Pada jaman sekarang ini, apakah kamu pernah
tahu di Indonesia ini ada bule Eropa yang bekerja menjadi tukang taman di
negara ini? Tak ada. Tapi di jaman Mataram Islam dulu ada bule Portugis bernama
Baron Sakeber yang menjadi tukang taman di Kadipaten (Kabupaten) Pati, Jawa
Tengah, di masa pemerintahan Adipati Pragolo.
Tapi Baron Sakeber ini boleh dikata kurang
ajar. Baron bercinta dengan seorang selir kesayangan Adipati Pragolo bernama
Roro Mendut yang memang terkenal cantik.
Saya tak tahu apa yang ada di benak Roro
Mendut. Apakah dia terpaksa menjadi selir Adipati Pragolo? Mungkin saja. Pada
jaman dahulu para wanita banyak yang tak berdaya menghadapi dominasi kekuasaan
pria, apalagi penguasa. Kalau jaman sekarang sih lain. Jaman sekarang ada
banyak pria kaya yang sukses memetik daun-daun muda, bukan karena faktor
paksaan, tapi pria kaya biasanya kelihatan ganteng di mata wanita modern. Ini
realitas yang tak boleh membuat para pria miskin iri loh ya. Tapi itu
wanita-wanita di luar negeri sana ya. Kalau di Indonesia ini nggak ada yang
begituan.
Ataukah Roro Mendut sebagai perempuan serasa
tak rela didua, tiga atau diempatkan? Ataukah…..maaf…… Roro Mendut mungkin
penasaran rasa “genthalo” bule sehingga dia mau bercinta dengan Baron? Nah,
saya tentu tidak tahu apa sebab Roro Mendut selingkuh dengan bule Portugis itu.
Biarlah itu menjadi rahasia Roro Mendut sendiri.
Yang namanya enak dalam bercinta, kalau
diterus-teruskan maka berbuahlah anak. Akhirnya ketahuanlah perselingkuhan Roro
Mendut dengan Baron itu sehingga Baron dihukum mati bersama anak hasil buah
cinta Mendut-Baron itu. Adipati Pragolo ini tega dan kejam sekali. Anak kecil
yang tidak berdosa pun dihukum mati. Sayangnya waktu itu belum ada Komnas HAM dan
lembaga perlindungan anak. Juga belum ada medsos. Kalau sudah ada medsos,
bisa-bisa Adipati Pragolo dibully habis.
Tapi Roro Mendut dimaafkan oleh Adipati
Pragolo. Mungkin eman, karena Mendut itu cantik bahenol. Bisa-bisanya tak ada equality before the law gara-gara orang cantik. Hukum tumpul ke orang
cantik, tajam ke orang ganteng. Begitukah jaman itu? Kalau jaman sekarang,
hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tapi dalam kasus Wayan Mirna itu hukum
tajam ke Jessica gara-gara Jessica pakai kacamata hitam yang didesain terang dan
tangisnya nggak sampai keluar ingus.
Waktu pun berjalan dalam gerak yang lusuh di
jaman penuh darah tertumpah. Adipati Pragolo memberontak kepada Maratam.
Terjadilah perang antara Mataram melawan Pati. Tumenggung Wiroguno pemimpin
pasukan tentara Maratam berhasil mengalahkan dan membunuh Adipati Pragolo yang
terkenal kebal senjata tajam itu. Tapi sekebal-kebalnya orang pasti punya
kelemahan. Orang kebal hukum pun lama-lama juga tumbang jika terus digempur.
Seperti biasa, jaman dahulu dalam peperangan
itu perempuan di pihak yang kalah juga menjadi obyek rampasan perang. Roro
Mendut pun menjadi rampasan perang Wiruguno. Dasar lelaki mata keranjang. Tahu
kalau Roro Mendut itu sedep, Tumenggung Wiroguno juga naksir.
Lelaki itu rata-rata begitu. Kalau ada yang
sok alim itu pura-pura saja. Lelaki itu kalau kaya, biasa punya perempuan di
mana-mana. Para isteri banyak yang tak tahu itu. Kalau ada lelaki ganteng yang
miskin, sukanya nggedabrus menipu
para perempuan di sana-sini. Bahkan lelaki tahu kelemahan perempuan kelas
menengah ke bawah yang suka diperistri polisi atau tentara, maka ada banyak
tentara dan polisi gadungan yang memikat para perempuan. Setelah ditiduri dan
diembat uangnya, ditinggal pergi. Maka meranalah para perempuan itu. Kasihan.
Dunia ini kejam. Tapi kejadian begitu itu hanya ada di Kutub Utara sana, bukan
di Indonesia. Kalau di Indonesia orangnya baik-baik semua.
Kembali ke nasib Roro Mendut. Tentu saja Roro
Mendut menolak cinta Tumenggung Wiroguno, sebab kalau dalam kisah ketoprak
Wiroguno itu bandot tua. Tapi sakti. Roro Mendut lebih tertarik dengan pengawal
Tumenggung Wiroguno yang bernama Pronocitro, lelaki yang muda dan gagah,
meskipun miskin.
Jadi Roro Mendut ini lengkap sudah kisah
cintanya. Penah jadi istri bupati kaya (Adipati Pragolo), pernah bercinta
dengan bule Portugis (Baron Sakeber), dan akhirnya bercinta dengan prajurit
muda bernama Pronocitro. Di ujung jalan cintanya inilah Roro Mendut membuktikan
bahwa dirinya mampu menolak kekuasaan lelaki, dan merdeka menentukan
pilihannya. Ya mungkin karena dia sudah menjadi janda yang berpengalaman.
Roro Mendut hidup bersama Pronocitro. Tapi
mereka tetap tak bisa merdeka seratus persen. Tumenggung Wiroguno menjatuhkan
hukuman denda kepada mereka, padahal Roro Mendut dan Pronocitro tak punya uang.
Akhirnya Roro Mendut dibantu Pronocitro berjualan rokok. Dalam kisah itu
terkenal dengan teknik penjualan rokok yang dilakukan Roro Mendut dengan
menjilat klobotnya, sehingga para lelaki berebut membeli rokok yang klobotnya
habis dijilat perempuan cantik itu. Norak bener.
Pada waktu itu kedatangan VOC di Batavia menjadi
musuh Mataram. VOC adalah korporasi BUMN asing dari Kerajaan Belanda yang
mengajak kerjasama dagang secara paksa dengan raja-raja di Nusantara. Itulah
penjajahan oleh korporasi pertama di dunia di masa kuno itu. Pada waktu itu VOC
mempunyai tentara. Bukan seperti jaman sekarang korporasi menjajah dengan “meminjam”
tentara negara yang dijajahnya.
Nah, Portugis melihat potensi perang antara
VOC dengan Mataram, sehingga korporasi Portugis bernama Laseda mengutus seorang
duta bernama Gustemo untuk bertemu Sultan Agung, menawarkan investasi untuk
mendirikan pabrik semen di Kadipaten Pati yang telah dikuasai Mataram. Gustemo
membuat presentasi tentang pentingnya Mataram membangun benteng-benteng di sepanjang pulau Jawa untuk menghadapi VOC,
sehingga dibutuhkan semen banyak.
Sultan Agung menyerahkan urusan proposal
pendirian pabrik semen oleh Portugis itu kepada Tumenggung Wiroguno yang
diserahi kekuasaan Kadipaten Pati. Maka mulailah dibangun pabrik semen di
Kadipaten Pati.
Roro Mendut yang masih hidup di Kadipaten
Pati melihat ada banyak orang Portugis yang membangun pabrik semen itu, ia jadi
ingat pesan mendiang pacarnya Baron, pada saat ia hendak dihukum mati Adipati
Pragolo, Baron memberikan sebuah kantong dan berpesan agar kantong itu jangan
dibuka hingga kelak datang orang-orang Portugis di Kadipaten Pati. Maka Roro
Mendut pun segera membuka kantong itu, yang ternyata berisi sepucuk surat.
“Duhai
rembulanku… Biarpun aku mati, tapi bukankah aku tetap hidup di dalam jiwamu?
Aku akan mati membawa hidupmu menjadi bunga mimpiku di dalam tidur panjangku,
hingga kelak kita bertemu…. Rembulanku….. ada satu hal yang harus kamu tahu…
Kedatangan kaumku di negerimu hanyalah dalam rangka melipatgandakan kekayaannya
dengan cara mengeruk dan merusak bumimu… Tak ada bedanya dengan VOC…. Semoga kita
segera bertemu!” Air mata Roro
Mendut meleleh.
Roro Mendut merobek-robek surat itu dan
membuangnya. Ia khawatir kalau-kalau Pronocitro tahu surat itu. Bagaimanapun
juga Baron adalah masa lalu yang ia telah berusaha melupakannya. Melupakan
kenangan bersama Baron seperti melepas kuku dari jarinya. Terasa nyeri.
Untungnya Pronocitro dapat mengobati nestapanya. Pronocitro bukanlah lelaki
gombal yang cuma mau memacari dan meniduri tapi tak mau menikahi. Pronocitro
lelaki yang tulus.
Maka Roro Mendut mulai mengumpulkan para
perempuan Pati untuk membuat gerakan Tolak Pabrik Semen Pati. Para perempuan
itu juga berjaring dengan para perempuan Batavia yang membuat gerakan Tolak
Reklamasi Pantai Batavia Utara yang menjadi proyek VOC di bawah perintah
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (JP Coen).
Sebagai manusia Roro Mendut merasa dirinya
telah melewati masa-masa penderitaan panjang dan bergumul dosa-dosa. Ia ingin
mengabdikan di sisa-sisa hidupnya untuk kemuliaan. Baginya, Ibu Pertiwi adalah
amanat yang harus dijaganya. Surat Baron tak sekedar menggugah masa lalunya,
tapi yang penting telah menggugah kesadarannya sebagai manusia.
Lebih baik Roro Mendut menjadi mantan orang
berdosa, daripada menjadi mantan aktivis LSM yang dulunya berkoar-koar menolak
pembangunan yang merusak ekologi, yang sekarang malah mendukung perusakan
lingkungan dengan alasan yang dibuat-buat. Apalagi menyebarkan isu seolah-olah
ada darurat rasis. Padahal ketidakadilan ekologi dan dominasi penguasaan sumber
daya alam itulah yang akan mudah memicu konflik sosial. Sayangnya orang-orang
bicara anti diskriminasi hanya mengurung pikirannya di soal etnis dan agama, tapi
mereka melupakan soal ekonomi dan sosial, menempatkannya di luar tempurung
kepalanya.
Gerakan Roro Mendut dan para perempuan
jaringannya menjadi sangat terkenal militan sehingga memaksa pembatalan
pembangunan pabrik semen di Pati. Sedangkan reklamasi di Pantai Utara Batavia
tetap berjalan di bawah pengawasan tentara VOC yang kejam.
Sebelum berhasil menggagalkan reklamasi teluk
Utara Batavia, Roro Mendut meninggal dunia di pangkuan Pronocitro di usia 57
tahun. Ketika mendengar Roro Mendut meninggal, Gubernur Jenderal Coen tertawa
terbahak-bahak. Tapi setahun kemudian setelah serangan kedua prajurit Mataram
ke Batavia, Gubernur Jenderal JP Coen meninggal dunia secara tragis akibat
serangan sakit kolera yang menjadi wabah di Batavia. Nama Roro Mendut harum
dikenang masa, tapi nama J.P.Coen dicatat sebagai gembong penjajah di
Nusantara.