Akan
saya ceritakan kisah nyata ini. Sekali lagi, kisah nyata! Mestinya tak cukup
dengan kolom cerpen. Tapi aku paksakan saja jadi cerpen. Saya paksakan! Anda
tak sadar dunia ini penuh paksa. Anda tak pernah dimintai persetujuan untuk
dijadikan ada menjadi manusia kan? Anda tidak bisa memilih untuk lahir sebagai
keong atau tikus kan? Anda tak bisa memilih lahir dari rahim Imelda Marcos atau
Madonna kan? Jelas itu.
Anda
tiba-tiba dilahirkan di Indonesia ini, ketika sudah dewasa harus tunduk pada
hukum yang ada sebelum Anda lahir. Anda yang lahir dan besar di negara ini
dipaksa untuk mengakui rezim yang dilahirkan oleh perbuatan-perbuatan politik
yang haram? Anda terpaksa hidup di negeri yang dipenuhi para penjahat yang
mengurusi negara ini? Anda tidak menyadari paksaan-paksaan itu kan? Hehehe.....
Baiklah.
Ini adalah tentang sekelompok anak muda kritis, bujangan lulusan SMU lima tahun
lalu, dari sebuah kampung. Saya rahasiakan ini di wilayah mana. Mereka adalah
Sanggah, Singgih, Songgoh, Sungguh dan Bandiyah. Hanya Bandiyah yang cewek.
Lainnya cowok.
Malam
tak berhias bintang, langit kelam, ketika mereka berkumpul di rumah orang tua
Bandiyah. “Seperti obrolan kita yang lalu, kita akan melaporkan semua pengurus partai
politik (parpol), sebab kita menjadi korban penipuan mereka. Kita tidak bisa
kuliah di perguruan tinggi negara karena biayanya makin tak terjangkau rakyat
kecil. Kampanye janji tentang pendidikan gratis, tentang kesejahteraan,
kemakmuran, janji pemerintahan bersih dan sebagainya ternyata omong kosong.
Pendidikan mahal, negara dikorupsi besar-besaran!” kata Bandiyah. Gayanya jauh lebih
lugas daripada Anis Matta, Ical, Megawati, Surya Paloh, apalagi SBY.
“Saya
dan Songgoh sudah konsultasi ke LBH-LBH dan Polsek-polsek, katanya itu bukan
kejahatan penipuan, sebab tidak memenuhi unsur “menyerahkan barang” kepada
parpol-parpol itu. Kita hanya menyerahkan “suara” dalam pemilu!” Sanggah
menimpali.
“Gini
saja! Kewenangan menerima laporan tentang penipuan ini kan di tangan
Kepolisian. Kita kumpulkan warga, kita demo saja ke Polres di sini. Kita
katakan bahwa “suara” rakyat dalam pemilu itu adalah “barang yang tak nampak”
seperti hak kebendaan. Buktinya mereka di KPU bisa melimpahkan suara itu ke
calon anggota DPR ini dan itu? Berarti suara kita bisa dipindah-pindahkan
seperti barang, “ Singgih menjelaskan.
“Hehehe...
itu aku pernah baca kisah hakim Bismar Siregar yang menafsir kelamin wanita
sebagai “barang”, tapi tafsir itu dimentahkan Mahkamah Agung lo Nggih,” bantah
Sungguh. Saya pernah meminjamkan majalah Varia Peradilan kepada Sungguh.
“Lalu
bagaimana? Apakah seluruh kebohongan publik yang dilakukan semua parpol itu
tidak dapat dianggap sebagai kejahatan hanya karena penafsiran-penafsiran yang
formal itu? Apakah kita hanya setuju bahwa seluruh kebohongan itu cuma dianggap
kesalahan politik yang sanksinya hanya diserahkan pada proses pemilu
berikutnya? Bukankah ternyata para pembohong itu tetap terpilih mengurus negara
ini, dan nyatanya tetap saja rakyat dibohongi?” Bandiyah berapi-api. Coba ada
kertas di sebelahnya, bisa terbakar kali ya? Kih kih kih…..eh,….
kmp kmp kmp……… (saya tahan tawa….).
Perdebatan
mereka berujung pada kesepakatan bahwa meraka akan mengajak warga setempat melapor
di Polres terdekat, melaporkan semua pengurus parpol yang pernah kampanye di
wilayah itu, yang ternyata janji-janji kampanye mereka banyak tidak
terealisasi.
Singkat
cerita, Polres menerima laporan tersebut setelah didemo warga beberapa kali. “Biar
nanti pengadilan yang menafsir apakah “hak suara” yang diberikan warga dalam
pemilu itu termasuk “barang” atau bukan. Kejahatan penipuan diatur dalam Pasal
378 KUHP: “Barangsiapa denganb maksud
menguntungkan diri-sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi utang ataupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”
Sebenarnya
kepolisian dan kejaksaan enggan melanjutkan perkara itu. Tapi masalah itu terus-menerus
diberitakan media massa, ramai, menjadi perhatian masyarakat dan mempengaruhi para
politisi. Isu tentang “penipuan parpol-parpol” mengemuka. Itulah yang menarik
perhatian para politisi sehingga mereka berkumpul untuk berunding guna
mengambil langkah strategis. Maklum, mendekati pemilu,,,,,,,.
Sekelompok
pemuka politisi lintas parpol mengambil kesimpulan bahwa kasus itu akan
diselesaikan melalui pengadilan. “Pengadilanlah yang kita atur secara mudah
karena itu bukan kasus penipuan Pasal 378 KUHP!” Akhirnya mereka menyewa
makelar kasus untuk mengatur perkara itu. Skenarionya adalah “meminta Kejaksaan
melimpahkan perkara itu ke pengadilan dan dengan mudah mementahkannya di
pengadilan, agar isu yang meresahkan para politisi itu segera berakhir.”
Sidang
perkara digelar di Pengadilan Negeri setempat. Para pengunjung selalu padat.
Para terdakwanya adalah para pengurus tingkat daerah semua parpol yang
mempunyai kursi di parlemen daerah dan pusat. Mereka tidak ditahan. Seperti anak
seorang menteri dalam kasus kecelakaan yang menewaskan dan mencelakakan
beberapa orang itu kan tidak ditahan. Coba kalau orang kecil? Heh!... Sabar, penulis cerpen dilarang ikut terlibat
emosi, kih kih kih……kmp kmp kmp……hehe....!
Memang
benar. Skenario berjalan mulus. Para terdakwa dibebaskan hakim. Alasannya
adalah bahwa “hak suara” dalam pemilu itu bukan merupakan “barang” yang
dimaksudkan dalam Pasal 378 KUHP, meskipun segala muslihat atau rangkaian
kebohongan dalam kampanye itu terbukti dalam sidang di pengadilan itu. Sepertinya
para hakimnya juga tahulah banyak janji bohong dalam kampanye pemilu. Ya tahu dong……
“Kasus
itu memang bukan delik penipuan pasal 378 KUHP. Jika dikatakan wanprestasi
dalam lapangan Hukum Perdata juga tidak bisa, sebab itu bukan perjanjian para
pihak yang mengandung obyek perjanjian sebagaimana menurut Pasal 1320
KUHPerdata,” kata seorang
profesor, pakar hukum, menjelaskan dalam sebuah acara talk show di TV.
“Lalu
bagaimana kasus-kasus kebohongan dalam setiap kampanye para politisi itu harus
dipertanggungjawabkan secara hukum Prof? Apakah itu tidak dianggap sebagai
kejahatan?” tanya pembawa acara TV itu.
“Itulah
politik. Di mana-mana di dunia ini politik selalu dengan kebohongan. Politik
dan kebohongan adalah mitra sejati. Hukum tidak mampu menjangkaunya sebab hukum
itu produk mereka para politisi itu,” jawab profesor itu.
Guna
memuluskan agar skenario itu dianggap kesungguh-sugguhan penegak hukum maka
Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri
yang membebaskan para politisi lintas parpol itu.
Bandiyah,
Sanggah, Singgih, Songgoh dan Sungguh mulai tertekan. Mereka banyak mendapatkan
pertanyaan atas kegagalan mereka. Bahkan warga setempat yang biasa diajak demo
mulai mencemooh mereka. “Kalian sama bohongnya dengan para politisi itu!
Katanya kasus ini akan menjadi terobosan hukum, tapi ternyata hanya
mempermalukan kami!” kata pengurus warga di kampung itu.
Karena
tekanan-tekanan itu maka sekelompok pemuda itu meninggalkan kampung mereka.
Masing-masing mencari pekerjaan jauh di luar kampung mereka. Bandiyah menjadi
purel di sebuah diskotik. Sanggah dan Singgih menjadi buruh pabrik kertas.
Songgoh menjadi buruh perkebunan kepala sawit di Kalimantan, dan Sungguh
kabarnya menjadi buruh cleaning service
di sebuah plasa di Surabaya.
Mereka
masih tetap bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan. Bandiyah setelah setahun
bekerja mencoba untuk mendaftar kuliah di Fakultas Ekonomi sebuah universitas
swasta yang murah. Sanggah diketahui menikahi seorang gadis, anak dari ibu
kosnya. Singgih masih berusaha menabung untuk rencana biaya kuliah. Songgoh
memutuskan mengalah tidak kuliah, tapi ia bertekad akan membiayai pendidikan
dua adiknya hingga ke perguruan tinggi. Sedangkan Sungguh merasa tidak berani
melanjutkan kuliah karena gajinya yang terlalu kecil dan harus membantu ekonomi
orang tuanya.
Ketika
para pemuda yang pernah membuat heboh perpolitikan itu mulai dilupakan, dalam
kurun waktu sekitar lima tahun sejak putusan hakim pertama yang membebaskan
terhadap para politisi tersebut, tiba-tiba negara ini dikejutkan oleh putusan
Mahkamah Agung (MA) yang menerima dan mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum,
yakni menghukum para politisi parpol yang menjadi terdakwa kasus itu dengan
hukuman penjara seumur hidup.
Putusan
MA itu menyebabkan polemik hebat. Bagaimana batasan hukuman maksimum menurut
Pasal 378 KUHP adalah empat tahun penjara, tapi hakim MA menghukum terdakwa
dengan hukuman penjara seumur hidup? Belum lagi soal kontroversi tafsir tentang
“barang” yang diterapkan dalam kasus itu, yakni “hak suara” dalam pemilu
dikategorikan sebagai “barang” yang bisa dikomersiilkan, diperjual-belikan?
Dalam
pertimbangannya hakim MA menyatakan: “Bahwa
hukum pidana harus mampu menjangkau kejahatan-kejahatan publik yang patut
dipertanggungjawabkan secara pidana dan hal itu tidak dapat dibebaskan dengan
alasan tidak ada hukumnya. Hakim boleh menciptakan hukum yang belum diciptakan
lembaga legislatif, sesuai kebutuhan masyarakat. Bahwa karena para terdakwa
melakukan kejahatan penipuan secara politik menggunakan partai-partai politik
mereka dan partai-partai politik mereka secara organisasi mengizinkan atau
sekurang-kurangnya membiarkan segala kejahatan itu, maka partai-partai politik
itu juga harus diadili dan dipidana sebagai korporasi penjahat. Hal itu menjadi tugas kepolisian untuk
segera menyidiknya dan tugas kejaksaan untuk menuntutnya.”
Dan
yang membuat terperanjat banyak kalangan adalah pertimbangan hakim MA berikut:
“Bahwa karena para anggota DPR dan DPRD
dilahirkan sebagai “anak-anak haram” oleh parpol-parpol dalam pemilu yang
dilakukan dengan kejahatan, maka seluruh anggota DPR dan DPRD adalah tidak sah.
Begitu pula para hakim di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang telah
diseleksi melibatkan para anggota DPR itu adalah hakim-hakim yang tidak sah.
Dengan demikian, putusan ini harus dilaksanakan dan sebagai dasar melakukan
revolusi pemerintahan!”
Putusan
MA tersebut menjadi perdebatan yang riuh, termasuk dalam dunia hukum. Para
advokat penasihat hukum para terdakwa ngotot
bahwa putusan MA tersebut nonexecutable,
tidak dapat dieksekusi, sebab dibuat oleh hakim MA yang menyatakan dirinya
sendiri sebagai “produk tidak sah” sebab dipilih dengan melibatkan kewenangan
para anggota DPR yang tidak sah, akibat proses pemilu yang merupakan tindak
pidana penipuan (kejahatan). “Produk para hakim tidak sah sudah pasti tidak
sah!” Kata para advokat itu dengan tegas.
Tiba-tiba
saya emosi dan melabrak para advokat itu. “Pendapat kalian juga tidak sah!
Mengapa? Sebab kalian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Advokat yang dibuat
oleh para anggota DPR bersama dengan Presiden melalui pemilu yang tidak sah
karena dilakukan dengan cara-cara kejahatan penipuan tersebut! Kalian tahu, apa
yang sah di negara ini?” Para advokat itu diam, seperti orang-orang bisu. Saya
merasa puas, sebab sejak lama saya dendam, terutama kepada mereka yang suka
membolak-balik kebenaran: salah menjadi benar, benar menjadi salah hanya karena
uang!
Terserahlah,
bagaimana rakyat di negara ini menilai putusan MA itu...... Lantas, Anda
percaya ini kisah nyata? Terserahlah! Emang perlu dipikir? Kih kih kih..... kmp kmp kmp,,,,,,,,,,,,,,,,
Surabaya,
18 Mei 2013 .....