Peradilan awal
Baiklah. Meskipun kisah Cak Pur ini tidak akan bagus jika dijadikan lakon Ketoprak Serius maupun Ketoprak Humor, tapi menurut penulisnya tetap dilanjutkan, sebab kadung bin terlanjur diawali.
Pada bagian ke-2 yang lalu, Mas Tur selaku pimpinan eksekutif Kahyangan Saptapratala akan menggugat para dukun peramal yang telah menuduh bahwa kelahiran Cak Lumpur disebabkan gonjang-ganjing yang bersumber dari Saptapratala alias Saptabumi. Sapta atinya tujuh, pratala artinya bumi. Jadi, Saptapratala berada di dalam bumi lapis ke-7.
Nggak tahu kenapa di bumi ini kok suka dengan angka 7. Ada langit lapis ke-7 – orang Jawa bilang langit sap pitu, jumlah hari dalam seminggu juga tujuh. Untuk menunjukkan turun-temurun juga dipakai istilah “tujuh turunan.” Cuman, kalau punya anak tujuh jaman sekarang pasti kelenger, harus kerja keras merawat dan menghidupinya. Tapi laki-laki suka juga kawin tujuh. Anehnya si isteri ke-7 juga happy-happy. Yang belum punya pengalaman mikirnya begitu. Yang sudah berpengalaman ya senyum-senyum, okei-okei...
Kembali ke notebook. Langkah pertama, Mas Tur bertindak untuk dan atas nama Pemerintahan Kahyangan Saptabumi, mengirim somasi kepada para dukun peramal pembawa fitnah itu. Somasinya cukup melalui email, sebab berdasarkan Konvensi Internasional penggunaan teknologi informasi ditentukan bahwa email bisa menjadi alat bukti. Tahun 2001 di Budapest juga pernah ada Konvensi Kejahatan Siber (Convention on Cybercrime). Kebetulan hukum di negara Atas Bumi juga sudah mengakui bahwa email maupun SMS dapat menjadi alat bukti.
Ternyata para dukun peramal itu menggubris somasi Kahyangan Saptabumi. Tapi jawabannya menantang! “Emang lu siape? Jangan mentang-mentang penguasa Kahyangan Saptabumi lantas main somasi! Emangnya kami takut? Siapa takut? Bahkan sebentar lagi kahyangan rongsokan itu akan ditembus bor para penambang minyak dan gas bumi (migas). Kalian pasti akan terusir! Jaman gini kok masih hidup dalam tanah?” Begitulah jawaban para dukun peramal itu via email. Kedengarannya meremehkan Kahyangan Saptabumi.
Malahan para dukun peramal itu pakai lawyer alias pengacara alias advokat. Namanya Buri Kalambi. Siapa ya dia ini? Kalau yang saya tahu di milis Media Jatim itu ada pemilis namanya Rubi Kambali. Apakah Buri Kalambi menyamar di Media Jatim, pakai nama Rubi Kambali ya? Bisa iya, bisa nggak. Tapi sudahlah, itu nggak usah disoal. Malah nambahi misteri.
Dalam jawaban resmi lawyer Buri Kalambi & Co, dinyatakan bahwa para dukun peramal itu telah bekerja sesuai dengan Kode Etik profesi dukun peramal. Saya baru tahu kalau ternyata para dukun peramal punya Kode Etik profesi. Yang namanya profesi itu cirinya: punya wadah organisasi tunggal, mengenai keahlian tertentu yang diperoleh dengan pendidikan khusus, dan merupakan pekerjaan. Jadi, kalau ada berita di koran-koran yang biasa bikin kalimat “si fulan yang berprofesi sebagai tukang becak....dst”, itu salah. Tukang becak itu keahliannya bukan dengan pendidikan khusus.
Yang sengsara tujuh turunan adalah advokat Atas Bumi yang sudah kehilangan ciri profesi sebab sejak Orde Baru hingga kini nggak bisa disatukan dengan satu wadah organisasi advokat. Ribut terus, masing-masing kelompok mau berkuasa seperti partai politik. Kalau begitu pekerjaan para lawyer Atas Bumi itu profesi atau pekerjaan biasa? Ya kalau sudah tidak memenuhi ciri profesi ya sama dengan tukang becak. Kalau begitu lawyer Buri Kalambi itu sama dengan tukang becak? Ya kira-kira begitulah....
