29 Oktober 2016

Roro Mendut Menolak Pabrik Semen dan Reklamasi

Pada jaman sekarang ini, apakah kamu pernah tahu di Indonesia ini ada bule Eropa yang bekerja menjadi tukang taman di negara ini? Tak ada. Tapi di jaman Mataram Islam dulu ada bule Portugis bernama Baron Sakeber yang menjadi tukang taman di Kadipaten (Kabupaten) Pati, Jawa Tengah, di masa pemerintahan Adipati Pragolo.

Tapi Baron Sakeber ini boleh dikata kurang ajar. Baron bercinta dengan seorang selir kesayangan Adipati Pragolo bernama Roro Mendut yang memang terkenal cantik.

Saya tak tahu apa yang ada di benak Roro Mendut. Apakah dia terpaksa menjadi selir Adipati Pragolo? Mungkin saja. Pada jaman dahulu para wanita banyak yang tak berdaya menghadapi dominasi kekuasaan pria, apalagi penguasa. Kalau jaman sekarang sih lain. Jaman sekarang ada banyak pria kaya yang sukses memetik daun-daun muda, bukan karena faktor paksaan, tapi pria kaya biasanya kelihatan ganteng di mata wanita modern. Ini realitas yang tak boleh membuat para pria miskin iri loh ya. Tapi itu wanita-wanita di luar negeri sana ya. Kalau di Indonesia ini nggak ada yang begituan.

Ataukah Roro Mendut sebagai perempuan serasa tak rela didua, tiga atau diempatkan? Ataukah…..maaf…… Roro Mendut mungkin penasaran rasa “genthalo” bule sehingga dia mau bercinta dengan Baron? Nah, saya tentu tidak tahu apa sebab Roro Mendut selingkuh dengan bule Portugis itu. Biarlah itu menjadi rahasia Roro Mendut sendiri.

Yang namanya enak dalam bercinta, kalau diterus-teruskan maka berbuahlah anak. Akhirnya ketahuanlah perselingkuhan Roro Mendut dengan Baron itu sehingga Baron dihukum mati bersama anak hasil buah cinta Mendut-Baron itu. Adipati Pragolo ini tega dan kejam sekali. Anak kecil yang tidak berdosa pun dihukum mati. Sayangnya waktu itu belum ada Komnas HAM dan lembaga perlindungan anak. Juga belum ada medsos. Kalau sudah ada medsos, bisa-bisa Adipati Pragolo dibully habis.  

Tapi Roro Mendut dimaafkan oleh Adipati Pragolo. Mungkin eman, karena Mendut itu cantik bahenol. Bisa-bisanya tak ada equality before the law  gara-gara orang cantik. Hukum tumpul ke orang cantik, tajam ke orang ganteng. Begitukah jaman itu? Kalau jaman sekarang, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tapi dalam kasus Wayan Mirna itu hukum tajam ke Jessica gara-gara Jessica pakai kacamata hitam yang didesain terang dan tangisnya nggak sampai keluar ingus.

Waktu pun berjalan dalam gerak yang lusuh di jaman penuh darah tertumpah. Adipati Pragolo memberontak kepada Maratam. Terjadilah perang antara Mataram melawan Pati. Tumenggung Wiroguno pemimpin pasukan tentara Maratam berhasil mengalahkan dan membunuh Adipati Pragolo yang terkenal kebal senjata tajam itu. Tapi sekebal-kebalnya orang pasti punya kelemahan. Orang kebal hukum pun lama-lama juga tumbang jika terus digempur.

Seperti biasa, jaman dahulu dalam peperangan itu perempuan di pihak yang kalah juga menjadi obyek rampasan perang. Roro Mendut pun menjadi rampasan perang Wiruguno. Dasar lelaki mata keranjang. Tahu kalau Roro Mendut itu sedep, Tumenggung Wiroguno juga naksir.

Lelaki itu rata-rata begitu. Kalau ada yang sok alim itu pura-pura saja. Lelaki itu kalau kaya, biasa punya perempuan di mana-mana. Para isteri banyak yang tak tahu itu. Kalau ada lelaki ganteng yang miskin, sukanya nggedabrus menipu para perempuan di sana-sini. Bahkan lelaki tahu kelemahan perempuan kelas menengah ke bawah yang suka diperistri polisi atau tentara, maka ada banyak tentara dan polisi gadungan yang memikat para perempuan. Setelah ditiduri dan diembat uangnya, ditinggal pergi. Maka meranalah para perempuan itu. Kasihan. Dunia ini kejam. Tapi kejadian begitu itu hanya ada di Kutub Utara sana, bukan di Indonesia. Kalau di Indonesia orangnya baik-baik semua.

Kembali ke nasib Roro Mendut. Tentu saja Roro Mendut menolak cinta Tumenggung Wiroguno, sebab kalau dalam kisah ketoprak Wiroguno itu bandot tua. Tapi sakti. Roro Mendut lebih tertarik dengan pengawal Tumenggung Wiroguno yang bernama Pronocitro, lelaki yang muda dan gagah, meskipun miskin.

Jadi Roro Mendut ini lengkap sudah kisah cintanya. Penah jadi istri bupati kaya (Adipati Pragolo), pernah bercinta dengan bule Portugis (Baron Sakeber), dan akhirnya bercinta dengan prajurit muda bernama Pronocitro. Di ujung jalan cintanya inilah Roro Mendut membuktikan bahwa dirinya mampu menolak kekuasaan lelaki, dan merdeka menentukan pilihannya. Ya mungkin karena dia sudah menjadi janda yang berpengalaman.

