14 Maret 2008

Cerpen: Pemerkosaan Di Negara Atas Angan

Hanya segumpal awan yang tampak, makanya tak mampu menghadang terik matahari yang membakar siang galau. Di Kepolisian Negara Atas Angan, perempuan separoh baya bernama Partiwi sedang melaporkan peristiwa perkosaan atas dirinya.

“Siapa yang memperkosa Ibu? Di mana, jam berapa, hari apa, ada berapa orang, apa Ibu kenal mereka, ciri-cirinya bagaimana ..... ?” Polisi penyidik memberondong pertanyaan sambil sekali-kali berkacak pinggang memamerkan kegagahan.

“Banyak. Mulanya tampak manusia yang pernah kulihat meski aku tak kenal. Tapi begitu mencengkeram dan menggilir tubuhku, mereka menjadi anjing dan babi-babi dengan,... ah ....” Terhenti. Partiwi ingat mulut anjing-anjing dan babi-babi yang memperkosanya berlumuran air liur busuk yang menetes-netes.

“Ayo dong Bu! Jangan bergurau! Kerjaan saya banyak, bukan melayani Ibu saja! Jangan ngarang cerita seperti film horo ah!” Penyidik itu marah-marah sambil mondar-mandir. Tak lupa membuang puntung rokok, peracun manusia yang diperdagangkan itu.

“Lha memang begitu Pak. Saya tidak bohong.”

“Ah! Jaman modern masih ada klenik seperti itu? Lagipula hukum berlaku untuk manusia, tak bisa digunakan menjerat anjing dan babi!” Polisi itu meninggalkan Partiwi tanpa pamit.

Setengah jam Partiwi menunggu polisi itu kembali. “Gimana? Ibu masih mau cerita seperti itu lagi?” tanya polisi itu agak sinis.

“Okelah Pak kalau Bapak nggak percaya!” Partiwi membuka bajunya di dalam kantor polisi itu. Semua orang di dalam ruangan itu tersedot oleh pemandangan tubuh Partiwi yang penuh luka dan bopeng-bopeng.

“Oke,oke, oke ... cukup Bu!” bentak penyidik itu.

“Bagaimana?” tanya Partiwi.

“Meskipun leher Ibu putus, tapi kalau yang memutuskan anjing dan babi, undang-undang tak bisa menjerat anjing dan babi. Hukum hanya bisa menghukum manusia. Hukum tak bisa menghukum binatang! Kalau mau dipaksakan, hakim pasti akan membebaskan binatang! Saya sudah jelaskan dan Ibu tetap tak paham!”

***

Gagal usaha Partiwi kali ini.. Ia sendiri. Kadang-kadang ada gerombolan anak-anak yang peduli, berdemo mendukung Partiwi yang dahulu memang dikenal dermawan. Tapi disorot media massa, diistilahkan: “Pendemo dadakan. Tak ada yang mendanai maka hanya demo sepotong!”

Partiwi mendatangi gedung parlemen Atas Angan agar memperjuangkan nasibnya. Tapi gedung itu juga mulai dipenuhi dengan manusia-manusia berkepala babi dan anjing. Tak ada lagi tema soal perkosaan Partiwi di dalam gedung parlemen seperti yang pernah ada sejak pengaduan Partiwi. Konon ada Raja Anjing dan Jenderal Babi yang datang ke gedung parlemen membawa berkarung-karung upeti. Kalau para anggota parlemen Atas Angan kepalanya berubah menjadi anjing dan babi, mungkin saja tertular virus Raja Anjing dan Jenderal Babi yang konon dahulunya juga manusia biasa. Partiwi mulai paham bahwa para pemerkosa dirinya ternyata dilindungi Raja Anjing dan Jenderal Babi.