Cuma, dalam hidup ini jangan melihat apa bentuk pekerjaan. Tukang becak, pengacara, wartawan, MC, makelar motor, petani, saudagar, di hadapan Allah itu derajatnya tergantung moralnya (ini sih, kata yang pinter agama). “Inna akromakum ‘ingdalloh atqokum. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Alloh adalah yang paling bertakwa di antara kalian!” (Gara-gara bulan puasa, ceritanya ada sisipan begini.)
Kembali ke topik. Mas Tur selanjutnya menempuh langkah kedua, mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agung yang ada di Kahyangan Agung. Pengadilan Agung ini dibentuk langsung oleh Raja segala raja. Sang Raja segala raja inilah yang dahulu menciptakan Semar, Guru (Syiwa) dan Togog. Bahannya telur. Tapi bukan telur asin yang biasa dijual di warung-warung. Kalau telur asin ya telur bebek. Ada juga telur asin palsu, bukan telur bebek tapi telur ayam yang cangkangnya dibuat seperti telur bebek. Loh, kok membahas telur?
Konon, telur ciptaan Sang Raja segala raja itu kulitnya menjadi Togog, putih telurnya menjadi Semar dan kuning telurnya menjadi Guru. Semuanya tentu dewa. Hanya saja, Togog diberi tugas menjadi punakawan (kalau di Atas Bumi dilevelkan pembantu) dari tokoh-tokoh wayang golongan kiri, seperti contohnya keluarga Rahwana dalam kisah Ramayana. Semar atau dikenal sebagai Dewa Ismaya ditugasi menjadi punakawan tokoh-tokoh wayang golongan kanan seperti contohnya Pandu, Arjuna dan keturunannya.
Wah repot, kok selalu melebar dari topik ya? Ini penulisnya kok geblek sih?
Setelah gugatan didaftarkan, peradilan pun segera akan digelar. Memang beda pelayanan Pengadilan Agung dengan pengadilan Atas Bumi. Di pengadilan Atas Bumi, panggilan sidang pertama baru bisa dipercepat kalau ada ‘uang dorong’. Kalau dalam jual-beli ada uang muka, uang cicilan, dan uang pelunasan, maka di pengadilan Atas Bumi ada uang dorong dan uang sogok. Di Pengadilan Agung berlaku adagium: “biarpun langit runtuh, keadilan tetap tegak.” Tapi di pengadilan Atas Bumi berlaku adagium: “ada uang ada keadilan. Ada uang hukum disayang, nggak ada uang hukum ditendang.” Loh, kok kayak lagu dangdut? Ya, itulah faktanya.
Sidang pertama gugatan Kahyangan Saptapratala digelar. Di jaman modern, rakyat di seluruh dunia bisa menonton sidang melalui stasiun TV yang khusus menayangkan sidang-sidang pengadilan. Namanya J-TV alias Justice TV. Jadi, yang ditayangkan khusus proses peradilan yang lengkap dengan analisis dari nara sumber para ahli hukum serta para pencari keadilan dan masyarakat penilai (Wah ini bisa jadi akan dicontoh perusahaan media?). Jadi, orang nggak perlu datang berbondong-bondong ke pengadilan menonton sidang, kecuali kalau tujuannya berdemo ataupun justice tourism (wah ada lagi cabang wisata baru nih...?).
Melalui J-TV (Justice TV. Ini bukan JTV punya Grup Jawa Pos lo ya!), dalam tayangan sidang perdana ini memang tampak lawyer Buri Kalambi yang..... keren abis .... Waduh, para asistennya kok banyak cewek cakepnya ye? Ya itu emang model kantor-kantor hukum sekarang. Cewek cakep selalu menjadi ‘alat promosi’ yang menarik pelanggan. Maaf ye, bukan maksudku mencemarkan nama baik! Cowok keren juga banyak yang jadi bintang iklan. Tapi ada juga iklan jamu kuat pakai model kakek-kakek. Siapa ya namanya itu? Mbah ...... ah nanti tulisan ini dikira iklan. Tahu sendirilah!
Sedangkan Kahyangan Saptapratala pakai pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Antiklenik. Wah, hebat juga ya. Kahyangan bersekutu dengan lembaga hukum antiklenik. Biasanya kahyangan itu isinya banyak klenik. Barangkali Kahyangan Saptabumi sudah melakukan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Lagipula, siapa sih yang tahu klenik-klenik semacam roh dan gaib-gaib begitu? Nabi Muhammad aja diajari Tuhan dalam surat Al-Isra’: wa yas-aluunaka ‘anir-ruh, quli ruhu min amri robbi. Wamaa uutiitum min ‘ilmi, illaa qoliilaa. “Dan jika kamu ditanya soal roh, maka katakan (jawablah) bahwa roh itu urusan Tuhanku. Dan kamu tidaklah akan diberikan pengetahuan melainkan sedikit saja.” Sedikit saja. Jadi, kalau ada orang yang ngaku-ngaku banyak ilmunya tentang roh, klenik-klenik, yaaah.... silahkan saja percaya atau tidak. Soal keyakinan, kita free-free aja man! Kalau saya meski orang ndeso, percaya saja sama setan. Masak setan nggak percaya diri-sendiri? Kakakakak.....
“Sidang dibuka, dan terbuka untuk umum! Dok!” Ketua Hakim membuka sidang. “Dok!” itu maksudnya bunyi meja sidang digetok palu. Jangan dikira hakimnya memanggil dokter!
“Pihak penggugat dan tergugat sudah sama-sama hadir?” tanya Ketua Hakim. Tampak aura wajahnya moncer sebagai wakil Tuhan di bidang keadilan. (Kalau hakim-hakim di negeri Atas Bumi kebanyakan sorot matanya ijo. Tak kalah ijo mata lawyer, jaksa dan polisi. Mending mereka bikin klub Green Eyes. Keren kan?)
“Penggugat hadir diwakili oleh kuasanya Yang Mulia,” jawab lawyer LBH Antiklenik. Pengacara muda ini namanya Joko Adil. Mudah-mudahan dia tidak sedang pelatihan hukum. Soalnya, banyak para lawyer tenar yang pembela koruptor kakap-kakap, pembela pelanggar HAM berat, dahulunya mereka ya lawyer LBH-LBH gitu. Setelah pinter-pinter, mereka maunya komersiil melulu.
Kasihan juga rakyat kecil tertindas, hanya dibela oleh para pengacara muda yang baru, lagi training, atau magang. Hanya jadi bahan mencari popularitas. Mana ada kasus-kasus rakyat kecil yang dibela para advokat senior? Dalam kasus lumpur Lapindo juga nggak ada advokat senior yang mau turun gunung. Malah para advokat yang dahulunya pejuang HAM menikmati membela Lapindo dan konco-konconya. Ada juga sih advokat senior hanya mau turun kalau kasusnya ramai menjadi perhatian umum, asal tidak melawan korporasi kaya, yaitu: kasus dugaan “salah tangkap” yang terkuak dan terkenal di media yang berkaitan dengan kasus Ryan itu. Yah... popularitas lagi, asal tidak melawan kekuasaan uang...
Lha yang lucu kan contohnya kasus Buyat Sulawesi Utara itu. Pembela Newmont itu lawyer pensiunan LBH ibukota, melawan pengacara penggugat yang juga pengacara LBH. Ini terulang dalam peradilan kasus lumpur Lapindo. Senior ketemu yunior, sama-sama dari satu lembaga. Walah kacok, eh, kocak!
Dahulu, semangat lawyer muda kelihatan menggebu: “Lawan pencemar dan perusak lingkungan! Lawan pelanggar HAM! Lawan koruptor! Lawan penindas!” Weleh... hambelgedhes ono bedhes mangan kates nang Tretes, banyune ketes-ketes, entute ngewes, cocot nyepres ning kecewes..... (stop!). Setelah tenar berbalik malah membela perusak lingkungan, pelanggar HAM berat dan koruptor kakap-kakap. Ada juga pendekar pers yang dahulunya menggebu-gebu bicara tentang kemerdekaan pers, yang kemudian berbalik disewa korporasi penggugat pers. Maka muncullah syair: “Maju tak gentar, membela yang bayar...” Tak ada ideologi yang penganutnya paling banyak, melainkan uangisme alias fulusisme. Tak ada jenis agama yang paling banyak pemeluknya, kecuali moneytheism (meminjam istilah di buku Prof. Daniel C Maguire, Sacred Energy).
Kembali ke topik. Ini cerita melebar ke mana-mana jika tidak distop dulu....
Dalam adegan sidang pertama kasus gugatan Kahyangan Saptabumi kepada para dukun peramal itu tampak lawyer Buri Kambali celingukan melihat ke lantai. Apa uangnya terjatuh? Apa sedang melihat tikus lewat? Atau, rokoknya jatuh? Atau jangan-jangan sepatunya keliru sepatu cewek?
Nanti akan bersambung di bagian ke-4. See u later!
Anti adalah Pro. Anti-penindasan adalah pro-pembebasan. Tapi jika engkau antipenindasan sekaligus antipembebasan atau antikemerdekaan maka kau pro-sikapmu sendiri.
15 September 2008
10 September 2008
TJAK LOEMPOER (Bagian 2)
Keturunan Antaboga Protes
Cak Lumpur alias Cak Pur hingga hari ini tak tertandingi. Benteng-benteng terus diperkuat dan diperluas.
Kasus itu terdengar sampai ke Saptapratala. Ternyata kisah Cak Lumpur bagian pertama yang diposting di milis Media Jatim itu dibaca oleh keluarga besar Saptapratala di dalam bumi. Maklum, jaman modern ini internet juga sudah sampai ke kahyangan dalam bumi. Bahkan cacing tanah, gayas, dan hewan-hewan dalam tanah lainnya sudah banyak yang mahir menggunakan internet.
“Ini penulis cerita Tjak Loempoer kok goblok ya! Namanya Cak Bagio, omongannya terkenal ngawur di internet! Masak, ngomong silsilah Dewa Antaboga punya anak Nagagini, lalu Nagagini dikawin Bima, kok tiba-tiba menyebut nama Gatutkaca? Lha Gatutkaca alias Gatotgelas itu kan anak hasil perkawinan Bima dengan Arimbi, raksasa wanita yang cantik gara-gara sering pake lumpur Lapindo untuk spa?” Begitu protes keturunan Antareja garis derajat ke 2.657 (duaribu lebih). Dia bernama Ananto Turun Antaboga, atau biasa dipanggil Mas Tur (bukan Mastur lo!).
Saya sebagai penulis cerpur ini ya kaget to, lha wong tiba-tiba mendapatkan surat somasi dari Mas Tur, berstempel Kahyangan Saptapratala. Wah, deg-degan saya. Deg-degan bukan karena seperti lagu Jawa-nya Pak Manthos gara-gara melihat cewek yang membuat jatuh cinta itu. Tapi deg-degan karena seumur-umur baru kali ini saya mendapatkan perhatian dari Kahyangan Saptapratala. Biasanya yang protes saya paling-paling tukang becak gara-gara motor saya yang jelek itu malang-megung di pinggir jalan, atau mbokne arek-arek yang protes, nagih utang ke saya karena dua bulan bon gajinya nggak kunjung saya bayar. We lha kali ini aku berurusan dengan Mas Tur keturunan Dewa Antaboga itu.
Untuk menghormatinya, saya minta maaf. Melalui email saya jelaskan bahwa saya menyebut nama Gatutkaca itu kan tidak berarti mengaburkan silsilah Dewa Antaboga. Saya dulu kan nulis: Antaboga itu ayahnya Dewi Nagagini yang dikawini Bima orang tua Gatutkaca. Lha ya jangan lantas ditafsir bahwa Gatutkaca itu anak hasil perkawinan Nagagini dengan Bima! Ya nggak gitu dong! Masak nggak gitu lah? (“Kan buah kedondong, bukan buah kedonglah?” tanya Megakarti).
Tapi salah saya juga ya. Kadang menempatkan kata yang kurang perlu ya bisa menimbulkan tafsir yang keliru. “Cuman Mas, saya juga mengingatkan, tolong jangan memelesetkan nama Gatutkaca menjadi Gatutgelas ya! Sebab Gatutkaca itu tokoh wayang idola saya. Perlu Mas Tur tahu, bahwa saya ini berasal dari Pringgondani juga. Jadi saya rakyat Pringgondani yang mana seperti Mas Tahu kan, Gatutkacara itu raja Pringgondani?” begitu penjelasan saya melalui email.
