15 Desember 2007

Cerkol = Cerita Kolor Ijo

Soal kolor ijo[1], aku ingat kisah celana komprang[2] yang biasa dipakai oleh kekekku, Mbah Roso. Warnanya hijau tua, dan kolornya juga hijau tua. Mungkin saking sudah terlalu lama, ada bagian-bagian pinggir yang warnanya mulai pudar.

“Biasanya orang suka celana hitam dengan kolor putih, tapi Mbah kok pakai celana hijau to Mbah. Kok aneh?” tanyaku. Waktu itu umurku delapan tahunan.

“Bocah cilik, ndak usah tanya macam-macam!” jawab Mbah Roso sambil mengelus kepalaku.

Tapi ketika aku sudah SMA, aku bertanya lagi. Waktu itu Mbah Roso sudah semakin tua, umurnya delapan puluh tahunan, menurut ibuku.

“Mbah aku masih penasaran dengan warna celana sampeyan itu?”[3] tanyaku.

“Aku memang mau cerita kepadamu Le.[4] Sudah waktunya. Umurmu sudah cukup untuk berpikir tentang suatu peristiwa. Sudah ngerti benar-salah.”

Lalu kakekku menceritakan bahwa celana komprang berwarna ijo atau biasa disebut kolor ijo itu adalah peninggalan dari almarhum orang tuanya yang bernama Suromarto Dipokusumo Menggolo atau dikenal dengan Mbah Marto. Konon, kolor ijo itu adalah kolor yang sakti. Kolor ijo itu telah menjadi teman Mbah Marto dalam perjuangannya melawan kolonial Belanda sampai jaman Jepang. Setelah Jepang pergi, Mbah Marto meninggal dunia dan kolor itu diwasiatkan kepada Mbah Roso. Pada jaman agresi Belanda Mbah Roso juga menggunakan kolor itu untuk melawan pasukan sekutu.

Setelah jaman kemerdekaan, kolor ijo itu sering dipinjam oleh teman-teman Mbah Roso. Konon, akibat kehebatan khasiat kolor ijo tersebut maka ada teman Mbah Roso yang bisa menjadi anggota DPR, DPRD, Bupati, Walikota dan bahkan ada yang menjadi menteri.

“Tapi sampeyan sendiri kok ndak jadi apa-apa to Mbah?” tanyaku kepada Mbah Roso.

“Aku juga ndak minat jadi apa-apa. Cukup jadi petani, hidup tenang, tidak ada yang mengejar-ngejar. Aku tidak berani Le untuk memegang jabatan sebab disamping itu tugas berat, sekolahku juga tidak tinggi sehingga aku kuatir tidak menguasai ilmunya.”

Aku menjadi mengerti sedikit kisah dari kolor ijo tersebut. Hanya saja, aku belum pernah memperoleh jawaban atas rasa penasaranku, mengapa warnanya kok hijau. Tapi, aku mulai mengurangi rasa ingin tahuku itu.

***

Kini Mbah Roso telah tiada. Kolor ijo itu menjadi milikku, sebab ternyata Mbah Roso mewasiatkan kolor itu kepadaku. Hal itu membuat bapakku iri. Mestinya, menurut tradisi, bapakku sebagai anak tertua Mbah Roso berhak mewarisi kolor ijo itu. Tapi Mbah Roso almarhum mempunyai alasan bahwa bapakku tidak pantas mewarisi kolor ijo itu sebab bapakku telah berpoligami, isterinya dua.

Di dalam surat wasiatnya yang sangat panjang Mbah Roso menyatakan suatu alasan bahwa kolor ijo itu tidak boleh jatuh ke tangan laki-laki berpoligami sebab dapat menimbulkan bahaya atau naas.

