22 November 2007

Masuk Negara Akibat Poligami

Sebuah cerkol = cerita konyol

MASUK NERAKA AKIBAT POLIGAMI

Antrian panjang pada Pengadilan Akhirat. Ada banyak orang kulihat dieksekusi, dilemparkan ke neraka, setelah diputus oleh Yang Maha Adil. Diantaranya: para koruptor (yang meskipun naik haji berkali-kali dan tekun beribadah ritual), para bekas petualang seks, ada banyak polisi, jaksa, hakim dan pengacara yang memperjual-belikan hukum, ada bekas para politikus yang perbuatannya menipu rakyat. Bahkan ada juga orang yang ibadahnya sempurna tapi masuk neraka gara-gara pelit kepada orang-orang miskin. Yang membuatku kaget, ternyata semua presiden di dunia masuk neraka, dan banyak ulama yang ternama juga masuk neraka karena ilmunya. Hanya ada satu orang diantara sejuta orang, yang masuk surga. Mayoritas manusia penghuni neraka.


Giliranku tiba. Tak perlu ada yang aku khawatirkan. Aku mempunyai begitu banyak harapan. Selama hidupku aku patuh menjalankan shalat, puasa, membayar zakat. Bahkan selama hidup aku sudah naik haji selama tigabelas kali. Aku juga berusaha keras menjaga perilaku kepada sesama hidup. Aku tidak merasa pernah punya musuh. Aku juga sudah memberi makan dan pakaian kepada Tuhan dengan cara memberi makan dan pakaian kepada orang-orang miskin. Lalu apa yang harus aku takuti?

“Malaikat! Seret orang ini ke neraka! Aku muak dengan tampangnya yang busuk itu!” Perintah Tuhan kepada malaikat. Aku tersentak. Dadaku serasa penuh.

“Ya Tuhanku Yang Maha Suci. Ampunilah hambaMu ini! Apakah kiranya kesalahan hamba?” tanyaku. Aku hampir saja menangis, tidak percaya dengan keputusan Tuhan itu. Alangkah bodohnya Tuhan, pikirku. Bagaimana Ia menilaiku? Aku merasa diperlakukan tidak adil.

“Ya Tuhan kami. Maafkan hamba! Hamba tidak bisa menyeretnya ke neraka, sebab hamba tidak bisa mendekati orang ini, karena baunya terlalu busuk,” kata malaikat itu. Kulihat ia mulai menutupi hidungnya dan membuang muka.

Aku memang merasakan bau busuk. Aku mencoba membau tanganku, bajuku dan kakiku. Benar, bau busukku sangat menyengat. Ternyata itu bauku sendiri. Perasaanku mulai gundah. Mengapa aku menjadi busuk?

“Ya Tuhan. Apakah kiranya kesalahanku di dunia?” tanyaku kembali.

“Kamu poligami,” jawab Tuhan.

Aku kaget dan heran dengan jawaban Tuhan tersebut. Bukankah hukumNya telah menghalalkan poligami? Bahkan, sebelum poligami aku sudah berkonsultasi dengan para ulama atau kyai. Mereka juga banyak yang poligami.

“Ya Tuhan, bukankah syariatMu menghalalkan kami para pria untuk berpoligami?”

“Ya betul. Tapi itu tidak berlaku dalam konteks hidupmu. Hakikatnya bukan seperti yang kamu lakukan. Kamu melakukannya hanya berdasarkan keinginanmu. Sebenarnya kamu adalah lelaki yang serakah dan kemaruk. Apakah kekurangan isteri pertamamu, sehingga engkau poligami?” tanya Tuhan.

Aku gelagapan, tidak siap untuk menjawab pertanyaan Tuhan tersebut. Kalau kupikir, isteri pertamaku memang cukupan. Sebagai seorang isteri ia telah berlaku baik. Aku tidak perlu memperkosanya ketika aku membutuhkannya. Bahkan, kalau kupikir-pikir isteri pertamaku terlalu penurut. Tapi, isteriku yang pertama hanya memberiku tiga anak laki-laki. Setelah itu ia dinyatakan dokter tidak boleh hamil lagi karena kelainan rahimnya.

“Ya Tuhan. Aku menginginkan anak perempuan, sedangkan isteri pertamaku tidak dapat melahirkan anak perempuan,” jawabku. Aku tidak memperoleh jawaban yang lebih tepat daripada itu.

“Kau harus tahu bahwa itu adalah ketetapanKu. Aku sudah memberimu kemampuan ekonomi, memberi isteri yang baik, serta memberimu anak-anak. Banyak orang yang tidak mempunyai anak. Tapi kamu masih merasa kurang. Kamu tidak bisa membohongiKu. Sebab keinginanmu mempunyai anak perempuan itu adalah setengahnya. Sedangkan setengahnya lagi, kamu memang mempunyai minat untuk kawin lagi. Bukankah begitu?”

Aku tidak bisa menjawab. Tuhan Maha Mengetahui, sekecil apapun pikiran dan perasaanku.

“Mungkin begitu ya Tuhan. Tapi, bukankah Paduka tidak menjelaskan secara rinci tentang halalnya poligami itu?” tanyaku mencoba membela diri.

“Di situlah letak kegoblokanmu sebagai manusia. Kamu sebenarnya sudah bisa berpikir bahwa hukumKu itu adalah untuk mengatasi suatu masalah atau perkara-perkara yang penting. Sesungguhnya kamu tidak mempunyai masalah apa-apa. Isteri keduamu juga tidak mempunyai problem apa-apa. Kalau kamu tidak mempunyai anak perempuan, itu bukanlah masalah. Tidak mempunyai anak laki-laki juga bukan masalah. Bahkan kalau otakmu waras, tidak mempunyai anak pun juga bukan masalah. Justru anak-anak dan harta kalian itu merupakan cobaanKu.”

“Lalu, poligami itu untuk memecahkan persoalan yang bagaimana ya Tuhan? Bukankah, dengan merumuskan hukum poligami itu maka seolah-olah Paduka memberi peluang kepada kami? Paduka adalah Tuhan yang Maha Mengetahui, sedangkan kami adalah manusia yang sedikit pengetahuan kami. Lalu, untuk apa hukum poligami itu ada?” Aku mencoba menyudutkan argumen Tuhan dengan pertanyaan itu.

“Goblok! Kau belajar hukum tidak melihat konteks, tapi hanya memahami arti teksnya saja. Kau boleh melakukannya jika dalam rangka menyelamatkan harkat kemanusiaan dan kelestarian generasi. Penduduk di negaramu sudah terlalu banyak dan banyak yang menjadi beban negara. Di jamanmu justru banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Sudah tidak ada lagi jalan penyelamatan harga diri perempuan melalui poligami, malah sebaliknya sekarang ini poligami menjadi alat penghinaan kaum perempuan. Aku menghukummu, sebab kau melakukan poligami atas dasar nafsu atau keinginan. Kau melukai perasaan isteri pertamamu yang telah turut berjuang membantu kehidupan keluargamu. Aku menciptakan perempuan bukan untuk pemuas keinginan laki-laki, tapi sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaranKu. Akuilah, bahwa perbuatanmu itu didasari keinginanmu!”

Aku tak kuasa lagi melihat Tuhan yang selalu membelakangiku. Hilang sudah harapanku untuk memasuki surga. Dari punggung Tuhan aku melihat diriku tercermin. Badanku manusia tapi kepalaku adalah kepala anjing dengan lidah yang menjulur dan nafasku terengah-engah.

“Malaikat! Cepat! Lemparkan anjing busuk ini ke neraka!” Tuhan berteriak. SuaraNya seperti guntur, memenuhi alam. Telingaku terasa pekak.

“Ampuni kami ya Tuhan! Bau manusia ini terlalu busuk! Bagaimana kami dapat mendekatinya?”

Tiba-tiba angin panas berhembus. Badanku ditarik oleh lidah api neraka. Aku menjerit-jerit dan melolong panjang. Tetapi, sebelum lidah api neraka melemparkanku ke dalam neraka, aku melihat isteri pertamaku berlari-lari memasuki ruang sidang. Suara tangisnya yang memanggil-manggilku menyebabkan lidah api neraka itu berhenti. Tubuhku terbakar di awang-awang. Alangkah lebih baik jika aku dimusnahkan saja atau tak pernah diciptakan daripada harus menahan derita.

“Ya Tuhan! Saya memohonkan ampun atas dosa-dosa suami saya. Saya memaafkannya ya Tuhan!” kata isteri pertamaku terbata-bata.

“Baiklah. Aku mengampuni dosa suamimu. Tapi bukan berarti suamimu harus enak-enakan bebas dari hukuman, sebab Aku ini Maha Adil. Ia telah menyebabkan deritamu oleh sebab ia menjalankan hukumKu bukan atas dasar pemikiran otak yang jernih, tapi atas dasar keinginan dan nafsunya.”

Maka lidah api neraka itupun segera melemparkan aku ke neraka.