Tampaknya Mas Tur bisa menerima penjelasan saya. Hanya saja yang masih membuatnya jengkel adalah isu para dukun peramal yang berkembang yang mengatakan bahwa Cak Pur itu terlahir dari dalam bumi gara-gara kejadian yang bersumber dari Saptapratala. “Itu mencemarkan nama baik Kahyangan Saptapratala!” kata Mas Turun Antaboga alias Mas Tur dengan nada tinggi, suaranya membelah kesunyian langit, merontokkan kerak-kerak jaman yang semakin tua ini.
Sementara ini Sang Dewa Antaboga tetap beristirahat dengan tenang. Terpaksa Kahyangan Saptapratala harus dibuatkan banyak kipas angin dengan tenaga listrik geothermal. Bocornya lapisan ozon ditambah dengan efek rumah kaca serta kelakuan manusia yang ngudal-udal hidrokarbon dalam bumi untuk dibakar di atas bumi telah membuat bumi menjadi semakin panas. Global warming. Peringatan global (global warning) tak membuat reda keserakahan manusia yang lebih memanjakan nafsu binatangnya dibanding memikirkan masa depan anak cucu cicit mereka. Konsumsi energi terbesar di dunia telah membuahkan 20 persen penduduk bumi yang menguasai 80 persen pendapatan dunia dan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang amat parah di mana-mana.
Dewa Antaboga menginstruksikan agar Kahyangan mengembangkan teknologi pendingan ruangan yang tidak merusak lapisan ozon. Apa bisa? Ya harus diusahakan bisa!
Kembali pada kejengkelan Mas Tur, keturunan Dewa Antaboga yang diberikan wewenang menjadi pimpinan eksekutif Kahyangan Saptapratala.
“Jika tak ada kesadaran. Jika tak ada permintaan maaf kepada Saptapratala yang difitnah sebagai penyebab lahirnya Cak Pur yang merajalela itu, Saptapratala akan menggulung habis fitnah itu. Para dukun ramal dan para pembayarnya akan kami kutuk menjadi ular-ular berkepala cacing! Mereka tidak tahu bahwa gerak bumi Saptapratala dan lainnya hanya mengikuti kehendak Tuhan dan ulah para manusia. Jika manusia telah mengeluarkan kandungan bumi secara tak terbatas, maka bumi yang kosong akan diisi oleh bagian bumi lainnya. Maka bergeraklah bumi. Tetapi jangan sekali-kali menuduh itu sebagai penyebab, karena itu juga bagian dari akibat!” begitu ancaman Mas Tur, yang pernah menolak diusulkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dunia karena takut ikut-ikutan arus korupsi.
Singkat cerita, para dukun peramal ada yang sadar. Tapi masih ada juga yang tetap mencari alasan ke sama ke mari meskipun semuanya itu hanya ‘kira-kira’ ‘kiri-kara’, ‘kara-kara’ dan ‘kari-kari’. Artinya, pokoknya dikira-kira saja, ngawur secara ilmiah juga nggak ada banyak yang paham, soal dasarnya bisa dikira-kira dan dicari kari-kari. ‘Kari-kari’ itu bahasa Jawa, artinya: belakangan. Mereka juga sudah siap untuk dibawa ke pengadilan. Yang penting uangnya juga siap.
Hukum adalah uang. Keadilan juga uang. Hukum bertujuan untuk keadilan. Artinya, uang dipakai untuk tujuan mendapatkan uang. Makanya, di negara ini hukum menjadi modal untuk memperbanyak harta kekayaan. Menjadi investasi. Jadi, hukum juga sama dengan modal atau kapital. Maka, pemilik kapital adalah pemilik hukum. Lo, pas to? (Masak pas ti? Kan laki-laki bernama Suparto, bukan Suparti?).