Tak ada kata putus asa. Partiwi membawa kasusnya ke Pengadilan Pusat Atas Angan. Ia berharap ada sisa manusia sejati, hakim yang imun, yang tak akan terserang virus keanjingan dan kebabian yang kini mulai merebak di negara Atas Angan. Sayangnya hanya beberapa orang yang bisa melihat itu. Bahkan para dokter juga mulai tertular.

Sidang pertama gugatan Partiwi digelar. Tergugatnya adalah Kepala Negara Atas Angan yang dianggapnya tak mampu mengamankan negara sehingga Partiwi menjadi korban pemerkosaan manusia-manusia tertular penyakit keanjingan dan kebabian. Gugatan juga meminta agar Kepala Negara Atas Angan memerintahkan Kepolisian mengusut kasus pemerkosaan terhadap Partiwi.

Namun Partiwi mulai ragu, sebab ia melihat seorang hakim anggota majelis, panitera dan pengacara Negara Atas Angan juga tampak berkepala babi. Ia juga melihat lalu-lalang para petugas pengadilan dan para pengacara yang berkepala anjing dengan ciri khas mulut berlelehan air liur.

“Saudari Penggugat kami ingatkan. Yang memperkosa Saudari, yang Saudari sebut di surat gugatan ini adalah manusia-manusia yang berubah menjadi anjing dan babi. Lalu Saudari menggugat Kepala Negara. Nanti jangan-jangan kalau Saudari kehilangan celana dalam maka Kepala Negara juga akan Anda gugat?” serang pengacara Negara sambil tersenyum-senyum. Tak pelak pengunjung sidang tertawa terbahak-bahak.

“Tenang! Tenang!” bentak Ketua Majelis Hakim. “Nanti Saudara kuasa hukum Kepala Negara punya waktu menjawab gugatan. Kami tidak mengijinkan ini dijadikan bahan guyonan!” Ketua Hakim memalu meja sidang dengan keras, suaranya hendak meruntuhkan tembok pengadilan. Ruang sidang pun senyap.

“Kami memberi waktu untuk mediasi. Apakah Penggugat dengan Tergugat mau memilih mediator dari luar, atau yang disediakan pengadilan ini?” tanya Ketua Hakim.

“Maaf Yang Mulia. Kami hanya mau berdamai kalau gugatan itu dicabut. Itu saja,” jawab pengacara Negara.

“Saya juga tak akan mencabut gugatan Pak Hakim!” sergah Partiwi.

“Baik, kalau begitu berarti ini tak ada peluang perdamaian? Tapi kami memberi waktu dua minggu agar kalian berunding. Kalau bisa selesaikan secara perdamaian. Pak Pengacara, Anda jangan buru-buru begitu! Konsultasikan dengan Kepala Negara dulu!” saran Ketua Hakim.

Empat bulan peradilan gugatan Partiwi berjalan. Terakhir koran-koran membuat judul berita yang macam-macam. Ada judul “Pengacara Negara Mati Kutu!” Ada yang membuat judul: “Pengacara Negara Dinasihati Hakim.” Ada judul “Kepala Negara Diambang Kekalahan!” “Partiwi Mendapatkan Keadilan.” Dan lain-lain. Semua itu membuat Partiwi agak lega. Jika gugatannya dimenangkan, berarti pemerintah Atas Angan akan diperintahkan pengadilan agar menyelidiki dan mengusut serta menghukum para pemerkosa Partiwi.

Sidang putusan digelar. Partiwi duduk di kursi Penggugat dengan dada berdegup kencang. Majelis Hakim masuk ruangan dan duduk di kursi kekuasaan mereka. Dada Partiwi mulai sesak. Jika dahulu ia melihat ada satu hakim yang berkepala babi, kini ia melihat semua anggota dan Ketua Hakim berkepala babi. Itu tanda-tanda kekalahannya. Benar, akhirnya gugatan Partiwi dinyatakan tidak diterima dengan alasan bahwa Kepala Negara Atas Angan tidak boleh digugat dalam kasus perkosaan. Yang boleh digugat hanyalah para pemerkosanya. Padahal yang digugat Partiwi adalah soal tanggung jawab negara dalam mengamankan rakyat serta penolakan Kepolisian Atas Angan untuk menyidik kasusnya.

