10 September 2008

TJAK LOEMPOER (Bagian 2)

Keturunan Antaboga Protes

Cak Lumpur alias Cak Pur hingga hari ini tak tertandingi. Benteng-benteng terus diperkuat dan diperluas.

Kasus itu terdengar sampai ke Saptapratala. Ternyata kisah Cak Lumpur bagian pertama yang diposting di milis Media Jatim itu dibaca oleh keluarga besar Saptapratala di dalam bumi. Maklum, jaman modern ini internet juga sudah sampai ke kahyangan dalam bumi. Bahkan cacing tanah, gayas, dan hewan-hewan dalam tanah lainnya sudah banyak yang mahir menggunakan internet.

“Ini penulis cerita Tjak Loempoer kok goblok ya! Namanya Cak Bagio, omongannya terkenal ngawur di internet! Masak, ngomong silsilah Dewa Antaboga punya anak Nagagini, lalu Nagagini dikawin Bima, kok tiba-tiba menyebut nama Gatutkaca? Lha Gatutkaca alias Gatotgelas itu kan anak hasil perkawinan Bima dengan Arimbi, raksasa wanita yang cantik gara-gara sering pake lumpur Lapindo untuk spa?” Begitu protes keturunan Antareja garis derajat ke 2.657 (duaribu lebih). Dia bernama Ananto Turun Antaboga, atau biasa dipanggil Mas Tur (bukan Mastur lo!).

Saya sebagai penulis cerpur ini ya kaget to, lha wong tiba-tiba mendapatkan surat somasi dari Mas Tur, berstempel Kahyangan Saptapratala. Wah, deg-degan saya. Deg-degan bukan karena seperti lagu Jawa-nya Pak Manthos gara-gara melihat cewek yang membuat jatuh cinta itu. Tapi deg-degan karena seumur-umur baru kali ini saya mendapatkan perhatian dari Kahyangan Saptapratala. Biasanya yang protes saya paling-paling tukang becak gara-gara motor saya yang jelek itu malang-megung di pinggir jalan, atau mbokne arek-arek yang protes, nagih utang ke saya karena dua bulan bon gajinya nggak kunjung saya bayar. We lha kali ini aku berurusan dengan Mas Tur keturunan Dewa Antaboga itu.

Untuk menghormatinya, saya minta maaf. Melalui email saya jelaskan bahwa saya menyebut nama Gatutkaca itu kan tidak berarti mengaburkan silsilah Dewa Antaboga. Saya dulu kan nulis: Antaboga itu ayahnya Dewi Nagagini yang dikawini Bima orang tua Gatutkaca. Lha ya jangan lantas ditafsir bahwa Gatutkaca itu anak hasil perkawinan Nagagini dengan Bima! Ya nggak gitu dong! Masak nggak gitu lah? (“Kan buah kedondong, bukan buah kedonglah?” tanya Megakarti).

Tapi salah saya juga ya. Kadang menempatkan kata yang kurang perlu ya bisa menimbulkan tafsir yang keliru. “Cuman Mas, saya juga mengingatkan, tolong jangan memelesetkan nama Gatutkaca menjadi Gatutgelas ya! Sebab Gatutkaca itu tokoh wayang idola saya. Perlu Mas Tur tahu, bahwa saya ini berasal dari Pringgondani juga. Jadi saya rakyat Pringgondani yang mana seperti Mas Tahu kan, Gatutkacara itu raja Pringgondani?” begitu penjelasan saya melalui email.

Tampaknya Mas Tur bisa menerima penjelasan saya. Hanya saja yang masih membuatnya jengkel adalah isu para dukun peramal yang berkembang yang mengatakan bahwa Cak Pur itu terlahir dari dalam bumi gara-gara kejadian yang bersumber dari Saptapratala. “Itu mencemarkan nama baik Kahyangan Saptapratala!” kata Mas Turun Antaboga alias Mas Tur dengan nada tinggi, suaranya membelah kesunyian langit, merontokkan kerak-kerak jaman yang semakin tua ini.