Baiklah. Untuk bagian kedua ini cukup sekitar 5.000 karakter dulu (dengan spasi). Kerjaan masih banyak kok nulis cerita melulu. Wong disuruh bikin draft petisi sama Guk Prigi aja masih bingung mulainya. Iya kan? (Masak iya kin? Kan yang enak makan, bukan makin?).
Pada dasarnya, setelah itu Kahyangan Saptapratala akan membawa kasus fitnah yang menimpanya itu ke Pengadilan Tuhan Sang Raja dari segala raja. Kahyangan Saptapratala tidak terima jika dituduh sebagai penyebab kelahiran Cak Pur.
Sampai ketemu di babak berikutnya..... !
Cak Lumpur alias Cak Pur hingga hari ini tak tertandingi. Benteng-benteng terus diperkuat dan diperluas.
Kasus itu terdengar sampai ke Saptapratala. Ternyata kisah Cak Lumpur bagian pertama yang diposting di milis Media Jatim itu dibaca oleh keluarga besar Saptapratala di dalam bumi. Maklum, jaman modern ini internet juga sudah sampai ke kahyangan dalam bumi. Bahkan cacing tanah, gayas, dan hewan-hewan dalam tanah lainnya sudah banyak yang mahir menggunakan internet.
“Ini penulis cerita Tjak Loempoer kok goblok ya! Namanya Cak Bagio, omongannya terkenal ngawur di internet! Masak, ngomong silsilah Dewa Antaboga punya anak Nagagini, lalu Nagagini dikawin Bima, kok tiba-tiba menyebut nama Gatutkaca? Lha Gatutkaca alias Gatotgelas itu kan anak hasil perkawinan Bima dengan Arimbi, raksasa wanita yang cantik gara-gara sering pake lumpur Lapindo untuk spa?” Begitu protes keturunan Antareja garis derajat ke 2.657 (duaribu lebih). Dia bernama Ananto Turun Antaboga, atau biasa dipanggil Mas Tur (bukan Mastur lo!).
Saya sebagai penulis cerpur ini ya kaget to, lha wong tiba-tiba mendapatkan surat somasi dari Mas Tur, berstempel Kahyangan Saptapratala. Wah, deg-degan saya. Deg-degan bukan karena seperti lagu Jawa-nya Pak Manthos gara-gara melihat cewek yang membuat jatuh cinta itu. Tapi deg-degan karena seumur-umur baru kali ini saya mendapatkan perhatian dari Kahyangan Saptapratala. Biasanya yang protes saya paling-paling tukang becak gara-gara motor saya yang jelek itu malang-megung di pinggir jalan, atau mbokne arek-arek yang protes, nagih utang ke saya karena dua bulan bon gajinya nggak kunjung saya bayar. We lha kali ini aku berurusan dengan Mas Tur keturunan Dewa Antaboga itu.
Untuk menghormatinya, saya minta maaf. Melalui email saya jelaskan bahwa saya menyebut nama Gatutkaca itu kan tidak berarti mengaburkan silsilah Dewa Antaboga. Saya dulu kan nulis: Antaboga itu ayahnya Dewi Nagagini yang dikawini Bima orang tua Gatutkaca. Lha ya jangan lantas ditafsir bahwa Gatutkaca itu anak hasil perkawinan Nagagini dengan Bima! Ya nggak gitu dong! Masak nggak gitu lah? (“Kan buah kedondong, bukan buah kedonglah?” tanya Megakarti).
Tapi salah saya juga ya. Kadang menempatkan kata yang kurang perlu ya bisa menimbulkan tafsir yang keliru. “Cuman Mas, saya juga mengingatkan, tolong jangan memelesetkan nama Gatutkaca menjadi Gatutgelas ya! Sebab Gatutkaca itu tokoh wayang idola saya. Perlu Mas Tur tahu, bahwa saya ini berasal dari Pringgondani juga. Jadi saya rakyat Pringgondani yang mana seperti Mas Tahu kan, Gatutkacara itu raja Pringgondani?” begitu penjelasan saya melalui email.
Tampaknya Mas Tur bisa menerima penjelasan saya. Hanya saja yang masih membuatnya jengkel adalah isu para dukun peramal yang berkembang yang mengatakan bahwa Cak Pur itu terlahir dari dalam bumi gara-gara kejadian yang bersumber dari Saptapratala. “Itu mencemarkan nama baik Kahyangan Saptapratala!” kata Mas Turun Antaboga alias Mas Tur dengan nada tinggi, suaranya membelah kesunyian langit, merontokkan kerak-kerak jaman yang semakin tua ini.