Mbah Roso juga berwasiat agar aku tidak melakukan poligami dan agar aku juga berwasiat yang sama terhadap semua anak laki-lakiku kelak, agar di dalam trah atau dinastiku tidak ada laki-laki yang berpoligami. Kakekku itu juga menyatakan bahwa laki-laki berpoligami adalah manusia serakah yang bangga mengobral kelelakiannya, tertipu oleh imajinasinya sendiri, serta tidak mempunyai pikiran yang adil guna menghormati kemanusiaan kaum perempuan. Mbah Roso menyatakan bahwa bapakku adalah satu-satunya kutu busuk di dalam trah Suromarto Dipokusumo Menggolo.

Tapi kadang-kadang aku juga berpikir, seandainya di jaman ini tidak ada perempuan yang mau dimadu, maka bapakku pun tidak akan bisa berpoligami.

***

Tujuh tahun kemudian setelah meninggalnya Mbah Roso, sinar matahari semakin memerah, rembulan telah pucat-pasi, bumi sering diguncang gempa, direndam banjir, dan diresapi polusi.

“Le, Sarmin. Bapak mau meminjam kolor ijo peninggalan Mbah Roso. Bapak punya keperluan.” pinta bapakku.

Aku tak sempat berpikir keperluan apa yang dimaksudkan bapakku itu. Pikiranku bertengger di bahu kebimbangan. Aku ingat pesan kakekku untuk tidak memberikan atau meminjamkan kolor itu kepada orang yang berpoligami.

Akhirnya aku memutuskan untuk menolak permintaan bapakku karena ingat wasiat Mbah Roso yang juga telah diketahui bapakku itu. “Maaf Pak! Aku tidak berani melanggar wasiat kakek,” jawabku dengan muka tertunduk.

Jawabanku itu menjadi titik yang menyedihkan. Sebab akhirnya terjadi pertengkaran antara aku dengan bapakku, sampai-sampai isteriku membawa dua anakku yang masih kecil-kecil keluar dari rumah. Pertengkaran itu berakhir ketika bapakku terjatuh karena stroke-nya kumat, sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Kulihat ibuku dengan setia menunggui bapakku. Tiga hari kemudian isteri kedua bapakku alias ibu tiriku, yang biasa kupanggil Bulik Mariam, baru muncul menjenguk. Kulihat ibuku dan Bulik Mariam itu rukun, dan memang belum pernah aku melihat mereka bertengkar.

Setelah beberapa menit Bulik Mariam menunggui bapakku, ia keluar ruangan dan menggeret tanganku. Selama ini aku memang mempunyai hubungan yang baik dengan ibu tiriku itu, meskipun almarhum Mbah Roso tidak pernah mau berbicara dengannya. Pernah suatu saat aku bertanya tentang perasaan ibuku kepada Bulik Mariam, tapi ibuku hanya menjawab dengan senyuman dan mencubit hidungku. Jadi, aku menganggap cinta segitiga itu tanpa konflik apa-apa.

Tapi aku pernah bertanya-tanya dalam hati, benarkah sebegitu ikhlas hati ibuku ketika bapakku kawin lagi? Hanya saja, herannya ada juga perempuan yang mau menjadi isteri kedua. Bagaimana ya kira-kira Bulik Mariam itu memikirkan perasaan ibuku?

“Ada apa to Bulik?”[5] tanyaku kepada Bulik Mariam, setelah kami berada di tempat yang agak jauh dari ruangan bapakku dirawat.

“Lha iyo to Min. Bapakmu itu lo kok ya aneh-aneh. Dia akan mencalonkan diri jadi anggota DPRD. Lha orang sudah bau tanah kok ya masih ambisius. Katanya ia mau pinjam kolor ijo milikmu itu lo.”

“Gini lo Bulik. Kolor ijo ini kan peninggalan Mbah Roso. Bulik tahu kan? Menurut Mbah Roso, aku tidak boleh meminjamkan kolor itu sama siapa saja, termasuk kepada bapak. Lha masak aku harus mengingkari janji?”

“Ya sudah. Itu nggak usah dirembug!” jawab Bulik Mariam. Aku lihat ia begitu sederhana dan cantik. Pantas jika bapakku tergila-gila dengannya.

Yang mengganjal batinku adalah: selama ini bapakku tidak pernah berpolitik. Benarkah kata Bulik Mariam bahwa kolor ijo itu akan dijadikan bapakku untuk memuluskan jalannya menjadi anggota DPRD?

***

Sejak perisitiwa perselisihanku dengan bapakku itu, hubungan keluarga kami menjadi renggang.

Tapi yang sungguh-sungguh membuatku kaget adalah kabar bahwa Bulik Mariam menggugat cerai ayahku, padahal kelihatannya tidak ada masalah.

Aku dan ibuku tidak berani mencampuri urusan bapakku dengan Bulik Mariam. Kami tidak berani menanyakan masalah tersebut. Tapi bagaimanapun juga akhirnya bocor juga informasi tentang penyebab keretakan hubungan suami-isteri antara bapakku dengan Bulik Mariam. Ternyata Bulik Mariam ingin mempunyai anak, tetapi bapakku sudah tidak mampu memberi nafkah batin.

Kalau kuhubungkan dengan permintaan bapakku meminjam kolor ijo milikku, mungkin ada kaitannya dengan masalah itu. Sebab sepengetahuanku, bapakku tidak pernah menjadi aktivis atau anggota partai politik sehingga tidak mungkin mencalonkan diri menjadi anggota DPRD.

Ternyata perselisihan bapakku dengan isteri keduanya itu tidak hanya pada soal perceraian, tapi bapakku ditahan kepolisian atas laporan Bulik Mariam dengan tuduhan menggelapkan harta gono-gini. Tidak hanya itu. Rumah tempat tinggal ibuku pun disita oleh pengadilan karena gugatan Bulik Mariam. Itu jelas sudah ngawur sebab rumah ibuku tidak ada kaitannya dengan gono-gini bapakku dengan Bulik Mariam. Ibuku hanya bisa menangis.

Yang lebih menyedihkan lagi, bapakku akhirnya meninggal dunia akibat serangan stroke sewaktu ditahan di Kepolisian.

***

Suatu saat, ketika malam telah menggulung keramaian, aku mengambil kolor ijo dari kotak penyimpanannya. “Adakah ini menjadi penyebab semua masalah itu?” tanyaku dalam hati. “Seandainya aku dahulu meminjamkan kolor ijo ini kepada bapakku mungkin masalah tidak akan serumit itu,” gumamku sendiri.

Sudah empat malam aku tak bisa tidur. Pikiranku selalu gelisah. Aku tidak mengerti yang harus kuperbuat. Untuk menyewa pengacara, aku kuatir malah menjadi korban kebohongan pengacara seperti yang pernah dialami tetanggaku. Tak habis-habisnya aku berdoa, meminta pertolongan Tuhan, tapi apakah Tuhan mau memperhatikan doaku sebab selama ini aku sering melupakanNya ketika keadaanku masih lapang?

Aku pun berpikir, jika kolor ijo itu mengandung tuah seperti yang diceritakan Mbah Roso almarhum, mestinya bisa membantuku.

“Hai kolor ijo! Bagaimana menurutmu tentang masalah yang kami hadapi?” tanyaku. Aku menjadi merasakan keanehan pada diriku, sebab sebenarnya dari hatiku yang paling dalam tidak yakin dengan kepercayaan tentang kasiat atau tuah suatu benda, termasuk kolor ijo itu.

Beberapa saat aku mulai merasa menjadi gila sebab berbicara dengan kolor ijo, makhluk mati itu. Sia-sia, sebab kolor ijo itu toh benda mati yang tak dapat menjawab pertanyaanku.

Hawa dingin masuk ke dalam rumahku. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku.

“Assalamu’alaikum.” Aku tidak pernah bisa melupakan bahwa yang terdengar adalah suara Mbah Roso. Aku ragu-ragu, sebab Mbah Roso sudah meninggal.

“Wa’alaikumussalaam,” jawabku. Kubuka pintu dengan perlahan-lahan.

“Le, Sarmin. Aku datang ke sini hanya sebentar saja, sebab kesedihanmu kudengar dari tempat tinggalku sana.” Benar-benar Mbah Roso yang datang. Ia masuk rumah dan duduk.

Namun aku sedikit ragu, apakah benar yang bicara denganku adalah almarhum Mbah Roso. Tapi aku juga pernah membaca buku ulama Syi’ah, Najafi Qucani, yang menceritakan pengalaman matinya. Katanya, roh orang mati itu kadang-kadang juga mengunjungi keluarganya di dunia, meski dalam buku itu tidak diceritakan sampai terjadinya pembicaraan antara roh Najafi dengan keluarganya di dunia.

Ada banyak rahasia yang tak kuketahui. Kisah Najafi yang diakuinya nyata itu bisa benar atau tidak.

“Bapak telah meninggal gara-gara keinginannya untuk memiliki kolor ijo itu tak terpenuhi. Sekarang menjadi masalah yang melebar tidak karu-karuan Mbah,” kataku. Hawa dingin semakin menusuk tulangku.

“Tidak, Le. Bapakmu mati karena takdirnya sudah sampai. Ia sakit stroke akibat terlalu sering menuruti keinginannya tetapi jiwanya tidak tenang. Sekarang kematian telah membuatnya tenang,” kata Mbah Roso, wajahnya tampak putih dan segar. “Untuk menghadapi gugatan Mariam itu, datangilah ia di rumahnya dengan membawa kolor ijo ini. Mintalah kepadanya agar ia mencabut gugatannya dengan memberikan kolor ijo ini kepadanya. Kukira hanya itu saranku. Wassalamu’alaikum.” Mbah Roso pun lenyap dari hadapanku.

“Wa’alaikumussalaam,” balas salamku. Aku gelagapan mengalami peristiwa yang belum pernah kualami itu, bertemu roh orang mati.

Lalu apakah pengaruhnya jika aku memberikan kolor ijo itu? Pertanyaan itu berkecamuk di otakku. Tapi aku akan menuruti saja pesan Mbah Roso itu. Aku sendiri sebenarnya merasa rikuh menyimpan kolor ijo sebab aku ini orang rasional yang tidak percaya tuah benda-benda seperti itu.

Ternyata benar, Bulik Mariam bersedia mencabut gugatannya. Ia sangat senang menerima kolor ijo dariku. Bahkan secara terang-terangan ia berkata kepadaku bahwa ia telah berhasil menggeser trah Suromarto Dipokusumo Menggolo untuk memiliki kolor ijo.

***

Tiga bulan kemudian Bulik Mariam sudah menikah lagi dengan seorang laki-laki yang usianya delapan tahun lebih muda. Anehnya, setiap sore hari suami Bulik Mariam terlihat selalu memakai kolor ijo itu.

Tetapi belum sampai dua tahun sejak perkawinan mereka, suami Bulik Mariam itu menikah lagi dengan seorang perawan sebagai isteri keduanya. Ia berpoligami. Bulik Mariam kelihatan semakin kurus dan sakit-sakitan. Hingga akhirnya terjadi peristiwa mengenaskan, kolor ijo itu tercemar merah darah sebab Bulik Mariam memotong kelamin suaminya itu.

Sejak itu yang kudengar kolor ijo itu menjadi barang bukti kasus pemotongan kelamin itu dan hingga kini entah siapa yang menguasainya. Bulik Mariam sendiri saat ini masih dirawat di rumah sakit jiwa.

Pernah suatu saat ibuku, isteriku dan aku menjenguk Bulik Mariam, tapi Bulik Mariam terus-terusan berusaha merangkulku dengan berkata, “Kolor ijo, ayo beri aku anak! Ayo beri aku anak!” Akibatnya isteriku cemberut, cemburu dengan perempuan tidak sehat akalnya itu.



[1] Kolor = tali celana. Ijo = hijau.

[2] Celana komprang = celana yang ukurannya besar.

[3] Sampeyan = kamu, dalam tingkatan krama madya.

[4] Le dari kata Tole = panggilan untuk laki-laki yang lebih muda.

[5] Bulik dari kata Ibu Cilik = Bibi.