31 Januari 2008

Syair Bandit Kecil

Kemarin kita bertemu di Tanah Abang

Membicarakan berapa bagian masing-masing

Memang, tak ada perjanjian yang terang

Tapi bukankah kita ini saudara seanjing

Hidup di atas tikar etika yang miring

Dipimpin para imam bermata juling

Kemarin kita juga pergi ke Tugu Monas

Menyetubuhi perempuan tak berkelas

Sungguh nikmat beralas koran bekas

Sambil menertawakan derita tanpa batas

Hari ini, katanya kita menanggung dosa

Kita banyak dihina dan dicerca

Katanya, kelak kita akan masuk neraka

Baiklah, kita tak dapat membayar pengacara

Kita akan membela diri dengan asal bicara

Kita memang bandit

Tapi kita tidak pernah mengambil kredit

yang menjadikan nasib orang banyak sebagai agunan

sehingga menebarkan segala penderitaan

Kita yang menjadikan negara sebagai pelacur?

Kita yang membuat harga diri bangsa menjadi babak-belur?

Hai Tuhan yang memberi dosa!

Bagaimana Kau memberi makan pelacur jalanan?

Yang dengan tersedu-sedu telah menjual dirinya

Hanya untuk mempertahankan hidup yang Kau berikan

Hai Tuhan yang punya neraka!

Bagaimana kau memberi makan orang melarat?

Yang menahan derita dalam kejaran lapar

Hanya untuk mempertahankan hidup yang Kau berikan

Andainya saja negara ini tak dijadikan pelacur

Hidup kami tak perlu hancur

Besok kita akan bertemu di plasa-plasa

Untuk sedikit mencopet dompet orang kaya

Hanya untuk makan sekedarnya

Tidak sampai untuk bisa membeli sepeda

Apalagi sampai merugikan negara

Yah, kita mungkin tetap akan mencuri

Toh jika kita ditangkap para polisi

Kita tidak akan diadili oleh pengadilan tindak pidana korupsi

Tempat para bandit berdasi.

Jika kelak kita menjabat, kita juga korupsi.

Tanpa henti!

Surabaya, 23 Oktober 2004.

18 Januari 2008

Takaran Hidup

Takaran Hidup

Hati-hati,.. sibak sedikit rerimbun bunga itu..!
Jangan sampai daunnya rontok, atau tangkainya patah..!

Hela nafas, sentuh kedalaman udara
ya, benar kita tak bisa hidup tanpanya
berapa yang bisa kita rindu..
sebatas apa tirai tersentuh
padahal belum terbuka.

Kamu lupa dengan janjimu
untuk menengok aku di lembah berbatu
langitmu tertutup awan putih bergumpal
sorak-sorai para peri menjadi gemuruh hitam
bah tertumpah, aku tenggelam
aku masih hidup, tapi mendung masih hitam

Bunga yang kusayangi hanyut lenyap
Aku bisa menanamnya lagi yang baru, tapi harus menunggu
Kamu tak akan mampu menunggu
sebab kamu di belakangku, membatu.

Kedatanganmu di tempatku: lembah berbatu,
bukan karena kemauanmu, tapi sebab banjir itu.

Baiklah,... tinggal berapa hidup kita?
Mari kita takar dengan kaleng bekas tempat susu ini.
Bekas para ibu menipu bayi-bayinya.
Bekas para bapak yang menjadi panitia.
Panitia kehancuran dunia.

(Wah, bunga yang kutanam sudah bermekaran.
Aku akan menjaganya,
jangan ada yang menjadikannya penghias pusara.)

Berapa harga hidupmu per-kaleng susu 1.000 gram-an?
Ayo takarlah! Nanti kita tawarkan di pasar!
Hidupku gratis, jadi tak perlu kutakar.
Benar, aku (tidak) bohong.
Tanya bunga itu jika tak percaya!
Sebelum langit runtuh.
Atau tak perlu.
Tak perlu!
Tak ada gunanya bagimu.

Surabaya, 19/1/2008.