Sementara ini Sang Dewa Antaboga tetap beristirahat dengan tenang. Terpaksa Kahyangan Saptapratala harus dibuatkan banyak kipas angin dengan tenaga listrik geothermal. Bocornya lapisan ozon ditambah dengan efek rumah kaca serta kelakuan manusia yang ngudal-udal hidrokarbon dalam bumi untuk dibakar di atas bumi telah membuat bumi menjadi semakin panas. Global warming. Peringatan global (global warning) tak membuat reda keserakahan manusia yang lebih memanjakan nafsu binatangnya dibanding memikirkan masa depan anak cucu cicit mereka. Konsumsi energi terbesar di dunia telah membuahkan 20 persen penduduk bumi yang menguasai 80 persen pendapatan dunia dan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang amat parah di mana-mana.
Dewa Antaboga menginstruksikan agar Kahyangan mengembangkan teknologi pendingan ruangan yang tidak merusak lapisan ozon. Apa bisa? Ya harus diusahakan bisa!
Kembali pada kejengkelan Mas Tur, keturunan Dewa Antaboga yang diberikan wewenang menjadi pimpinan eksekutif Kahyangan Saptapratala.
“Jika tak ada kesadaran. Jika tak ada permintaan maaf kepada Saptapratala yang difitnah sebagai penyebab lahirnya Cak Pur yang merajalela itu, Saptapratala akan menggulung habis fitnah itu. Para dukun ramal dan para pembayarnya akan kami kutuk menjadi ular-ular berkepala cacing! Mereka tidak tahu bahwa gerak bumi Saptapratala dan lainnya hanya mengikuti kehendak Tuhan dan ulah para manusia. Jika manusia telah mengeluarkan kandungan bumi secara tak terbatas, maka bumi yang kosong akan diisi oleh bagian bumi lainnya. Maka bergeraklah bumi. Tetapi jangan sekali-kali menuduh itu sebagai penyebab, karena itu juga bagian dari akibat!” begitu ancaman Mas Tur, yang pernah menolak diusulkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dunia karena takut ikut-ikutan arus korupsi.
Singkat cerita, para dukun peramal ada yang sadar. Tapi masih ada juga yang tetap mencari alasan ke sama ke mari meskipun semuanya itu hanya ‘kira-kira’ ‘kiri-kara’, ‘kara-kara’ dan ‘kari-kari’. Artinya, pokoknya dikira-kira saja, ngawur secara ilmiah juga nggak ada banyak yang paham, soal dasarnya bisa dikira-kira dan dicari kari-kari. ‘Kari-kari’ itu bahasa Jawa, artinya: belakangan. Mereka juga sudah siap untuk dibawa ke pengadilan. Yang penting uangnya juga siap.
Hukum adalah uang. Keadilan juga uang. Hukum bertujuan untuk keadilan. Artinya, uang dipakai untuk tujuan mendapatkan uang. Makanya, di negara ini hukum menjadi modal untuk memperbanyak harta kekayaan. Menjadi investasi. Jadi, hukum juga sama dengan modal atau kapital. Maka, pemilik kapital adalah pemilik hukum. Lo, pas to? (Masak pas ti? Kan laki-laki bernama Suparto, bukan Suparti?).
Baiklah. Untuk bagian kedua ini cukup sekitar 5.000 karakter dulu (dengan spasi). Kerjaan masih banyak kok nulis cerita melulu. Wong disuruh bikin draft petisi sama Guk Prigi aja masih bingung mulainya. Iya kan? (Masak iya kin? Kan yang enak makan, bukan makin?).
Pada dasarnya, setelah itu Kahyangan Saptapratala akan membawa kasus fitnah yang menimpanya itu ke Pengadilan Tuhan Sang Raja dari segala raja. Kahyangan Saptapratala tidak terima jika dituduh sebagai penyebab kelahiran Cak Pur.
Sampai ketemu di babak berikutnya..... !
Langganan:
Postingan (Atom)