Di dalam neraka aku bertemu dengan banyak laki-laki yang senasib denganku. Bahkan banyak diantara mereka adalah para kyai. Aku lihat mereka juga sama denganku, badan mereka manusia tapi kepala mereka adalah kepala anjing dengan lidah yang menjulur-julur.

Aku melihat kyai yang dahulu memberi konsultasi kepadaku tentang poligami. Meskipun kepala kami menjadi kepala anjing tapi di badan kami distempel nama masing-masing.

“Benarkah bapak adalah Kyai Hozam?” tanyaku.

“Oh, Anda ini Pak Sarmin ya?” laki-laki itu balik bertanya.

“Iya Kyai. Bagaimana kita ini Kyai, kok ternyata bernasib begini gara-gara poligami?” tanyaku, seolah-olah meminta pertanggungjawabannya.

“Ya beginilah. Ternyata hukum Tuhan tidak dapat ditafsirkan dengan suatu keinginan. Pikiran kita dilumuri nafsu,” jawab Kyai Hozam.

Tapi belum genap pembicaraan kami, lidah api menjulur dan membakar tubuh kyai itu. Ia menjerit-jerit. Kulihat ia menggelepar kehausan. Lidah api neraka membawakan cairan nanah panas dan dituangkan ke mulut kyai itu. “Ini hukuman untuk ilmu sesatmu yang dipenuhi nafsu!” terdengar suara keras memekakkan telinga.

Aku melihat Kyai Hozam dalam deraan siksa yang sangat berat. Maklum, sebab di dunia ia berpoligami sampai empat isteri. Akupun juga disiksa bertubi-tubi, tetapi lebih ringan. Mungkin karena isteriku hanya dua.

Sementara para perempuan yang menjadi korban poligami di pinggir surga menangis sambil menjatuhkan bunga-bunga dan makanan surga kepada para suami mereka di dalam neraka. Kulihat isteri pertamaku juga melakukannya. Tapi makanan dan bunga-bunga itu hangus terbakar api neraka sebelum sampai di tangan kami.

Entah berapa lama aku harus mendekam, terbakar api neraka. Tapi untungnya isteri pertamaku masih memaafkanku. Jika tidak, maka akan lebih lama lagi deritaku di neraka.

Jika aku kehausan maka yang kuminum adalah nanah mendidih yang membuatku semakin kehausan. Barangkali itulah gambaran manusia, jika dipenuhi nafsu dan keinginannya, maka selalu kurang dan kurang terus. Entah berapa lama aku terendam dalam penderitaan yang tak terkira di neraka. Rasanya jauh-jauh lebih lama dari umurku di dunia. Seolah-olah sudah ribuan tahun.

“Angkat manusia yang bernama Sarmin!” Suara menggema dari langit neraka. Betapa senangnya aku, sebab penderitaanku mungkin segera berakhir.

Para makhluk, mungkin utusan Tuhan, dengan baju hitam-hitam melemparkan aku ke dalam air pencucian. Mereka menggunakan masker, sebab bau penghuni neraka memang busuk-busuk. Selama satu jam aku dibolak-balik di dalam kolam pencucian. Kulihat para utusan Tuhan itu geleng-geleng kepala.

“Astaghfirullah! Bau busuk manusia ini tak dapat lenyap sempurna,” kata yang satu.

“Ya. Benar. Masih ada bau amisnya. Ya sudahlah, mungkin memang tidak dapat hilang. Kita serahkan saja kepada penjaga surga!” kata yang satunya lagi.

“Baiklah.”

Akhirnya aku diserahkan kepada malaikat penjaga surga. Kulihat isteri pertamaku melambai-lambaikan tangan di dalam surga yang indah. Tapi aku tidak melihat isteri keduaku. Konon, isteri keduaku menjadi jodoh lelaki lainnya, sebab ketika aku meninggal dunia ternyata ia menikah lagi.

“Tidak! Aku tidak mau dihuni oleh manusia ini. Aku tidak mau dihuni oleh para lelaki yang mudah poligami karena hasratnya adalah nafsu dan keinginan. Kelak para lelaki itu akan mengecewakanku! Jika mereka nanti melihat surga yang lebih indah, maka aku akan ditinggalkannya. Aku menolak manusia ini!” Suara itu adalah suara surga yang menolakku.

Para malaikat kebingungan. Aku bertambah cemas.

“Ya sudah, kita kembalikan ke neraka,” kata para malaikat.

“Tidak! Di sini juga sudah tidak dapat menerimanya!” kata neraka.

Alangkah malangnya aku. Mengapa alam membenciku?

(Surabaya, 10 Oktober 2004)

Tidak ada komentar: