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, menahan cibiran dan cemoohan banyak orang, telah mengecewakan ibuku. Gelar sarjanaku ternyata hanya menjadi beban hidup yang sangat panjang.

Masih ada sisa kenangan cita-cita untuk menjadi presiden. Mungkin aku mesti meraihnya dengan jalan lain. Ijasah sarjanaku dan foto-foto wisudaku aku bungkus kain kafan. Aku tidak boleh bergantung pada angan-angan. Pendidikan tinggi di negara ini tidak berguna untuk memperbaiki nasib hidup.

Aku aduk-aduk lemariku. Kucari pakaian yang agak kumal. Besok, pagi-pagi setelah subuh, aku akan mengorek-ngorek tempat sampah di depan rumah-rumah orang kaya. Aku akan menjadi pemulung sampah. Aku akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari pekerjaanku yang baru itu. Aku ingin membahagiakan ibuku.

Jika telah banyak uang, aku akan mendirikan partai politik. Mungkin dari cara itu aku akan menjadi presiden. Daripada aku hanya merenungi nasib, menjadi sampah!

Apapun keadaannya, cita-citaku tetap tidak berubah, “Aku akan menjadi presiden!” Aku pasti akan bisa pethenthang-pethentheng, senyum kanan, senyum kiri, tebar pesona! Bahkan kalau seandainya separoh negara ini terendam lumpur, aku tetap akan senyum kanan, senyum kiri. Yang penting aku presiden.

Republik Atas Angan ini akan aku juluki "Republik Lumpur Abadi!" Aku pasti akan tercatat dalam buku sejarah dunia dan mendapat hadiah nobel.



[i] Ngudang = menimang-nimang. Orang Jawa di desa biasanya ngudang anaknya yang seusia SD dengan cara memegang (maaf) kelaminnya sambil berkata-kata, misalnya, “Konthole iki nek wis gedhe pengin dadi apa ta? Dadi pangon ae ya?” (Kamu kalau sudah besar ingin jadi apa ta? Jadi penggembala saja ya?)

[ii] Pangon = buruh untuk menggembala ternak orang lain.

[iii]Kudangan = timangan, berkaitan dengan kata ngudang tersebut.

[iv]Biyung = Ibu. Yung = Bu.

[v]Krama inggil = bahasa Jawa tingkatan paling halus untuk alat komunikasi antara para ningrat atau orang biasa dengan ningrat (bersifat feodal).

[vi] Gedibal = tanah kotor yang menempel di kaki.

[vii] Kowe ngimpi apa ta Le? = Kamu mimpi apa ta Nak? Le = Thole = panggilan untuk anak laki-laki.

[viii]Yu dari kata Mbakyu = kakak perempuan. Atau sebutan untuk perempuan yang dituakan seperti kakak.