Konon, ada para utusan Raja Anjing dan Jenderal Babi yang datang ke masing-masing rumah para hakim yang mengadili gugatan Partiwi, membawa upeti. Lagi-lagi terjadi penularan virus penyakit keanjingan dan kebabian.

***

Beberapa anak muda menjenguk Partiwi yang tergolek di atas tempat tidur. Suhu badannya semakin panas. Luka-luka dan bopeng-bopeng tubuh Partiwi tak terobati, sebab setiap dokter yang didatangi berkepala babi dan anjing. Rambut Partiwi semasa muda lebat, anggun dan sejuk dipandang. Kini mulai rontok-rontok dan kulit kepalanya tampak di sana-sini.

Langit seolah tahu kesedihan itu sehingga mulai retak-retak. Kawanan awan yang biasanya riang menghantarkan hujan kini sering menangis dan kadang-kadang melenyapkan diri ke dalam angin puting beliung yang memporak-porandakan rumah-rumah penduduk. Angin pun tak seramah dahulu. Udara mulai muram. Tanah-tanah enggan menumbuhkan benih-benih yang ditanam para petani. Api sering marah berkobar menghanguskan rumah-rumah, gedung, sebab sering disuruh melalap hutan.

“Anak-anak, jika saja di bumi ini semakin dipenuhi manusia-manusia anjing dan babi akibat virus penyakit keanjingan dan kebabian itu, maka bukan aku saja yang akan seperti ini. Setiap Partiwi di muka bumi ini akan menderita seperti ini. Akan banyak Partiwi menjadi korban pemerkosaan. Kalian pun kelak jika tidak tertular penyakit itu, juga menjadi korban seperti ini. Aku ingin para pemerkosaku itu ditangkap dan dihukum agar tak ada lagi kejahatan seperti itu. Namun ternyata justru para penegak hukumnya sendiri telah tertular virus keanjingan dan kebabian. Maka mereka juga menjadi bagian dari pemerkosa itu.” Tubuh Partiwi yang semasa muda tampak molek dan indah, kini terlihat kurus layu.

Partiwi tersenyum pahit, memandang anak-anak muda yang membesuknya. Tiba-tiba sinar kemilau datang dari langit mengangkat tubuh Partiwi. Partiwi melebur ke dalam sinar itu, membias, memencar, bersatu dengan alam. Hari itu adalah hari kemoksaan Partiwi, ketika gunung-gunung es di kutub bumi mulai bergeser dan iklim mengalami kekacauan, bencana alam muncul di mana-mana. Panas tubuh Partiwi menjadi pertanda semakin panasnya bumi, ketika banyak manusia yang menderita penyakit keanjingan dan kebabian dengan nafsu birahi kekayaan, kekuasaan yang semakin berkobar-kobar, merontokkan gunung-gunung, memporak-porandakan isi tanah, menyemburkan lumpur panas, menumbangkan pepohonan hutan yang menjaga ketentraman mata air yang bening, menumpahkan racun nafsu ke sungai-sungai hingga mengalir ke laut. Hukum yang dibuat tak mampu mencegahnya sebab hukum tak berlaku bagi anjing dan babi.

Bumi bergolak, meronta, tak sekedar meraung dalam tangis, tapi menjerit pilu. Semakin lama semakin tak ada manusia. Bumi semakin dipenuhi anjing dan babi. Kelak, bumi akan tergenang air bah. Tak ada lagi Nuh yang menawarkan bahtera. Kelak, lautan akan bergolak. Tak ada lagi Musa yang membelahnya dengan tongkat. Manusia menghancurkan diri mereka sendiri.

Surabaya, 14/3/2008