Sementara ini Sang Dewa Antaboga tetap beristirahat dengan tenang. Terpaksa Kahyangan Saptapratala harus dibuatkan banyak kipas angin dengan tenaga listrik geothermal. Bocornya lapisan ozon ditambah dengan efek rumah kaca serta kelakuan manusia yang ngudal-udal hidrokarbon dalam bumi untuk dibakar di atas bumi telah membuat bumi menjadi semakin panas. Global warming. Peringatan global (global warning) tak membuat reda keserakahan manusia yang lebih memanjakan nafsu binatangnya dibanding memikirkan masa depan anak cucu cicit mereka. Konsumsi energi terbesar di dunia telah membuahkan 20 persen penduduk bumi yang menguasai 80 persen pendapatan dunia dan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang amat parah di mana-mana.

Dewa Antaboga menginstruksikan agar Kahyangan mengembangkan teknologi pendingan ruangan yang tidak merusak lapisan ozon. Apa bisa? Ya harus diusahakan bisa!
Kembali pada kejengkelan Mas Tur, keturunan Dewa Antaboga yang diberikan wewenang menjadi pimpinan eksekutif Kahyangan Saptapratala.

“Jika tak ada kesadaran. Jika tak ada permintaan maaf kepada Saptapratala yang difitnah sebagai penyebab lahirnya Cak Pur yang merajalela itu, Saptapratala akan menggulung habis fitnah itu. Para dukun ramal dan para pembayarnya akan kami kutuk menjadi ular-ular berkepala cacing! Mereka tidak tahu bahwa gerak bumi Saptapratala dan lainnya hanya mengikuti kehendak Tuhan dan ulah para manusia. Jika manusia telah mengeluarkan kandungan bumi secara tak terbatas, maka bumi yang kosong akan diisi oleh bagian bumi lainnya. Maka bergeraklah bumi. Tetapi jangan sekali-kali menuduh itu sebagai penyebab, karena itu juga bagian dari akibat!” begitu ancaman Mas Tur, yang pernah menolak diusulkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dunia karena takut ikut-ikutan arus korupsi.

Singkat cerita, para dukun peramal ada yang sadar. Tapi masih ada juga yang tetap mencari alasan ke sama ke mari meskipun semuanya itu hanya ‘kira-kira’ ‘kiri-kara’, ‘kara-kara’ dan ‘kari-kari’. Artinya, pokoknya dikira-kira saja, ngawur secara ilmiah juga nggak ada banyak yang paham, soal dasarnya bisa dikira-kira dan dicari kari-kari. ‘Kari-kari’ itu bahasa Jawa, artinya: belakangan. Mereka juga sudah siap untuk dibawa ke pengadilan. Yang penting uangnya juga siap.

Hukum adalah uang. Keadilan juga uang. Hukum bertujuan untuk keadilan. Artinya, uang dipakai untuk tujuan mendapatkan uang. Makanya, di negara ini hukum menjadi modal untuk memperbanyak harta kekayaan. Menjadi investasi. Jadi, hukum juga sama dengan modal atau kapital. Maka, pemilik kapital adalah pemilik hukum. Lo, pas to? (Masak pas ti? Kan laki-laki bernama Suparto, bukan Suparti?).

Baiklah. Untuk bagian kedua ini cukup sekitar 5.000 karakter dulu (dengan spasi). Kerjaan masih banyak kok nulis cerita melulu. Wong disuruh bikin draft petisi sama Guk Prigi aja masih bingung mulainya. Iya kan? (Masak iya kin? Kan yang enak makan, bukan makin?).

Pada dasarnya, setelah itu Kahyangan Saptapratala akan membawa kasus fitnah yang menimpanya itu ke Pengadilan Tuhan Sang Raja dari segala raja. Kahyangan Saptapratala tidak terima jika dituduh sebagai penyebab kelahiran Cak Pur.
Sampai ketemu di babak berikutnya..... !

Tidak ada komentar: