Kemarin kita bertemu di Tanah Abang
Membicarakan berapa bagian masing-masing
Memang, tak ada perjanjian yang terang
Tapi bukankah kita ini saudara seanjing
Hidup di atas tikar etika yang miring
Dipimpin para imam bermata juling
Kemarin kita juga pergi ke Tugu Monas
Menyetubuhi perempuan tak berkelas
Sungguh nikmat beralas koran bekas
Sambil menertawakan derita tanpa batas
Hari ini, katanya kita menanggung dosa
Kita banyak dihina dan dicerca
Katanya, kelak kita akan masuk neraka
Baiklah, kita tak dapat membayar pengacara
Kita akan membela diri dengan asal bicara
Kita memang bandit
Tapi kita tidak pernah mengambil kredit
yang menjadikan nasib orang banyak sebagai agunan
sehingga menebarkan segala penderitaan
Kita yang menjadikan negara sebagai pelacur?
Kita yang membuat harga diri bangsa menjadi babak-belur?
Hai Tuhan yang memberi dosa!
Bagaimana Kau memberi makan pelacur jalanan?
Yang dengan tersedu-sedu telah menjual dirinya
Hanya untuk mempertahankan hidup yang Kau berikan
Hai Tuhan yang punya neraka!
Bagaimana kau memberi makan orang melarat?
Yang menahan derita dalam kejaran lapar
Hanya untuk mempertahankan hidup yang Kau berikan
Andainya saja negara ini tak dijadikan pelacur
Hidup kami tak perlu hancur
Besok kita akan bertemu di plasa-plasa
Untuk sedikit mencopet dompet orang kaya
Hanya untuk makan sekedarnya
Tidak sampai untuk bisa membeli sepeda
Apalagi sampai merugikan negara
Yah, kita mungkin tetap akan mencuri
Toh jika kita ditangkap para polisi
Kita tidak akan diadili oleh pengadilan tindak pidana korupsi
Tempat para bandit berdasi.
Jika kelak kita menjabat, kita juga korupsi.
Tanpa henti!
Surabaya, 23 Oktober 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar