(Ahli Fulusimeter)
Sori, kisah Cak Lumpur berhenti agak lama. Maklum penulisnya bukan sastrawan. Cuma kuli bangunan. mBangun tidur, mBangun Karta (nama sepur), mbangun dari pingsan. Jadi kalau kerjaan lagi banyak ya berhenti dulu menulis cerita. Kalau istilahnya Rubi Kambali, penulisnya adalah pengacara tidak laku. Karena tidak laku, jadilah tidur, pingsan, naik sepur sambil bawa gitar dan menyanyikan lagu “bangun tidur kuterus makan//tidak lupa menggosok mata//habis makan kutidur lagi//…dst…”
Di dunia ini memang banyak kuli. Ada kuli batu, kuli tinta, kuli kebun, ada pula yang paling jelek, yaitu kulina ngapusi (biasa bohong), seperti yang dilakukan Lapindo kepada korbannya. Makanya cocok kalau Jawa Pos bikin judul berita: “PT. Minarak Tidak Membayar” dan koran Surya bikin judul: “Lapindo Ngemplang, Korban Melapor.”
Kambali ke soal alasan lamanya sambungan cerita ini. Kalau ada pengacara yang memberi konsultasi hukum kepada masyarakat secara gratisan, diistilahkan tidak laku. Tidak profesional. Jadi, makna profesional sekarang diarahkan ke ‘komersial’. Maka jangan heran kalau para ‘profesional muda’ (pinjam istilah radio) membayangkan bahwa para advokat yang tarifnya tinggi itu adalah advokat profesional. Tapi advokat yang suka mengobral tenaga pikiran keahliannya secara gratisan kepada masyarakat kurang mampu ekonomi dibilang “tidak profesional” atau kasarnya: “tidak laku.” Jadi, menurut orang-orang pintar di sini, “profesional” diartikan “komersial”. Salah atau tidak, ahli bahasa yang lebih kompeten menilai.
Tapi, soal pengacara komersial itu, ada orang Madura yang komentar: “Wah wah wah…. Pengacara kok kayak wartel aja ya? Mbayarnya pakai ukuran jam-jaman!” Kekekekekek… Nggak tahu mereka ini prinsip dagang jasa.
Tapi kalau kepandaian diperdagangkan terus, nggak ada yang disumbangan atau didermakan kepada masyarakat, maka jadilah manusia dagangan. Jika sudah bermental manusia dagangan, maka bebas nilai, tak kenal hitam putih, halal haram, tak kenal logika dan etika. Tahunya hanya estetika. Kalau dapet uang banyak baru merasakan estetis….. Biar kepandaiannya dipakai untuk menghancurkan nasib sosial ya oke oke aje. Tanpa beban. Yang penting bisa hidup nyaman. Tak peduli ancik-ancik bangkene menungsa (berdiri di atas derita sesama), yang penting merasa menjalankan profesi.
Pada bagian ketiga cerita ini, telah dikisahkan bahwa Kahyangan Saptabumi yang dipiloti oleh Mas Tur (Mas Turun Antaboga) telah mengajukan gugatan kepada para dukun peramal yang menuduh Kahyangan Saptabumi sebagai penyebab kelahiran Cak Lumpur. Kahyangan Sapta Bumi diwakili oleh LBH Antiklenik, sedangkan para dukun klenik diwakili oleh kantor hukum Buri Kalambi & Co.
Pada sidang pertama kasus itu di Pengadilan Atas Bumi, tampak advokat Buri Kalambi yang keren itu celingukan melihat ke lantai. Jangan-jangan uangnya jatuh ya?
“Para pihak apa sudah siap?” tanya Ketua Majelis Hakim.
“Bentar Om, … eh… sori,… Yang Mulia, kartu tanda pengenal advokat saya tadi jatuh di bawah meja saya ini…. Kok…. Nggak ada ya?”
“Ayo dicari dulu. Saya beri waktu tiga menit!” kata Ketua Hakim itu. Memang hakimnya sabar-sabar.
Kalau hakim di negara Atas Angan (bukan Angin), hakim biasa bersabar sambil melihat-lihat situasi. Setelah ada yang melakukan pendekatan maka biasa jadi galak. Galaknya justru kepada pihak yang mendekat. Di sidang biasa lembut kepada pihak yang tidak mendekati, galak kepada yang mendekati. Begitu palu putusan diketukkan, mak dok! Ternyata putusannya memihak kepada yang digalaki. Lha iya wong sudah dikasih hohohihi sama yang mendekati itu. Itu namanya sandiwara peradilan. Yang nggak pengalaman nggak akan tahu itu. Lah, penulisnya apa pengalaman begitu? Yah…. Jangan tanya gitu dong!
“Apa sudah ketemu tanda pengenal advokat Saudara?” tanya Ketua Hakim. “Waktu Saudara sudah habis!”
“Waduh, maaf Om,… eh keliru lagi. Maaf Yang Mulia, belum ketemu. Saya mohon ijin tetap menjalankan sidang ini. Nanti pasti ketemulah. Wong barusan jatuh di sini. Apa mungkin dibawa kucing pengadilan sini ya?” tanya Buri Kalambi.
“Saudara menghina pengadilan ini. Itu contempt of court! Silahkan Anda keluar dari sidang ini!” perintah Ketua Hakim dengan marah-marah. Rupanya ia tersinggung ketika advokat Buri Kalambi bilang bahwa tanda pengenal advokatnya dibawa kucing pengadilan itu. Ada-ada saja. Masak kucing yang suka ikan kok bawa lari kartu pengenal advokat. Masak pengadilan agung kok sampai kesusupan kucing? Apa kira-kira kartu pengenal advokat bau ikan asin? Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.
Peristiwa itu membuat Kepala Dukun Klenik malu. Ia segera memutuskan hubungan kerja dengan kantor advokat Buri Kalambi & Co. Ia meminta waktu kepada majelis hakim untuk menunjuk tim advokat baru. Lalu ditunjuklah tim pengacara yang di dalamnya ada pengacara yang dulunya dikenal sebagai pembela HAM, yaitu: Trimumet Dipo Suryokontho, Lugut M Panghiburan, Hotmarihot Sikampul-kampul. Mereka ini advokat top markotop yang tarifnya mengalahkan seluruh tarif telepon seluler di seluruh dunia. (Perlu dicatat bahwa tarif wartel lebih mahal dibandingkan tarif telepon seluler ke sesama operator. Kalau di wartel bisa seribu rupiah per menit, tapi tarif ke sesama operator seluler hanya Rp. 0,000000000000…..01,- permenit).
Singkat cerita (biar cepet tamat), acara sidang setelah berjalan sekitar tiga bulan menginjak ke acara pembuktian. Kuasa hukum Kahyangan Saptabumi telah menyerahkan seluruh alat bukti. Rencananya juga akan mengajukan keterangan ahli. Tapi ternyata para pengacara Dukun Klenik curang, sebab tidak hadir di acara pemeriksaan ahli yang diajukan kuasa hukum Kahyangan Saptabumi. Terpaksa sidang ditunda. Karena ahli yang diajukan Kahyangan adalah orang-orang sibuk, akhirnya hanya satu ahli saja yang bisa bertahan dimintai keterangan oleh hakim. Dia bernama Rudi Rubi Rudini, seorang pakar kebumian. Meski namanya Rudini, tak ada kaitannya dengan Jendral Rudini yang suaranya serak-serak itu.
“Apa yang dapat Saudara jelaskan soal kelahiran Cak Lumpur yang membuat panik dan kerusakan meluas itu?” tanya ketua Majelis Hakim.
“Yang Mulia, saya akan menyampaikan pendapat saya. Tapi mohon dicatat oleh Saudari panitera pengganti yang cantik seperti Dewi Supraba itu bahwa pendapat saya ini tidak berdasarkan pendapatan saya. Ini penting. Sebab banyak pakar yang mau berpendapat berdasarkan pendapatan yang ditawarkan,” jawab Rudi.
“Baiklah. Teruskan!” perintah hakim.
“Perlu Yang Mulia ketahui. Saya adalah orang yang termasuk pertama mendapatkan data-data orisinil kelahiran Cak Lumpur itu. Berdasarkan apa yang saya temukan dan teliti, ternyata kelahiran Cak Pur tidak berhubungan dengan kondisi Kahyangan Saptapratala atau Saptabumi. Cak Pur pada mulanya adalah bayi yang dilahirkan manusia yang berselingkuh. Lalu bayi itu dibiarkan begitu saja. Bumi memeliharanya, tapi ia berubah menjadi masalah karena orang-orang yang melahirkannya tidak bertanggung jawab.”
“Lantas, apa hubungan antara kepakaran Saudara dengan kelahiran Cak Pur?” tanya hakim.
“Saya ahli bidang kebumian. Maka saya berkompeten menjelaskan apakah Cak Pur dilahirkan oleh keadaan bumi. Itu tidak mungkin bin mustahil,” jawab Rudi.
“Itu saja cukup! Saudara tak perlu menjelaskan tentang proses kelahiran Cak Pur yang menurut Saudara hasil perselingkuhan manusia. Kalau soal proses kelahiran itu ahli yang lebih berkompeten menjelaskan adalah bidan atau dokter kandungan,” kata hakim.
Tanya jawab berlangsung seru. Hari itu sangat melelahkan bagi Rudi Rubi Rudini. Ia termasuk pakar yang tidak bermental manusia dagangan sebab mau mendermakan keahliannya untuk masyarakat. Bukan ahli yang sok ilmiah, dengan dalih ilmu pengetahuan lalu menjelaskan sesuatu yang tak dipahaminya. Seperti dokter hewan sok ilmiah mengatakan luka hewan akibat kejatuhan ranting pohon, padahal banyak saksi yang melihat luka hewan itu karena dipukuli pemiliknya sendiri.
Babak berikutnya pengacara tergugat mengajukan ahli dari Paguyuban Dukun Klenik. Yang diajukan kali pertama adalah Prof. Sukemi Aspirin. Meski namanya seperti obat sakit kepala tapi kepintarannya melebihi orang biasa. “Ruarrrrr biasa!” kata orang Jepang yang lagi belajar bahasa Indonesia.
“Apa yang hendak Saudara jelaskan dalam kasus kelahiran Cak Pur itu?” tanya hakim.
“Saya adalah ahli kebumian Yang Mulia. Sudut pandang saya luas. Saya bisa mengukur getaran gejolak kehidupan Saptabumi sampai ratusan kilometer. Bahwa kelahiran Cak Lumpur berkaitan dengan gejolak bumi Saptapratala,” Profesor itu menjelaskan.
“Bagaimana cara Saudara mengukur getaran gejolak kehidupan Saptabumi itu? Lalu apa hubungan gejolak Saptabumi dengan kelahiran Cak Pur?” tanya hakim.
“Cara mengukurnya dengan alat bernama fulusimeter. Yang diukur adalah garis hubungan yang tak tampak oleh mata biasa. Bahkan tak semua ahli mengetahui.”
“Mengapa tak semua ahli mengetahui? Jika garis hubung itu tak tampak oleh mata biasa, lalu ahli seperti Anda melihat dengan keahlian semacam apa?” kejar hakim.
“Sebab semua ahli tidak punya alat berupa fulusimeter. Harganya sangat mahal. Ahli seperti sayalah yang punya fulusimeter itu. Keahlian yang saya miliki didukung oleh fulusimeter itulah yang memberikan pengetahuan secara jelas bahwa Cak Lumpur lahir disebabkan oleh gejolak Saptabumi.”
“Tolong Saudara jelaskan logika kelahiran Cak Lumpur berkaitan dengan gejolak Saptabumi itu!” perintah hakim.
“Seperti Yang Mulia pernah katakan, bahwa proses kelahiran menjadi bidang keahlian bidan atau dokter. Saya sebagai ilmuwan sejati memegang prinsip: right man in the rights place. Tapi ahli semacam saya karena khusus bolehlah pakai prinsip RICH MAN ON THE HIGH PLACE!”
Setelah melalui proses pembuktian yang panjang, hakim merencanakan akan segera memutuskan sengketa gugatan Kahyangan Saptabumi yang merasa dicemarkan oleh tuduhan para dukun klenik itu.
Mengenai putusan hakim itu maka akan dikisahkan di babak berikutnya. Ini sudah kepanjangen. Untungnya diposting di milis. Kalau di koran sudah ditolak mentah-mentah. Ditolaknya bukan karena terlalu panjang, tapi penulisnya bukan sastrawan, hanya kuli. Kulina cengengesan….. kekekekekkk…..
Suroboyo, 9 Nopember 2008.