Roro Mendut hidup bersama Pronocitro. Tapi mereka tetap tak bisa merdeka seratus persen. Tumenggung Wiroguno menjatuhkan hukuman denda kepada mereka, padahal Roro Mendut dan Pronocitro tak punya uang. Akhirnya Roro Mendut dibantu Pronocitro berjualan rokok. Dalam kisah itu terkenal dengan teknik penjualan rokok yang dilakukan Roro Mendut dengan menjilat klobotnya, sehingga para lelaki berebut membeli rokok yang klobotnya habis dijilat perempuan cantik itu. Norak bener.

Pada waktu itu kedatangan VOC di Batavia menjadi musuh Mataram. VOC adalah korporasi BUMN asing dari Kerajaan Belanda yang mengajak kerjasama dagang secara paksa dengan raja-raja di Nusantara. Itulah penjajahan oleh korporasi pertama di dunia di masa kuno itu. Pada waktu itu VOC mempunyai tentara. Bukan seperti jaman sekarang korporasi menjajah dengan “meminjam” tentara negara yang dijajahnya.

Nah, Portugis melihat potensi perang antara VOC dengan Mataram, sehingga korporasi Portugis bernama Laseda mengutus seorang duta bernama Gustemo untuk bertemu Sultan Agung, menawarkan investasi untuk mendirikan pabrik semen di Kadipaten Pati yang telah dikuasai Mataram. Gustemo membuat presentasi tentang pentingnya Mataram membangun benteng-benteng  di sepanjang pulau Jawa untuk menghadapi VOC, sehingga dibutuhkan semen banyak.

Sultan Agung menyerahkan urusan proposal pendirian pabrik semen oleh Portugis itu kepada Tumenggung Wiroguno yang diserahi kekuasaan Kadipaten Pati. Maka mulailah dibangun pabrik semen di Kadipaten Pati.

Roro Mendut yang masih hidup di Kadipaten Pati melihat ada banyak orang Portugis yang membangun pabrik semen itu, ia jadi ingat pesan mendiang pacarnya Baron, pada saat ia hendak dihukum mati Adipati Pragolo, Baron memberikan sebuah kantong dan berpesan agar kantong itu jangan dibuka hingga kelak datang orang-orang Portugis di Kadipaten Pati. Maka Roro Mendut pun segera membuka kantong itu, yang ternyata berisi sepucuk surat.
Duhai rembulanku… Biarpun aku mati, tapi bukankah aku tetap hidup di dalam jiwamu? Aku akan mati membawa hidupmu menjadi bunga mimpiku di dalam tidur panjangku, hingga kelak kita bertemu…. Rembulanku….. ada satu hal yang harus kamu tahu… Kedatangan kaumku di negerimu hanyalah dalam rangka melipatgandakan kekayaannya dengan cara mengeruk dan merusak bumimu…  Tak ada bedanya dengan VOC…. Semoga kita segera bertemu!”  Air mata Roro Mendut meleleh.

Roro Mendut merobek-robek surat itu dan membuangnya. Ia khawatir kalau-kalau Pronocitro tahu surat itu. Bagaimanapun juga Baron adalah masa lalu yang ia telah berusaha melupakannya. Melupakan kenangan bersama Baron seperti melepas kuku dari jarinya. Terasa nyeri. Untungnya Pronocitro dapat mengobati nestapanya. Pronocitro bukanlah lelaki gombal yang cuma mau memacari dan meniduri tapi tak mau menikahi. Pronocitro lelaki yang tulus.

Maka Roro Mendut mulai mengumpulkan para perempuan Pati untuk membuat gerakan Tolak Pabrik Semen Pati. Para perempuan itu juga berjaring dengan para perempuan Batavia yang membuat gerakan Tolak Reklamasi Pantai Batavia Utara yang menjadi proyek VOC di bawah perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (JP Coen).

Sebagai manusia Roro Mendut merasa dirinya telah melewati masa-masa penderitaan panjang dan bergumul dosa-dosa. Ia ingin mengabdikan di sisa-sisa hidupnya untuk kemuliaan. Baginya, Ibu Pertiwi adalah amanat yang harus dijaganya. Surat Baron tak sekedar menggugah masa lalunya, tapi yang penting telah menggugah kesadarannya sebagai manusia.

Lebih baik Roro Mendut menjadi mantan orang berdosa, daripada menjadi mantan aktivis LSM yang dulunya berkoar-koar menolak pembangunan yang merusak ekologi, yang sekarang malah mendukung perusakan lingkungan dengan alasan yang dibuat-buat. Apalagi menyebarkan isu seolah-olah ada darurat rasis. Padahal ketidakadilan ekologi dan dominasi penguasaan sumber daya alam itulah yang akan mudah memicu konflik sosial. Sayangnya orang-orang bicara anti diskriminasi hanya mengurung pikirannya di soal etnis dan agama, tapi mereka melupakan soal ekonomi dan sosial, menempatkannya di luar tempurung kepalanya.

Gerakan Roro Mendut dan para perempuan jaringannya menjadi sangat terkenal militan sehingga memaksa pembatalan pembangunan pabrik semen di Pati. Sedangkan reklamasi di Pantai Utara Batavia tetap berjalan di bawah pengawasan tentara VOC yang kejam.

Sebelum berhasil menggagalkan reklamasi teluk Utara Batavia, Roro Mendut meninggal dunia di pangkuan Pronocitro di usia 57 tahun. Ketika mendengar Roro Mendut meninggal, Gubernur Jenderal Coen tertawa terbahak-bahak. Tapi setahun kemudian setelah serangan kedua prajurit Mataram ke Batavia, Gubernur Jenderal JP Coen meninggal dunia secara tragis akibat serangan sakit kolera yang menjadi wabah di Batavia. Nama Roro Mendut harum dikenang masa, tapi nama J.P.Coen dicatat sebagai gembong penjajah di Nusantara.